SuaraJogja.id - Sebanyak 30 Pusat Kajian Hukum dan Antikorupsi dari berbagai perguruan tinggi se-Indonesia menolak Revisi Undang-undang (RUU) KPK.
Puluhan lembaga tersebut bersama-sama mengirim surat ke Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar tidak menerbitkan Surat Presiden (surpres) ke DPR RI untuk pembahasan RUU KPK.
Sebab proses penerbitan revisi tersebut dinilai cacat formil. Bahkan melanggar prosedur pembahasan yang diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pembentukan Perundang-undangan.
“Tahapan sekarang setelah usulan RUU KPK adalah surpres. Karenanya kami menunggu sikap Presiden untuk mengurungkan penandatangan surpres itu,” kata Direktur Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Fakultas Hukum UGM, Oce Madril di sela pernyataan sikap dan dukungan pada KPK di Pukat UGM, Rabu (11/9/2019).
Baca Juga:Dukung RUU KPK, Yusril: Tidak Ada UU yang Sempurna
Dalam kesempatan itu hadir Ketua KPK, Agus Rahardjo dan perwakilan dari berbagai kampus.
Menurut Oce, cacat prosedur itu dapat ditelisik dari proses RUU KPK yang disinyalir dibuat Komisi III DPR RI dalam operasi senyap dan disiapkan secara tersembunyi. Operasi senyap ini dapat dilihat dari tidak masuknya pembahasan UU pada 2019.
Selain itu, sesuai aturan yang berlaku, presiden diberi waktu 60 hari untuk mengkaji RUU. Namun bila dilihat dari gejala surpres, dikhawatirkan Presiden tidak diberi waktu untuk mempelajarinya.
“Prosedur sebelum surpres pada dasarnya sangat panjang karena perlu diskusi dan partisipasi masyarakat. Sangat tidak mungkin kalau hal itu dilalui sampai akhir September di masa akhir jabatan DPR. Ini sama saja cacat prosedur,” katanya.
Bila DPR RI ngotot mengesahkan revisi UU KPK, lanjut Oce, mereka akan melakukan langkah hukum. Mulai dari judicial review, PTUN maupun ke Pengadilan.
Baca Juga:JK Sebut Tak Semua Poin RUU KPK Disetujui, Ketua DPR: Itu Jadi Pembahasan
Materi KPK, lanjut Oce disusun dengan sesat pikir. Alih-alih memikirkan kebutuhan KPK, penyusunan RUU justru melumpuhkan lembaga negara tersebut.
- 1
- 2