Muhammad Ilham Baktora
Senin, 14 Juli 2025 | 12:44 WIB
Para siswa mengikuti cek kesehatan dalam program Sekolah Rakyat di SRMA 19 Sonosewu, Senin (14/7/2025). [Kontributor Suarajogja/Putu Ayu Palupi]

SuaraJogja.id - Wajah-wajah ratusan anak terlihat sumringah di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Kesejahteraan Sosial Kementerian Sosial (kemensos) di Sonosewu, Senin (14/7/2025).

Di kawasan yang kini jadi Sekolah Rakyat Menengah Atas (SRMA) 19, para lulusan SMP dari kabupaten/kota di DIY akhirnya bisa melanjutkan pendidikannya dalam program Program Sekolah Rakyat (SR) yang digulirkan Presiden Prabowo Subianto.

Bukan tanpa alasan, sekitar 200 anak bisa sekolah gratis setingkat SMA selama tiga tahun penuh.

Dengan harapan, mereka bisa memutus rantai kemiskinan orang tua yang selama ini jadi penghalang mereka untuk bisa mengeyam pendidikan.

Sebut saja Fajar Sidik Saputra, lulusan dari SMPN 1 Kretek Bantul. Berangkat subuh bersama ayahnya, Fajar mengaku bahagia bisa sekolah gratis.

Meski harus berjauhan dari kedua orang tua karena harus tinggal di asrama selama tiga tahun, dia rela demi bisa mengurangi beban finansial mereka.

"Awalnya mau daftar sekolah lain, tapi karena ada sekolah rakyat yang gratis, ya saya pilih sini saja," ujarnya.

Fajar mengaku sedih bila terus menerus membebani orang tuanya untuk bersekolah.

Bilamana tidak, bapak maupun ibunya hanya bekerja sebagai buruh tani untuk menyambung hidup sehari-hari.

Baca Juga: Sekolah Rakyat DIY di Tahun Ajaran Baru, 275 Siswa Diterima, Pemda Siapkan MOS Berkualitas

Karenanya saat tahu ada program Sekolah Rakyat, kedua orang tuanya akhirnya mengumpulkan syarat-syarat yang dibutuhkan dengan bantuan petugas dari Program Keluarga Harapan (PKH) seperti KTP, fotocopy tagihan PLN, dan akte kelahiran.

"Ternyata lolos, bersyukur bisa mengurangi beban bapak, jadi biar bisa untuk sekolah[anggota keluarga] lainnya," ujarnya.

Hal senada disampaikan Dwi Sulistyo, lulusan SMPN 1 Bambanglipuro. Dengan semangat, Dwi mengaku masuk ke Sekolah Rakyat untuk memutus rantai kemiskinan orang tuanya.

"Pertama kali dikasih undangan saya sudah minta izin sama orang tua, sudah bilang saya mau niat, saya mau menjadi orang sukses dan ingin membanggakan kepada orang tua. Dan saya juga ingin memutus rantai kemiskinan. Karena gimana ya? Kalau orang miskin itu sama orang-orang itu dipandang rendah, suka di hina nah seperti itu," paparnya.

Dwi pun berusaha kuat untuk menyiapkan mentalnya jauh dari bapaknya yang tinggal sendirian setelah ditinggal mati sang istri. Bapak Dwi pun harus jadi buruh tani dan tukang untuk bisa hidup bersamanya selama ini.

Kedua saudara Dwi saat ini pun terpaksa dirawat tante karena keterbatasan ekonomi.

Karenanya dia bertekad belajar dengan serius agar bisa lulus dan melanjutkan pendidikannya.

"Sebelum ada Sekolah Rakyat, saya awalnya mau ke SMK Pundong. Tapi semenjak ada Sekolah Rakyat, saya memang niat mau kesini. Karena biayanya kan sudah ditanggung pemerintah," ungkapnya.

Sementara Kepala Dinas Sosial (dinsos) DIY, Endang Patmintarsih mengungkapkan saat ini ada 275 siswa di DIY yang mengikuti Sekolah Rakyat.

Sebanyak 200 siswa di Sekolah Rakyat di Bantul, sisanya 75 siswa bersekolah di Sekolah Rakyat di Sleman.

"Para siswa tidak hanya memperoleh akses pendidikan formal gratis, tapi juga fasilitas lengkap mulai dari laptop, seragam, hingga kebutuhan pribadi sehari-hari. Makan tiga kali sehari, ada snack, sepatu, tas ransel, semua kami siapkan," paparnya.

Endang menambahkan, selama dua bulan kedepan para siswa mengikuti Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) di Sekolah Rakyat.

Waktu MPLS lebih lama dari sekolah reguler karena mereka harus beradaptasi tinggal di asrama.

"Para siswa sebagian besar berasal dari keluarga miskin jadi harus meninggalkan lingkungan lama mereka dan belajar hidup dalam sistem yang teratur dan disiplin. Mereka perlu mengenal lingkungan baru, guru, teman, kepala sekolah, dan juga aturan sekolah. Ini bukan hal mudah bagi anak-anak yang selama ini hidup di lingkungan yang serba terbatas," katanya.

Untuk itulah, dua bulan pertama di SR difokuskan sebagai masa orientasi dan pembentukan karakter. Meskipun belum memulai pelajaran akademik secara penuh, anak-anak dilatih mengenali diri, menggali potensi, dan menyesuaikan diri dengan kehidupan kolektif.

"Disiplin dan karakter adalah fondasi utama. Pendidikan karakter ini sebenarnya sudah dimulai sejak hari pertama mereka masuk,"jelasnya.

Endang menyebut, pendekatan di sekolah tidak mirip dengan sistem semi militer.

Lewat model asrama yang penuh tantangan dan kedisiplinan, anak-anak diajak membangun masa depan dengan fondasi yang lebih kuat.

"Ada baris-berbaris, iya, seperti di sekolah umum. Tapi ini bukan militer. Ini soal disiplin dan pembentukan karakter yang kuat. Kalau kita bisa membuat anak-anak ini sukses, mereka akan jadi agen perubahan di keluarganya sendiri. Ini soal keadilan sosial dan kesempatan kedua bagi mereka yang nyaris tak punya," imbuhnya.

Kontributor : Putu Ayu Palupi

Load More