Muhammad Ilham Baktora
Senin, 21 Juli 2025 | 16:09 WIB
Para siswa mengikuti olahraga di Sekolah Rakyat Sonosewu selama masa MPLS. [Kontributor/Putu]

SuaraJogja.id - Penyelengaraan Sekolah Rakyat di Yogyakarta telah berjalan selama satu minggu.

Meski secara umum menunjukkan kemajuan, sejumlah tantangan dalam proses adaptasi anak-anak terhadap kehidupan asrama masih terjadi.

Kepala Dinas Sosial (dinsos) DIY, Endang Patmintarsih mengungkapkan, anak-anak mengalami kesulitan menjalani rutinitas baru yang berbeda jauh dari kebiasaan di rumah.

Mereka tak terbiasa dengan jadwal tidur hingga penggunaan fasilitas kamar mandi.

Banyak anak yang belum bisa menyesuaikan diri dengan jam istirahat dan bangun pagi. Bahkan ada yang masih terjaga hingga larut malam pada hari-hari awal.

"Di rumah, anak-anak bisa bebas tidur jam berapa saja, main di luar rumah hingga malam. Sekarang mereka harus masuk kamar jam sembilan malam, bangun jam setengah lima pagi. Itu bukan hal mudah," ujar dia, Senin (21/7/2025) .

Tak hanya soal waktu, menurut Endang, fasilitas asrama juga menyulitkan anak-anak.

Salah satu persoalan paling mencolok muncul dari kamar mandi.

Begitu pula dengan kloset duduk yang tersedia di asrama. Sebagian besar anak-anak belum familiar dengan cara penggunaannya.

Baca Juga: Detik-Detik Mencekam Kebakaran Lesehan di Jogja: Plafon Roboh, Anak Sesak Napas, Ini Kesaksian Warga

"Banyak keran shower yang jebol karena mereka belum terbiasa menggunakannya. Di rumah mungkin pakai bak atau timba, di sini pakai shower. Akhirnya fasilitas rusak," jelasnya.

Karenanya Dinsos terus melakukan pemantauan anak-anak karena masih dalam tahap adaptasi selama Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS).

Sebab Mereka harus menyesuaikan diri dari lingkungan rumah ke lingkungan asrama, yang semuanya serba baru selama dua bulan ke depan.

Karenanya dalam Program Sekolah Rakyat yang menyasar anak-anak dari latar belakang rentan, memberikan pendidikan dan pembinaan dalam sistem berasrama ini, peran wali asuh diperkuat.

Meski saat ini baru sekitar 50 persen wali asuh tersedia dari total 275 siswa Sekolah Rakyat di DIY, kehadiran mereka diharapkan bisa memudahkan anak-anak beradaptasi.

Berbeda dari wali kelas, wali asuh memiliki peran sebagai figur orang tua pengganti di lingkungan asrama.

Mereka menjadi tempat anak-anak bercerita, mengeluh, dan mendapat dukungan emosional.

Untuk mengatasi kekurangan wali asuh, guru atau kepala sekolah untuk sementara waktu merangkap perannya. Pemda DIY masih menunggu kebijakan pengangkatan wali asuh dari Kemenpan-RB.

"Anak-anak tidak digurui, tapi didampingi. Itu yang membuat mereka tidak merasa tertekan. Kalau wali kelas kan relasinya guru dan murid, sementara wali asuh seperti orang tua. Anak-anak bisa cerita apa pun," jelasnya.

Endang menambahkan, selama MPLS, Dinsos menemukan sejumlah catatan penting.

Beberapa anak mengalami anemia dan kekurangan berat badan.

Satu anak sempat dicurigai mengidap TBC namun hasil tes menyatakan negatif. Selain itu, terdapat satu anak dengan disabilitas fisik dan dua anak dengan disabilitas mental ringan.

Pendampingan terhadap anak-anak dengan kebutuhan khusus akan dilakukan secara lebih intensif.

Hal ini dilakukan untuk memastikan mereka juga bisa mengikuti program dengan baik.

"Sudah kami petakan masalah dan kebutuhan khusus mereka. Nanti akan ada penanganan lebih lanjut," imbuhnya.

Kontributor : Putu Ayu Palupi

Load More