Scroll untuk membaca artikel
Muhammad Ilham Baktora | Hiskia Andika Weadcaksana
Selasa, 10 Juni 2025 | 20:29 WIB
Ilustrasi Bantuan Subsidi Upah. [Suara.com]

SuaraJogja.id - Pemerintah yang kembali menyalurkan Bantuan Subsidi Upah (BSU) bagi pekerja bergaji di bawah Rp3,5 juta.

Hal itu bisa disikapi secara positif terutama dalam upaya mendorong konsumsi masyarakat.

Namun, langkah ini dinilai belum cukup untuk menjawab persoalan ketenagakerjaan secara menyeluruh dan jangka panjang.

"Menurut saya itu [BSU] positif untuk para pekerja, karena itu juga akan membantu untuk selain meringankan juga akan meningkatkan daya beli para pekerja," kata Hempri Suyatna, Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan (Pustek) UGM, saat dihubungi, Selasa (10/6/2025).

Baca Juga: Sidang Ijazah Palsu Jokowi: Mediasi Berjalan, UGM Tolak Mentah-Mentah Serahkan Ijazah?

Dosen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan FISIPOL UGM itu bilang meningkatnya daya beli pekerja dapat memberi efek domino pada roda ekonomi nasional.

Ketika produk-produk lebih banyak terserap oleh pasar, maka produktivitas industri pun akan terdorong.

Kondisi tersebut yang akhirnya bakal mengurangi angka pengangguran.

Meski demikian, Hempri mengingatkan bahwa BSU sebaiknya tidak dijadikan satu-satunya solusi.

Pemerintah didorong untuk mulai membangun ekosistem ketenagakerjaan yang lebih kondusif.

Baca Juga: UGM Temukan Cacing Hati di Hewan Kurban, Tapi Ada Penurunan Drastis, Apa Penyebabnya?

Sehingga perusahaan dapat berjalan lebih sehat pula dan tidak perlu menekan biaya dengan memangkas hak-hak pekerja.

"Saya kira juga harus ada berbagai bentuk insentif kepada pengusaha, sehingga kemudian biaya-biaya yang muncul tidak harus dengan memotong biaya-biaya pekerja. Jadi jangan sampai biaya produksi itu mengganggu biaya untuk pekerja," tegasnya.

Hempri turut menyoroti pentingnya mendukung penghasilan pekerja lewat sektor-sektor alternatif, seperti usaha informal yang legal dan produktif.

Pendekatan ini bisa membantu pekerja tetap bertahan saat kondisi pasar utama sedang lesu.

"Misalnya pengembangan sektor informal dan sebagainya, harapannya para pekerja punya sektor-sektor informal sebagai sektor sampingan juga untuk menumbuhkan ekonomi," ungkapnya.

Terkait kriteria penerima BSU, ia menilai batas gaji Rp3,5 juta sudah cukup ideal. Dia mengambil contoh seperti Yogyakarta saja, misalnya, UMP masih berada di kisaran Rp2,4 juta.

Sehingga program ini memang menyasar kelompok pekerja yang cukup rentan.

Ilustrasi seorang pekerja. Hempri Suyatna turut menyoroti pentingnya mendukung penghasilan pekerja lewat sektor-sektor alternatif, seperti usaha informal yang legal dan produktif. (Pixabay)

Kendati demikian ia menekankan pentingnya ketepatan sasaran dan sosialisasi yang merata dalam realisasi program bantuan ini.

Ketidaksamaan penerima dalam satu kantor, atau informasi yang tidak menyeluruh, dapat menimbulkan kecemburuan dan persepsi negatif terhadap program ini.

"Saya kira proses penyeragaman itu perlu lebih jelas, lebih detail, kemudian harus ada sosialisasi sejak awal sehingga tidak ada mispresepsi," ujarnya.

"Potensi-potensi kecemburuan itu yang harus diminimalkan," imbuhnya.

Ditambahkan Hempri, BSU tetap bisa menjadi instrumen penting jika dikawal dengan tepat.

Namun, ke depan pemerintah perlu fokus pada reformasi ketenagakerjaan yang berkelanjutan tak hanya sekadar memberikan bantuan.

Termasuk menciptakan lapangan pekerjaan yang layak dan menjamin keadilan bagi semua pihak dalam ekosistem kerja.

"Saya kira kalau konteks spesifik ketenagakerjaan itu ya menumbuhkan ekosistem yang kondustif sehingga banyak perusahaan-perusahaan itu bisa lebih nyaman berusaha di Indonesia kemudian tidak terjadi pengangguran dan sebagainya," kata dia.

Bantuan pemerintah lewat BSU ini sebenarnya sudah kerap dilakukan oleh negara.

Pada masa Covid-19, sejumlah pekerja mendapatkan manfaat dari bantuan ini.

Hal ini juga menjadi nilai lebih untuk pekerja agar produktif ketika mendapat upah bantuan ini.

Di sisi lain, pemerintah berusaha untuk memberikan bantuan ini dengan sasaran yang tepat.

Hal ini ditentukan oleh perusahaan tempat pegawai bekerja. Namun tak ada jaminan semua pegawai dapat karena beberapa perusahaan melakukan sistem acak.

Load More