Scroll untuk membaca artikel
Budi Arista Romadhoni | Hiskia Andika Weadcaksana
Kamis, 03 Juli 2025 | 17:15 WIB
Dokumentasi terpidana kasus e-KTP Setya Novanto saat menjalani sidang. Ia mendapatkan keringanan hukuman dari MA. [Suara.com/Arya Manggala]

SuaraJogja.id - Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM, Zaenur Rohman, melontarkan kritik terhadap keputusan Mahkamah Agung (MA) memangkas hukuman mantan Ketua DPR RI, Setya Novanto, dalam kasus korupsi proyek e-KTP.

Zaenur menilai putusan Peninjauan Kembali (PK) tersebut sebagai langkah yang mengecewakan dan sinyal buruk bagi masa depan pemberantasan korupsi di Indonesia.

"Ya ini memang pertama putusan PK Setya Novanto ini mengecewakan ya dan saya lihat ada tren yang mengkhawatirkan, ada banyak putusan MA yang menyunat pidana bagi terpidana korupsi itu," kata Zaenur, Kamis (3/7/2025).

Menurut Zaenur, PK semestinya digunakan secara ketat dengan alasan yang sahih. Misalnya terkait adanya bukti baru (novum) atau kekeliruan dalam penerapan hukum.

Baca Juga: KPK Setor Rp800 Juta dari Denda Terpidana Korupsi dan Hasil Lelang

Namun, dalam beberapa kasus, termasuk Setya Novanto kali ini, PK justru hanya digunakan untuk memotong masa pidana maupun besaran uang pengganti.

"Tapi kalau PK itu hanya menyunat masa pidana, atau besaran uang pengganti ya itu kita mempertanyakan ya," lanjutnya.

Apalagi, disampaikan Zaenur, bahwa peran Setya Novanto dalam korupsi e-KTP itu sangat sentral. Maka seharusnya, tidak ada alasan kuat bagi majelis hakim untuk mengurangi hukumannya.

"Di kasus Setya Novanto ini juga kita tidak melihat adanya satu alasan yang logis yang kuat mengapa kemudian pidana bagi Setya Novanto itu harus disunat atau didiskon, harus dikurangi," ujarnya.

"Jadi apa yang kemudian jadi pertimbangan dari majelis hakim di Mahkamah Agung ini ketika mengurangi pidana, itu kan harus kuat alasannya," tambahnya.

Baca Juga: Najwa Shihab Sindir Napi Korupsi Setya Novanto di Acara TV, Kiky Saputri: Aku Nggak Berani Nyebut Nama Itu

Zaenur memperingatkan bahwa tren pemotongan hukuman terhadap koruptor ini berpotensi menghilangkan efek jera jika terus dilakukan.

Padahal dua aspek penting dalam pemberantasan korupsi adalah hukuman penjara yang tinggi dan perampasan aset hasil kejahatan.

"Dampaknya, ini kan pidana badannya berkurang, kedua uang penggantinya, ya saya lihat ini akan mengurangi efek jera. Pelaku tindak pidana korupsi itu akan jera kalau ancaman pidananya yang pertama tentu ancaman pidana badan tinggi, kedua adalah perampasan aset hasil kejahatannya optimal," paparnya.

Dalam kesempatan ini, Zaenur mendorong agar seluruh komponen bangsa, termasuk hakim kembali menunjukkan keseriusan dalam memberantas korupsi.

Ia mengingatkan bahwa hakim punya ruang untuk menjatuhkan pidana maksimal berdasarkan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.

MA "Sunat" Hukuman Setya Novanto

Diberitakan sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) memangkas hukuman mantan Ketua DPR RI Setya Novanto dalam kasus korupsi pada pengadaan e-KTP.

Dalam putusannya MA mengabulkan peninjauan kembali atau PK yang diajukan oleh Setya Novanto.

"Kabul. Terbukti Pasal 3 jo Pasal 18 UU PTPK jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP," demikian amar putusan PK Setnov dalam situs resmi MA, Rabu (2/7/2025).

Pria yang kerap disebut Setnov itu awalnya dijatuhi hukuman 15 tahun penjara dalam kasus korupsi e-KTP. Namun, dengan adanya putusan PK ini, hukumannya dipangkas menjadi 12,5 tahun penjara.

"Pidana penjara selama 12 tahun dan enam bulan dan pidana denda Rp500 juta subsidair enam bulan kurungan," tulis MA.

Selain itu, Setnov juga dihukum untuk membayar biaya uang pengganti sebesar USD 7,3 juta. Dia diketahui sudah membayarnya Rp 5 miliar di antaranya.

"Sisa UP Rp49 miliar subsidair 2 tahun penjara," tulis MA dalam laman resminya.

Lebih lanjut, Setnov juga dijatuhi pidana tambahan berupa larangan menduduki jabatan publik selama 2,5 tahun setelah selesai menjalani hukuman.

Load More