- Pameran seni disabilitas digelar di Jogja
- Aveta Hotel dan JDA sebagai penyelenggara menggandeng sekitar 25 seniman
- Seni yang ditampilkan beranekaragam mulai dari politik, isu lingkungan dan lainnya
SuaraJogja.id - Ketika harga bahan baku seni kian melambung, mulai dari kanvas hingga cat minyak dan bingkai, para perupa disabilitas di Yogyakarta justru menolak berhenti berkarya.
Alih-alih meyerah di tengah keterbatasan fisik dan ekonomi, mereka tampil percaya diri memamerkan karya penuh warna, ide, dan semangat dalam ajang Pameran Karya Seni Seniman Disabilitas bertajuk Together Beyond Limits" di Aveta Hotel Malioboro selama November 2025.
Pameran ini menjadi bukti nyata dunia seni tetap menjadi ruang setara bagi semua orang.
Diselenggarakan oleh Aveta Hotel Malioboro bekerja sama dengan Jogja Disability Art (JDA), pameran kali ini menampilkan sekitar 25 seniman dari berbagai ragam disabilitas.
Mereka menghadirkan lebih dari 30 karya yang dieksekusi dengan beragam medium. Sebut saja akrilik, cat minyak, hingga kombinasi cat air, bolpoin, dan spidol.
Founder sekaligus Ketua JDA, Sukri Budi Dharma dalam pembukaan pameran, Sabtu (1/11/2025) malam menjelaskan seniman yang terlibat berasal dari empat ragam disabilitas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016, yakni motorik, sensorik, intelektual, dan disabilitas ganda.
"Motorik itu biasanya disabilitas fisik, seperti pengguna kursi roda atau kaki palsu. Sensorik itu tuli-bicara dan netra, dan untuk yang netra, kami libatkan di bidang musik. Sementara intelektual termasuk adik-adik dengan IQ di bawah 90 atau autis," jelasnya.
Bagi Sukri, pendampingan terhadap seniman disabilitas tidak sekadar teknis, tapi juga menyangkut penguatan kepercayaan diri.
Mereka selama berbulan-bulan diajak berkarya di tengah keterbatasannya.
Baca Juga: Bantul Lawan Kemiskinan Ekstrem: Bansos Pangan dan Alat Bantu Disabilitas Disalurkan
Apalagi tantangan ekonomi yang kini dihadapi para seniman.
Harga bahan baku melonjak tajam, dari kanvas hingga pigura.
"Sekarang harga kanvas naik, satu meter bisa ratusan ribu. Belum lagi cat, frame, dan kaca. Tapi kami tetap semangat. Kami edukasi bahwa nilai karya tidak hanya dari mahalnya bahan, tapi dari makna dan prosesnya," ujarnya.
Dalam pengalamannya mengurasi karya peserta pameran, Sukri mengaku kagum. Sebab karya-karya para seniman disabilitas justru tidak terjebak pada tema penderitaan atau keterbatasan.
"Kami menyesuaikan kemampuan dan potensi masing-masing. Yang penting bukan belas kasihan, tapi kesempatan yang setara," ujarnya.
Mereka tidak hanya bicara tentang disabilitas. Banyak yang mengangkat isu alam, politik, sampai polusi.
Artinya, mereka punya kepekaan sosial tinggi.
"Mereka tidak melihat diri sebagai korban, tapi sebagai bagian dari masyarakat yang punya pandangan tajam terhadap kehidupan," ungkapnya.
Salah satu karya yang mencuri perhatian menampilkan gambar mata yang ditarik ke satu arah. Menurut Sukri, lukisan itu merupakan kritik sosial terhadap situasi politik yang timpang.
Lukisan itu merupakan karya seniman tuli bicara. Dia ingin bicara tentang sesuatu yang susah diubah, salah satunya tentang pemerintah daerah dan sistem yang lamban.
"Bahasa visual menjadi cara mereka menyampaikan hal-hal besar yang sulit diungkap dengan kata-kata," tandasnya.
Pendekatan inklusif dalam JDA juga diterapkan dalam proses berkarya.
Para seniman tidak diarahkan secara kaku, melainkan diajak menggali makna dan pengalaman pribadi.
"Kami tidak menentukan, kamu gambar ini, kamu gambar itu. Tapi kami tanya, tema ini, apa yang kamu tahu, apa yang ingin kamu ceritakan? Dari situ muncul karya yang jujur dan berakar pada pengalaman masing-masing," ungkapnya.
Di antara para peserta, nama Rokita Rahayu dari Gunungkidul juga menarik perhatian.
Ia merupakan penyandang tuli bicara yang tidak bisa baca tulis, namun memiliki kemampuan menggambar alami.
Karya Rokita terpajang di jantung Malioboro, berdampingan dengan karya seniman dari berbagai daerah.
Bagi JDA, kisah seperti Rokita menunjukkan seni adalah alat pemberdayaan yang nyata.
"Kami tahu dari teman seniman di Gunungkidul. Rokita sering menggambar di kertas bekas dan hasilnya bagus. Lalu kami dampingi. Karena dia tidak bisa baca-tulis dan tidak menggunakan YouTube, jadi proses belajarnya lewat observasi langsung, seperti diajak menonton pameran," katanya.
Beberapa karya dijual dengan harga antara tiga hingga sepuluh juta rupiah dalam pameran kali ini.
Namun bagi para seniman disabilitas, nilai bukan di angka, melainkan di pengakuan dan keberlanjutan.
"Ada pembeli dari Jerman yang langsung tertarik sebelum pameran dibuka. Itu jadi penyemangat teman-teman. Artinya karya mereka punya tempat," tambahnya.
Sementara General Manager (GM) Aveta Hotel Malioboro, Cynthia Carissa, menjelaskan pameran ini merupakan bagian dari perayaan ulang tahun hotel yang tahun ini mengangkat tema "Together Beyond Limits".
"Kami sudah menjalankan pameran seni ini setiap tahun dan bekerja sama dengan para seniman tanah air, khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta. Pada tahun 2025 ini kami mengundang para seniman disabilitas untuk berpartisipasi," jelasnya.
Deretan nama seniman yang turut berpartisipasi kali ini di antaranya Alfian Rahmadani, Bagaskara Maharastu Pradigdaya Irawan, Sukri Budi Dharma, Winda Karunadhita, Yuni Darlena, Edi Priyanto, Yogi Suganda Siregar, Yaya Maria, Kireina Jud Aisyah, Hilmy Ahmad Al Quds, Rayaka Agashtya Wibowo, Lejar Daniartana Hukubun, Salasatul Hidayah.
Selain itu Albert Barret Purba, Gilbert Barry Purba, Taufik Gustian, Rofitasari Rahayu, Zakka Nurul Giffani Hadi, Anfield Wibowo, dan Razqa Nayla Asshiddiqi. Juga karya tambahan dari anak-anak SLB Wiyata Dharma 1 Yogyakarta.
Melalui pameran ini, mereka ingin memberikan ruang berekspresi sekaligus membuka kesempatan lebih luas bagi para seniman disabilitas untuk bersinar di dunia seni.
"Mereka memiliki potensi dan kreativitas luar biasa, dan karya-karya ini adalah aset berharga bangsa," tambahnya.
Selain pameran, kegiatan ini juga menjadi pembuka rangkaian ulang tahun Aveta Hotel Malioboro.
Setelah acara ini, hotel akan menggelar donor darah bersama Palang Merah Indonesia (PMI), kunjungan sosial ke Rumah Singgah Jiwa Citra Girli di Magelang, serta lomba fotografi bersama komunitas Fuji Film Yogyakarta.
Melalui tema kali ini, pesan yang ingin disampaikan sederhana namun kuat.
Tidak ada keterbatasan yang benar-benar bisa membatasi semangat manusia untuk berkarya.
"Bersama-sama, kita bisa melampaui batas. Keterbatasan fisik atau mental bukan alasan untuk berhenti. Karena dalam seni, kita tidak sendiri," imbuhnya.
Kontributor : Putu Ayu Palupi
Berita Terkait
Terpopuler
- 3 Pilihan Cruiser Ganteng ala Harley-Davidson: Lebih Murah dari Yamaha NMAX, Cocok untuk Pemula
- 7 Mobil Bekas Favorit 2025: Tangguh, Irit dan Paling Dicari Keluarga Indonesia
- 25 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 1 November: Ada Rank Up dan Pemain 111-113
- 5 Mobil Bekas Punya Sunroof Mulai 30 Jutaan, Gaya Sultan Budget Kos-kosan
- 5 Bek Kanan Terbaik Premier League Saat Ini: Dominasi Pemain Arsenal
Pilihan
-
Pemilik Tabungan 'Sultan' di Atas Rp5 Miliar Makin Gendut
-
Media Inggris Sebut IKN Bakal Jadi Kota Hantu, Menkeu Purbaya: Tidak Perlu Takut!
-
5 HP RAM 12 GB Paling Murah, Spek Gahar untuk Gamer dan Multitasking mulai Rp 2 Jutaan
-
Meski Dunia Ketar-Ketir, Menkeu Purbaya Klaim Stabilitas Keuangan RI Kuat Dukung Pertumbuhan Ekonomi
-
Tak Tayang di TV Lokal! Begini Cara Nonton Timnas Indonesia di Piala Dunia U-17
Terkini
-
DIY Percepat Program Makan Bergizi Gratis: Regulasi Bermasalah, Relawan Jadi Sorotan
-
Rebut Peluang Makan Bergizi Gratis: Koperasi Desa di Bantul Siap Jadi Pemasok Utama
-
Pemda DIY Buka-bukaan Soal Aset Daerah: Giliran Hotel Mutiara 2 Malioboro Dilelang
-
Imogiri Siap Sambut Pelayat PB XIII: Ini Panduan Lengkap Akses, Pakaian, dan Tata Cara Penghormatan
-
Stop Saling Tuding! Begini Cara Dosen UGM Sederhanakan Proses Perceraian di Indonesia