Kisah Perajin Gamelan: Bila Tidak Mood Lebih Baik Kerjakan Hal Lain

Banyak terkandung nilai filosofi dalam membuat gamelan. Tak hanya buat baru, juga layani perbaikan.

RR Ukirsari Manggalani
Sabtu, 19 Oktober 2019 | 13:36 WIB
Kisah Perajin Gamelan: Bila Tidak Mood Lebih Baik Kerjakan Hal Lain
Penabuh gamelan dan pesinden menandakan dimulainya Pre-event TGF di Kota Yogyakarta. Sebagai ilustrasi gamelan [Suara.com/Putu Ayu P]

SuaraJogja.id - Gamelan dikenal sebagai alat musik yang identik menjadi artefak budaya sejumlah daerah di Indonesia. Di Gamping, Sleman, Yogyakarta, ada perajin gamelan yang konsisten dengan karyanya selama tiga generasi berturut.

Saat itu, cuaca cerah melingkupi daerah Gamping. Tepatnya di salah satu titik Dusun Turusan, Desa Banyuraden. Di sebuah rumah produksi gamelan bergelar Bondho Gongso, beberapa lelaki dewasa terlihat sedang mengelas besi. Mereka mengenakan kaca mata las sekadarnya, bukan khusus bagi pekerja las.

Ilustrasi warga asing belajar memainkan gamelan. (Foto: Antara/M Risyal Hidayat)
Ilustrasi warga asing belajar memainkan gamelan [ANTARA Foto: Antara/M Risyal Hidayat)

Bunyi palu dipukul ke atas logam, terdengar bertalu-talu di saat bersamaan. Hal itu dilakukan oleh pekerja yang lain. Rupanya mereka tengah membuat gong.

Di sisi lain bangunan, tampak seorang lelaki paruh baya, bernama Punjul, sedang sibuk mengurusi kulit satwa. Di sebelah kiri dan kanannya terdapat gendang beragam ukuran.

Baca Juga:Wah, Jusuf Kalla Dapat Kado Perpisahan Vespa Lawas dari Paspampres

"Saya kerja di sini sejak 1997. Kalau yang punya, namanya Pak Slamet. Itu fotonya," ungkap Punjul yang berusia 53 tahun, saat ditemui Suara.com, Jumat (18/10/2019). Telunjuknya mengarah pada sebuah citra terpasang di dinding. Tergambar wajah lelaki berbeskap putih. Sang empunya itu sudah tiada.

Tak lama, Stevanus Permadi, seorang lelaki berkaos kelabu datang menghampiri kami. Ia bercerita tentang silsilah keluarga, di mana posisinya adalah anak kelima dari lima bersaudara. Kakeknya adalah Slamet, yang wajahnya ada di bingkai foto tadi. Anak ketiga Slamet bernama Tri Suko--nama berikut nomor ponselnya tertulis di spanduk berkelir hijau, milik rumah produksi gamelan Bondho Gongso ini.

Laman berikut adalah filosofi membuat gamelan, mesti dikerjakan sepenuh perasaan atau tak usah bikin.

Kontributor : Uli Febriarni

Dalam keterangan pada spanduk itulah, mau pesan hanya satu jenis alat musik pun bisa, tak melulu harus harus pesan satu set.

Baca Juga:Renault Siapkan Mobil Swakemudi untuk Layanan Bandara

"Yang punya ini Pak Tri, putra ketiga. Saya di sini cuma membantu," ungkapnya merendah.

Permadi, sapaan akrabnya, mengatakan bahwa usaha gamelan milik orang tuanya itu sudah berdiri sejak 1985. Sebelumnya, usaha itu dirintis oleh Simbah, kakeknya.

Membuat gamelan tak bisa sembarang. Istilah yang meluncur dari Permadi adalah ati kudu ayem (atau hati harus tenteram). Utamanya kala membuat gong.

"Kalau perasaan lagi tidak mood, itu pengaruh. Kalau tidak mood, saya minta perajin kerjakan yang lain saja, jangan buat gong," ungkapnya.

Seorang perajin rumah gamelan Bondho Gongso tengah mengerjakan instrumen musik tradisional Jawa itu [Suara.com/Uli Febriarni].
Seorang perajin rumah gamelan Bondho Gongso tengah mengerjakan instrumen musik tradisional Jawa itu [Suara.com/Uli Febriarni].

Menurut Permadi, kehati-hatian dan penggunaan feeling berlaku kala membuat semua alat musik yang menjadi bagian dari set gamelan, bukan hanya gong. Hanya diakuinya, membuat gong butuh sensitivitas tinggi.

Begitu juga gendang, yang di Jawa lebih dikenal dengan nama kendang. Baik gong dan kendang sama-sama perlu dicari kesesuaian nada.

"Kalau hanya membuat bentuk, itu mudah. Yang susah itu mencari nada. Untuk kendang, kalau kulit terlalu tebal tidak bunyi, terlalu tipis mudah rusak," jelasnya.

Laman berikut adalah kisah sedikit menggelikan soal pesanan gamelan. Juga suka-duka terus bertahan mengerjakan gamelan dengan kebijakan pemerintah.

Kontributor : Uli Febriarni

Lulusan Politeknik Akademik Teknologi Kulit Yogyakarta itu masih ingat betul, pernah ada alat musik yang tidak jadi dan tidak bunyi. Padahal sudah akan diambil oleh pembeli.

Dari sana, ia belajar bahwa konsistensi kualitas harus dijaga sejak awal. Menurut Permadi, mereka bukan sekadar menjual barang, akan tetapi kualitas.

Ia mengungkapkan, Bondho Gongso tak pernah mencari tahu harga set gamelan di toko atau perajin lainnya. Bahkan ia tak mau mencari tahu.

Bondho Gongso tak hanya menerima pembelian baru, namun melayani perbaikan gamelan. Tak jarang mereka harus memperbaiki set gamelan berusia puluhan tahun. Tak ada tips lain, kecuali memperbaikinya dengan ekstra hati-hati.

"Banyak yang service di sini. Dari luar kota, luar pulau. Sejak zaman Bapak dulu sudah begitu," terang Permadi.

Yang unik dari usaha set gamelan ini adalah adanya perbedaan nama alat musik antara satu daerah dengan daerah lainnya.

Misalnya di Sumatera dan Jawa, pemahaman gong itu berbeda di dua wilayah itu. Kalau di Sumatera, gong itu berukuran kecil, sementara di Jawa, untuk dimensi yang sama disebut bendhe. Pasalnya, yang dinamakan gong di Jawa berukuran jauh lebih besar.

"Dulu pernah dapat pesanan dari Sumatera, mintanya gong. Jadilah kami buatkan gong yang besar. Begitu sudah dilihat pemesan, ternyata yang dimaksud itu gong berukuran kecil yang kalau di sini disebut bendhe itu," ungkap Permadi disambung tawa tawa.

Walau sudah begitu, sebagai penjual, ia dan kakaknya selaku pemilik, tak mempermasalahkan. Mereka membuatkan bendhe untuk pemesan dan menyimpan gong yang sudah jadi, bila ada pesanan lainnya.

Persoalan itu sudah mampu diminimalisasi di masa sekarang, karena sudah ada aplikasi percakapan WhatsApp. Pemesan tinggal memesan gamelan atau alat musik lainnya lewat pesan singkat disertai ukuran yang diminta.

Pesanan baru terhitung tak lagi sering. Namun permintaan layanan perbaikan masih mengalir deras.

Untuk mengerjakan gamelan dan gong yang "bersuara", perajin Bondho Gongso mesti mengerjakan sepenuh hati [Suara.com/Uli Febriarni].
Untuk mengerjakan gamelan dan gong yang "bersuara", perajin Bondho Gongso mesti mengerjakan sepenuh hati [Suara.com/Uli Febriarni].

Kendati demikian, Permadi mengakui bahwa penjualan gamelan cukup terbantu, setelah adanya kebijakan pemerintah yang menjadikan karawitan sebagai salah satu bagian dari mata pelajaran. Bukan hanya ekstrakurikuler.

"Saya hanya heran kenapa harus lewat CV (persekutuan komanditer). Karena dari atas (pemerintah) ada dana besar namun sampai ke bawah dana itu nominalnya jadi kecil. Nah, dengan dana sebesar itu diserahkan kepada kami, mau minta barang bagus, ya susah," tuturnya.

Kontributor : Uli Febriarni

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak