Para kurator memilih tajuk 'Do we live in the same PLAYGROUND?' untuk merangkum pembacaan Yayasan Biennale Yogyakarta dan seniman-seniman yang terlibat di dalam perhelatan Biennale Jogja Equator 5 atas segelintir persoalan 'pinggiran' yang berlangsung di kawasan Asia Tenggara, terutama yang beririsan dengan masalah identitas (gender, ras, dan agama), narasi kecil, konflik sosial-politik, perburuhan, lingkungan, atau yang lebih spesifik, praktik kesenian.
Mereka fokus pada gagasan tentang 'pinggiran' yang tidak sekedar mengacu pada ide tentang tempat, namun lebih penting lagi adalah tentang subyek atau komunitas yang hidup di dalamnya: subyek yang tidak mendapat manfaat dari dan menderita karena struktur sosial ekonomi atau politik. Ini akan menyentuh masalah-masalah relasi kuasa, di mana subyek di pinggiran dipaksa untuk menghadapi situasi hegemoni kekuasaan di manapun mereka berada.
Sebagai sebuah pendekatan, gagasan tentang pinggiran dapat diperluas ke berbagai permasalahan hidup sehari-hari: kesenjangan kesetaraan jender, pelanggaran hak asasi manusia, masalah buruh dan kelas pekerja, khususnya terkait pekerja migran, diskriminasi berbasis ras atau agama, dan banyak lagi yang lainnya.
Karya seniman di Biennale Jogja 2019
Baca Juga:Voice of Baceprot, Hijaber Metal Siap Buka Biennale Jogja 2019
Beberapa seniman yang menampilkan karya atau proyek yang merespon ketegangan antara pusat dan sekitarnya, mencoba menawarkan sebuah posisi alternatif dan subversif, untuk menyoroti suara dari pinggiran.
Misalnya, Manifesto Konkhaem menduduki sebuah ruang yang diabaikan di Kota Yogyakarta untuk menciptakan platform bagi berbagai media, untuk memberi panggung bagi mereka yang dieksploitasi, dilupakan dan dibuang dari pembangunan arus utama yang brutal.
Kemudian ada Muslimah Collective yang mengambil langkah yang tidak biasa di antara lingkup kesetaraan, yang biasanya membingkai hijab mereka dalam peran kewanitaan.
Kelima anggota Muslimah Collective menampilkan ragam bentuk karya yang fokus pada cara hidup muslim di Pattani.
Sementara itu seniman Moelyono menampilkan karyanya yang pertama kali diinisiasi pada 1994, sebuah persembahan untuk buruh perempuan yang dibunuh pada periode tersebut, Marsinah.
Baca Juga:Tertib Saat Lampu Merah, Foto Pemotor di Titik 0 Km Jogja Viral
Dalam Biennale Jogja 2019 ini, YBY juga memperkenalkan program Paviliun yang disebut dengan Bilik sebagai platform untuk bertemu dengan negara atau wilayah lain yang memiliki relasi erat dengan Asia Tenggara.