Muhammad Ilham Baktora
Rabu, 05 November 2025 | 15:43 WIB
Dosen FEB UGM, Luluk Lusiantoro menyampaikan tentang sampah di Yogyakarta dalam diskusi, Rabu (5/11/2025). [Kontributor/Putu]
Baca 10 detik
  • Pengolahan sampah menjadi energi listrik di DIY masih menuai pro dan kontra
  • Pemda DIY diingatkan agar tak gegabah mengambil proyek pemerintah pusat hanya untuk menangani sampah
  • Jika berkaitan untuk peningkatan energi listrik Indonesia, PLN sudah oversupply

Selain itu, Luluk menilai pemerintah masih kurang melibatkan pihak produsen dalam diskusi dan kebijakan pengelolaan sampah.

Padahal, konsep Extended Producer Responsibility (EPR) atau tanggung jawab produsen terhadap kemasan pasca-konsumsi sudah lama dikenal secara internasional.

Selama ini jarang sekali ada diskusi yang melibatkan produsen air mineral, minuman, atau industri makanan untuk bertanggung jawab terhadap sampah yang mereka hasilkan.

Padahal di negara lain, EPR sudah jadi mekanisme wajib.

Padahal tanggung jawab pengelolaan sampah tidak bisa hanya dibebankan pada pemerintah daerah dan masyarakat.

Namun juga harus melibatkan produsen sebagai bagian dari rantai sirkular ekonomi.

"Kalau sistemnya berjalan, produsen bisa menarik kembali kemasan bekas untuk diolah jadi bahan baku baru. Itu baru sirkular ekonomi. Tapi di sini belum ada mekanismenya," ungkapnya.

Pembatasan Waktu harus Diperhatikan

Sampah menumpuk di salah satu depo Kota Yogyakarta akibat pembatasan pengiriman ke TPA Piyungan, Selasa (16/9/2025). [Kontributor/Putu]

Meski mengakui PSEL dapat membantu mengatasi darurat sampah di Yogyakarta, Luluk menegaskan proyek tersebut seharusnya dibatasi secara waktu.

Baca Juga: Jalur yang Dilewati Iring-iringan Jenazah PB XIII di Yogyakarta, Polda DIY Siapkan Pengamanan Ekstra

Selain itu dibutuhkan rencana transisi menuju sistem pengelolaan berkelanjutan.

Terlebih investasi teknologi pembakaran sampah bernilai sangat besar yang bisa bahkan bisa mencapai miliaran rupiah.

Namun manfaatnya tidak akan berkelanjutan jika tidak diiringi perubahan sistemik.

"Kalau kita tidak hati-hati, nanti lima tahun jadi lima belas tahun [PSEL]. Kita kebablasan dan kehilangan momentum untuk bertransisi ke ekonomi berkelanjutan," ungkapnya.

Luluk menambahkan, Pemda harus melihat PSEL bukan sebagai akhir dari persoalan. Namun lebih dari itu merupakan awal dari upaya memperbaiki sistem pengelolaan sampah.

Proyek PSEL yang ditargetkan dimulai dalam dua tahun ke depan mestinya tidak dijadikan selebrasi bila DIY sudah punya solusi teknologi.

Load More