Muhammad Ilham Baktora
Kamis, 04 September 2025 | 13:40 WIB
Kolase foto anggota DPR Ahmad Sahroni, Nafa Urbach, Eko Patrio, Uya Kuya dan Adies Kadir. [Ist]

"Akar persoalannya meliputi kesenjangan sosial, fenomena oligarki politik, dan sikap anti-kritik yang semakin menguat di kalangan elite. Rakyat menginginkan wakil yang lebih responsif, visioner, dan punya empati," paparnya.

Nanik menambahkan, penonaktifan tidak membuat parpol mengalami kerugian berarti karena kursi di parlemen tetap aman. Sementara kemarahan rakyat hanya ditekan sesaat.

Bahkan potensi penyalahgunaan mekanisme penonaktifan bisa muncul dan menjadi celah pembungkaman terhadap kader kritis.

Hal ini dimungkinkan karena kriteria penonaktifan tidak diatur secara jelas dalam undang-undang.

"Ini berbahaya. Masyarakat Indonesia hari ini semakin cerdas. Publik bisa menilai bahwa sikap partai seperti ini hanya kosmetik belaka. Praktik penonaktifan harus transparan, akuntabel, dan mengedepankan prinsip demokrasi internal. Jangan sampai justru dipakai untuk membungkam kader yang kritis dan pada akhirnya merugikan konstituen atau rakyat," ungkapnya.

Nanik menambahkan, rakyat berhak mendapat penjelasan dari partai politik terkait alasan penonaktifan anggotanya.

Keterbukaan sangat penting, karena anggota dewan dipilih langsung oleh rakyat, bukan ditentukan ketua partai.

"Rakyat berhak tahu. Yang memilih Eko Patrio dan lainnya itu rakyat, bukan parpol. Jadi harus ada pertanggungjawaban kepada konstituen. Kalau tidak, rakyat hanya dijadikan alat untuk memilih, sementara setelahnya dianggap tidak mengerti apa-apa," imbuhnya.

Kontributor : Putu Ayu Palupi

Baca Juga: Kampus Yogyakarta Geram! Pemerintah Dinilai Lambat Tangani Demo Anarkis, Korban Berjatuhan

Load More