- Kasus bunuh diri terkini menjadi alarm bagi kesehatan mental Generasi Alpha yang rentan akibat tekanan psikologis lingkungan digital.
- Generasi Alpha berisiko tinggi mengalami kelelahan emosional dini karena interaksi intensif dunia maya tanpa kemampuan pengelolaan emosi matang.
- CPMH UGM dan Dinkes Sleman menekankan perlunya peran aktif orang tua serta sekolah dalam meningkatkan literasi dan menyediakan dukungan psikologis.
SuaraJogja.id - Sederet kasus bunuh diri yang terjadi belakangan ini menjadi alarm darurat bagi kondisi kesehatan mental generasi termuda.
Sorotan tajam kini mengarah pada Generasi Alpha (kelahiran 2010-2024) yang disebut memiliki kerentanan unik terhadap tekanan psikologis akibat tumbuh di era digital.
Pakar dari Center for Public Mental Health (CPMH) Universitas Gadjah Mada (UGM) menegaskan bahwa situasi ini memerlukan langkah cepat dan kolaboratif untuk melindungi masa depan anak-anak.
Manajer CPMH UGM, Nurul Kusuma Hidayati, memandang rentetan kasus ini sebagai peringatan keras bagi semua pihak.
Menurutnya, kesejahteraan mental anak harus menjadi prioritas utama, setara dengan pencapaian akademis mereka.
"Ini sudah semacam wake-up call yang harus membuat semua pihak waspada. Sudah saatnya setiap elemen bangsa melihat kesehatan mental anak sebagai hal yang penting untuk diperhatikan. Anak tidak hanya perlu sejahtera secara prestasi, tetapi juga secara mental," kata Nurul dikutip, Jumat (14/11/2025).
Risiko Kelelahan Emosional di Usia Dini
Nurul menjelaskan, karakteristik Generasi Alpha yang lahir dan besar di tengah kepungan teknologi digital membuat mereka lebih rentan. Paparan informasi tanpa henti dan interaksi intensif di dunia maya membawa risiko tersendiri.
Meskipun akrab dengan dunia digital, generasi ini justru menghadapi ancaman kelelahan emosional atau emotional burnout jauh lebih dini dibandingkan generasi sebelumnya.
Baca Juga: Arya Daru Putuskan Bunuh Diri? Keluarga Akui Tak Pernah Dengar Almarhum Mengeluh soal Kerjaan
Kondisi ini menjadi berbahaya ketika kemampuan mereka untuk mengelola pikiran dan emosi belum sepenuhnya matang.
"Mereka berisiko lebih dini mengalami kelelahan emosional. Sementara kemampuan pengelolaan pikirannya belum matang. Kombinasi ini berpotensi membuat anak terjebak dalam tekanan mental yang berat hingga berujung pada tindakan ekstrem," ungkapnya.
Tantangan terbesar, menurut Nurul, adalah rendahnya literasi kesehatan mental di masyarakat.
Banyak orang tua dan guru belum mampu mengenali tanda-tanda awal gangguan psikologis, sehingga intervensi seringkali terlambat.
Jarak komunikasi antar generasi juga memperburuk keadaan.
"Kurangnya dialog yang empatik antara orang tua dan anak membuat proses pertolongan pertama psikologis tidak berjalan dengan baik," paparnya.
Berita Terkait
Terpopuler
- 5 Mobil Bekas yang Anti-Rugi: Pemakaian Jangka Panjang Tetap Aman Sentosa
- 3 Mobil Bekas 60 Jutaan Kapasitas Penumpang di Atas Innova, Keluarga Pasti Suka!
- 5 Mobil Listrik 8 Seater Pesaing BYD M6, Kabin Lega Cocok untuk Keluarga
- Cek Fakta: Viral Ferdy Sambo Ditemukan Meninggal di Penjara, Benarkah?
- Target Harga Saham CDIA Jelang Pergantian Tahun
Pilihan
-
Catatan Akhir Tahun: Emas Jadi Primadona 2025
-
Dasco Tegaskan Satgas DPR RI Akan Berkantor di Aceh untuk Percepat Pemulihan Pascabencana
-
6 Rekomendasi HP Murah Layar AMOLED Terbaik untuk Pengalaman Menonton yang Seru
-
Kaleidoskop Sumsel 2025: Menjemput Investasi Asing, Melawan Kepungan Asap dan Banjir
-
Mengungkap Gaji John Herdman dari PSSI, Setara Harga Rumah Pinggiran Tangsel?
Terkini
-
Meski Naik dari Hari Biasa, Orderan Rental Motor Jogja Tetap Tak Seramai Tahun Lalu
-
Anak-anak Terdampak Banjir di Sumatera Gembira Dapat Trauma Healing dari BRI
-
5 Pasar Tradisional Estetik di Jogja yang Cocok Dikunjungi Saat Liburan Akhir Tahun
-
Selamat Tinggal, Rafinha Resmi Tinggalkan PSIM Yogyakarta dan Gabung PSIS Semarang
-
Empati Bencana Sumatera, Pemkab Sleman Imbau Warga Rayakan Tahun Baru Tanpa Kembang Api