Muhammad Ilham Baktora
Senin, 04 Agustus 2025 | 08:03 WIB
Candi Borobudur di Jawa Tengah. (Instagram/borobudurpark)

Kritik ini sangat beralasan. Bagaimana mungkin sebuah institusi pariwisata melupakan ikon-ikon kebanggaan kotanya sendiri seperti Tugu Pal Putih, Jalan Malioboro, Keraton Yogyakarta, atau bahkan puluhan destinasi kekinian yang tersebar di seluruh penjuru kota?

Insiden ini bukan sekadar salah pilih lokasi, melainkan merefleksikan potensi kerapuhan dalam strategi branding dan kebanggaan terhadap aset daerah.

Salah Lokasi atau Salah Strategi? Pertanyaan Seputar Kunjungan Dinas

Kawasan Tugu Jogja sebagai bagian dari sumbu filosofis. [Kontributor/Putu]

Lebih jauh dari sekadar blunder visual, pertanyaan pun merembet ke aspek yang lebih serius.

Dalam video tersebut, para staf Dispar mengenakan seragam kerja harian, mengindikasikan bahwa kegiatan tersebut dilakukan saat jam kerja atau dalam rangka perjalanan dinas. Hal ini memicu spekulasi lain di benak publik:

Efisiensi Anggaran: Di tengah isu efisiensi anggaran yang sering didengungkan pemerintah, perjalanan dinas ke luar provinsi untuk sebuah konten yang bisa dibuat di kota sendiri menjadi sorotan. Apakah kunjungan ini memiliki urgensi lain yang belum terungkap?

Tujuan Kunjungan: Hingga kini, belum ada penjelasan resmi mengenai agenda utama Dispar Kota Yogyakarta di Magelang. Apakah ada studi banding, rapat koordinasi, atau kegiatan lain yang lebih substantif? Ketiadaan transparansi ini menjadi celah bagi berkembangnya narasi negatif.

Krisis Komunikasi: Diamnya pihak Dinas Pariwisata Kota Yogyakarta dalam menanggapi serbuan komentar justru memperburuk keadaan. Di era digital yang menuntut respon cepat, kebisuan bisa diartikan sebagai pengakuan kesalahan atau bahkan pengabaian terhadap suara publik.

Pelajaran Berharga tentang Citra dan Identitas Digital

Baca Juga: Anomali Libur Lebaran: Kunjungan Wisata Gunungkidul dan Bantul Turun Drastis, TWC Justru Melesat

Bagi sebuah lembaga pemerintah, terutama yang bergerak di bidang pariwisata, setiap unggahan di media sosial adalah etalase.

Konten yang diproduksi bukan hanya sekadar informasi, tetapi juga cerminan dari visi, kompetensi, dan identitas yang diusung.

Kasus ini menjadi pelajaran berharga bahwa di era milenial dan Gen Z, audiens tidak hanya melihat apa yang ditampilkan, tetapi juga mempertanyakan "mengapa" dan "bagaimana" di baliknya.

Otentisitas dan kebanggaan lokal adalah nilai yang sangat dihargai. Ketika sebuah agensi pariwisata justru "mempromosikan" ikon daerah lain, meskipun tidak disengaja untuk merayakan pemimpinnya sendiri, pesan yang sampai ke publik adalah pesan yang terdistorsi.

Load More