Diungkapkan Sutiasih, sebanyak 12 KK transmigran di Konawe Selatan itu akhirnya memutuskan pulang secara mandiri tanpa melapor ke Pemerintah Kabupaten Sleman.
"Jadi yang 12 pulang sendiri, pulang mandiri. Kami saja tidak tahu, tidak dilapori. Dia tidak lapor," ucapnya.
Sutiasih menambahkan bahwa jika pemerintah daerah setempat ingin mengganti kebijakan awal dengan kompensasi lain seperti ternak sapi, seharusnya dilakukan perubahan perjanjian secara resmi, bukan sepihak.
"Kalau ada kebijakan lain kan harus diadendum, harus diubah, ya kan, tidak sepihak gitu. Itu akan dipertanyakan di sana," tegasnya.
Warga Melapor
Adapun informasi awal mengenai persoalan ini mencuat setelah anggota Komisi XII DPR RI, Totok Daryanto, menerima laporan langsung dari para transmigran asal Sleman saat berkunjung ke Konawe Selatan pada Mei 2025.
Dalam kunjungan itu, Totok mendengar keluhan bahwa para warga yang ditempatkan di Unit Permukiman Transmigrasi (UPT) Arongo sejak 2011, hingga kini belum memperoleh seluruh jatah lahan dua hektare per keluarga sebagaimana dijanjikan dalam program transmigrasi pasca-erupsi Merapi 2010.
Program tersebut sebelumnya menjanjikan 1.500 hektare lahan untuk sekitar 500 kepala keluarga dari berbagai daerah, namun realisasinya baru mencapai 312 hektare.
Dari total itu, hanya sebagian kecil yang diterima transmigran asal Sleman, sementara mayoritas dibagikan ke transmigran dari luar daerah dan warga lokal.
Baca Juga: Promosi ke Liga 1, PSIM Jogja Ngebet Kandang di Maguwoharjo, Ini Kata Bupati Sleman
Hal ini memicu ketimpangan dan kekecewaan di kalangan penerima manfaat awal.
Situasi semakin pelik sejak 2015, ketika para transmigran menghadapi konflik lahan dengan salah satu perusahaan sawit di sana yang juga memiliki izin lokasi di atas lahan yang digarap warga.
Akibatnya, sekitar 40 hektare lahan transmigran digusur sepihak tanpa proses musyawarah, dan menyisakan hanya 272 hektare lahan garapan untuk seluruh penghuni.
Konflik memuncak pada periode Agustus hingga Desember 2023, ketika penggusuran kembali terjadi disertai dugaan tindakan represif yang melibatkan aparat desa.
Warga merasa tidak pernah diajak mediasi atau diberi kesempatan menyuarakan keberatan.
Totok menilai konflik ini belum mendapatkan penanganan serius secara hukum maupun administratif dari pihak berwenang.
Berita Terkait
Terpopuler
- Mbah Arifin Setia Tunggu Kekasih di Pinggir Jalan Sejak 70an Hingga Meninggal, Kini Dijadikan Mural
- Di Luar Prediksi, Gelandang Serang Keturunan Pasang Status Timnas Indonesia, Produktif Cetak Gol
- Gibran Ditangkap Bareskrim Polri, Kronologi Jadi Tersangka dan Kasusnya
- Resmi Thailand Bantu Lawan Timnas Indonesia di Ronde 4 Kualifikasi Piala Dunia 2026
- Tanggal 18 Agustus 2025 Cuti Bersama atau Libur Nasional? Simak Aturan Resminya
Pilihan
-
Usul Ditolak, Suara Dibungkam, Kritik Dilarang, Suporter Manchester United: Satu Kata, Lawan!
-
DTKS Resmi Berubah Jadi DTSEN, Ini Cara Update Desil Agar Tetap Terima KIP Kuliah
-
Jalan Terjal Jay Idzes ke Torino, Il Toro Alihkan Incaran ke Bek 1,97 M
-
Sri Mulyani Ungkap Kejanggalan Angka Pertumbuhan Ekonomi 5,12 Persen yang Bikin Publik Melongo!
-
Cara Daftar DTKS Agustus 2025 Agar Dapat Bansos KIP-K, PKH, BPNT dan KJP Plus
Terkini
-
Terungkap, Motif Mahasiswa Sleman Tega Habisi Nyawa dan Kubur Bayi, Ada Unsur Kekerasan?
-
Sejoli Mahasiswa di Sleman Tega Habisi Nyawa Bayi Usai Dilahirkan di Kamar Mandi
-
Bupati Gunungkidul Geram! ASN di Luar Jam Kerja? Cek Aturan & Sanksi Lengkap di Sini
-
Bendera One Piece Berkibar: Rektor UMY Ingatkan Pemerintah Soal Ini
-
Duh! Rugikan Bandar? Ini Kronologi Lengkap Pengungkapan Kasus Pemain Judol di Jogja