Kritik ini sangat beralasan. Bagaimana mungkin sebuah institusi pariwisata melupakan ikon-ikon kebanggaan kotanya sendiri seperti Tugu Pal Putih, Jalan Malioboro, Keraton Yogyakarta, atau bahkan puluhan destinasi kekinian yang tersebar di seluruh penjuru kota?
Insiden ini bukan sekadar salah pilih lokasi, melainkan merefleksikan potensi kerapuhan dalam strategi branding dan kebanggaan terhadap aset daerah.
Salah Lokasi atau Salah Strategi? Pertanyaan Seputar Kunjungan Dinas
Lebih jauh dari sekadar blunder visual, pertanyaan pun merembet ke aspek yang lebih serius.
Dalam video tersebut, para staf Dispar mengenakan seragam kerja harian, mengindikasikan bahwa kegiatan tersebut dilakukan saat jam kerja atau dalam rangka perjalanan dinas. Hal ini memicu spekulasi lain di benak publik:
Efisiensi Anggaran: Di tengah isu efisiensi anggaran yang sering didengungkan pemerintah, perjalanan dinas ke luar provinsi untuk sebuah konten yang bisa dibuat di kota sendiri menjadi sorotan. Apakah kunjungan ini memiliki urgensi lain yang belum terungkap?
Tujuan Kunjungan: Hingga kini, belum ada penjelasan resmi mengenai agenda utama Dispar Kota Yogyakarta di Magelang. Apakah ada studi banding, rapat koordinasi, atau kegiatan lain yang lebih substantif? Ketiadaan transparansi ini menjadi celah bagi berkembangnya narasi negatif.
Krisis Komunikasi: Diamnya pihak Dinas Pariwisata Kota Yogyakarta dalam menanggapi serbuan komentar justru memperburuk keadaan. Di era digital yang menuntut respon cepat, kebisuan bisa diartikan sebagai pengakuan kesalahan atau bahkan pengabaian terhadap suara publik.
Pelajaran Berharga tentang Citra dan Identitas Digital
Baca Juga: Anomali Libur Lebaran: Kunjungan Wisata Gunungkidul dan Bantul Turun Drastis, TWC Justru Melesat
Bagi sebuah lembaga pemerintah, terutama yang bergerak di bidang pariwisata, setiap unggahan di media sosial adalah etalase.
Konten yang diproduksi bukan hanya sekadar informasi, tetapi juga cerminan dari visi, kompetensi, dan identitas yang diusung.
Kasus ini menjadi pelajaran berharga bahwa di era milenial dan Gen Z, audiens tidak hanya melihat apa yang ditampilkan, tetapi juga mempertanyakan "mengapa" dan "bagaimana" di baliknya.
Otentisitas dan kebanggaan lokal adalah nilai yang sangat dihargai. Ketika sebuah agensi pariwisata justru "mempromosikan" ikon daerah lain, meskipun tidak disengaja untuk merayakan pemimpinnya sendiri, pesan yang sampai ke publik adalah pesan yang terdistorsi.
Berita Terkait
Terpopuler
- 5 Mobil Bekas Punya Sunroof Mulai 30 Jutaan, Gaya Sultan Budget Kos-kosan
 - 3 Pilihan Cruiser Ganteng ala Harley-Davidson: Lebih Murah dari Yamaha NMAX, Cocok untuk Pemula
 - 5 HP Murah Terbaik dengan Baterai 7000 mAh, Buat Streaming dan Multitasking
 - 4 Mobil Bekas 7 Seater Harga 70 Jutaan, Tangguh dan Nyaman untuk Jalan Jauh
 - 5 Rekomendasi Mobil Keluarga Bekas Tahan Banjir, Mesin Gagah Bertenaga
 
Pilihan
- 
            
              Tragedi Pilu dari Kendal: Ibu Meninggal, Dua Gadis Bertahan Hidup dalam Kelaparan
 - 
            
              Menko Airlangga Ungkap Rekor Kenaikan Harga Emas Dunia Karena Ulah Freeport
 - 
            
              Emas Hari Ini Anjlok! Harganya Turun Drastis di Pegadaian, Antam Masih Kosong
 - 
            
              Pemilik Tabungan 'Sultan' di Atas Rp5 Miliar Makin Gendut
 - 
            
              Media Inggris Sebut IKN Bakal Jadi Kota Hantu, Menkeu Purbaya: Tidak Perlu Takut!
 
Terkini
- 
            
              Buntut Keracunan Siswa, Pemkab Bantul Panggil Seluruh SPPG Cegah Insiden Serupa
 - 
            
              Cuaca Ekstrem Ancam DIY: Dua Kabupaten Tetapkan Status Siaga
 - 
            
              Di Samping Sang Ayah: Posisi Makam Raja PB XIII Terungkap, Simbol Keabadian Dinasti Mataram?
 - 
            
              Jalur yang Dilewati Iring-iringan Jenazah PB XIII di Yogyakarta, Polda DIY Siapkan Pengamanan Ekstra
 - 
            
              Tragedi Prambanan: Kereta Bangunkarta Tabrak Kendaraan, Palang Pintu Tak Berfungsi?