Muhammad Ilham Baktora
Minggu, 26 Oktober 2025 | 16:34 WIB
Sri Sultan HB X menyampaikan paparan dalam Sambung Rasa Kebangsaan di Sasono Hinggil, Keraton Yogyakarta, Minggu (26/10/2025). [Kontributor/Putu]
Baca 10 detik
  • Kegiatan Sapa Aruh dilakukan oleh Gubernur DIY, Sri Sultan HB X
  • Beberapa tokoh publik hadir termasuk seniman di Yogyakarta
  • Sri Sultan juga menyoroti para pejabat yang justru menjauhi semangat demokrasi

SuaraJogja.id - Setelah lama tak menggelar forum Sapa Aruh, Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X kembali menyapa publik melalui acara Sambung Rasa Kebangsaan, Minggu (26/10/2025) di Sasono Hinggil, Keraton Yogyakarta.

Dalam forum yang dihadiri sejumlah tokoh nasional, akademisi, dan perwakilan warga itu, Sultan menjawab berbagai keresahan publik terhadap situasi kebangsaan, mulai dari isu etika pejabat, polemik program Makan Bergizi Gratis (MBG), hingga posisi perempuan dalam kepemimpinan di Yogyakarta.

Acara ini dihadiri oleh tokoh-tokoh nasional seperti Kepala Otorita Ibu Kota Negara (IKN) Basuki Hadimuljono, Penasehat Khusus Presiden Bidang Keamanan dan Ketertiban Masyarakat dan Reformasi Kepolisian Komjen Pol (Purn) Ahmad Dofiri, serta mantan Menko Polhukam Mahfud MD.

Turut hadir pula para bupati, rektor perguruan tinggi, budayawan Butet Kartaredjasa, dan jurnalis senior Rosianna Silalahi.

Sultan yang didampingi GKR Hemas dan puteri-putrinya, menandai forum ini sebagai ruang refleksi sekaligus dialog terbuka antara pemimpin dan rakyatnya.

Dalam kesempatan tersebut, berbagai tokoh mengungkapkan kegelisahan mereka terhadap kondisi bangsa dan iklim demokrasi yang dianggap semakin kehilangan arah moral.

Sebut saja Butet yang menyampaikan keresehannya akan program MBG yang banyak mengakibatkan keracunan massal.

Banyak anak dikorbankan demi memaksakan penerapan janji kampanye tersebut.

"Padahal sebelum ada [MBG] itu, aman-aman saja, tidak ada siswa sekolah yang keracunan. Hari ini, kita panen orang keracunan karena MBG, dan itu seakan-akan jadi hal biasa. Yang tidak biasa seakan-akan jadi biasa," kata dia.

Sedangkan Rosi menyoroti perilaku para pejabat yang kerap menyalahgunakan fasilitas kekuasaan seperti menggunakan patwal dan menerobos lampu merah meskipun tidak dalam kondisi darurat.

Baca Juga: Makan Bergizi Gratis Bikin Harga Bahan Pokok di Yogyakarta Meroket? Ini Kata Disperindag

Ia menilai hal itu menjadi simbol lemahnya etika pejabat publik.

Rosi kemudian mencontohkan sosok Sri Sultan yang dalam kesehariannya dikenal tertib berlalu lintas tanpa patwal.

Menurutnya, tindakan sederhana itu justru menunjukkan teladan kepemimpinan yang menempatkan diri sejajar dengan rakyat.

"Saya di Jakarta, minimal sehari lima kali ada tet tot wuk-wuk [suara sirene patwal], di Jogja hari ini tidak sekalipun saya dengar [sirene patwal]," ungkapnya.

Menanggapi berbagai keresahan tersebut, Sri Sultan menegaskan pemerintah dan masyarakat harus sama-sama menjadi pelaku pembangunan, bukan sekadar pelaksana perintah.

"Buktinya, masyarakat bukan sekadar diperintah, tapi menjadi subyek pembangunan. Masyarakat kecil, petani, itu bukan korban, tapi pelaku [pembangunan]," ungkapnya.

Pemimpin pun harus tahu perannya. Contohnya Sultan yang menjadi Gubernur DIY sekaligus Raja Keraton Yogyakarta harus tahu menempatkan dirinya.

Saat menjadi Gubernur, Sultan bisa saja dikawal patwal dalam acara resmi, namun saat menjadi Raja, dia tidak perlu mendapatkan fasilitas tersebut dalam aktivitas sehari-harinya.

Terbiasa Membawa Barang Sendiri

Sultan juga terbiasa membawa barang-barang pribadinya sendiri tanpa harus dikawal.

Saat berkendara di jalan raya pun, dia juga wajib mematuhi aturan lalulintas.

"Jadi ya tidak perlu berlebihan, kan kalau lampu merah ya harus berhenti," tandasnya.

Sultan juga menyoroti kondisi demokrasi yang belakangan dianggap meredup.

Ia menegaskan reformasi harus dijaga sebagai roh kehidupan bangsa.

"Bagi saya, reformasi adalah roh kehidupan. Kalau bicara demokrasi, ruang-ruang itu memang dibutuhkan, ya kita perlu membuka ruang dialog," ungkapnya.

Yogyakarta tetap demokratis dengan keistimewannya

Sultan menepis anggapan bila Yogyakarta tidak demokratis karena masih berstatus daerah istimewa dan memiliki sistem monarki di dalamnya.

Ia mengingatkan keistimewaan Yogyakarta tidak bertentangan dengan prinsip demokrasi, selama pemimpin dan rakyatnya sama-sama tunduk pada nilai-nilai republik.

Regenerasi dan posisi perempuan dalam kepemimpinan pun mestinya bukan masalah.

Sultan mengungkapkan pandangannya bahwa perempuan berhak menjadi bagian dari regenerasi kepemimpinan.

Namun Sultan bersikap konsisten terhadap nilai-nilai republik dan kesetaraan gender.

"Saya di Mahkamah Konstitusi pernah bicara bahwa perempuan bisa menjadi bagian dari regenerasi di keraton. Kenapa tidak boleh? Di keraton tidak ada aturan yang melarang. Tapi saya tunduk pada republik. Republik tidak membedakan laki-laki dan perempuan. Kenapa saya harus membedakan? Saya harus konsisten, karena saya bagian dari republik," ungkapnya.

Sementara anggota Parampara Praja DIY, Edy Suandi Hamid, mengungkapkan sambung rasa bersama Sultan kali ini memang berangkat dari keresahan publik yang mendalam terhadap meningkatnya polarisasi dan narasi perpecahan di ruang publik Indonesia.

Masyarakat kini merindukan sosok pemimpin yang mampu hadir di tengah ketegangan sosial dan memberikan pencerahan moral, terutama dalam menghadapi berbagai tantangan kebangsaan yang kian kompleks.

"Gagasan untuk menyelenggarakan dialog ini timbul dari keinginan kuat masyarakat, yakni ingin melihat para pemimpin, dalam hal ini Ngarsa Dalem Sri Sultan Hamengku Buwono X, hadir, turun tangan, dan memberikan pencerahan," paparnya.

Edy menilai kharisma dan kewibawaan Sultan bukan hanya berskala lokal Yogyakarta, tetapi juga nasional.

Suara dan pandangan Sultan selalu dinantikan karena dikenal menyejukkan di tengah perbedaan pendapat.

Ia mengingatkan kembali peran penting Sultan dalam berbagai momentum sejarah, terutama saat masa-masa kritis bangsa.

Sejarah mencatat Sultan hadir di tengah riuh ketegangan dan kerusuhan masyarakat, bahkan sering tanpa pengawalan dan mampu menurunkan tensi demonstrasi yang sangat panas.

"Kehadiran beliau yang selalu mengedepankan dialog sejalan dengan tradisi dan nilai budaya Yogyakarta yang beliau pegang teguh," imbuhnya.

Kontributor : Putu Ayu Palupi

Load More