SuaraJogja.id - Malioboro sebagai sebuah ruang yang hidup, seiring waktu selalu berubah. Karenanya, merekam Malioboro pada suatu masa tertentu tak hanya menjadi penanda suatu waktu antara masa lalu, masa kini, dan masa depan, tetapi juga menjadi dokumentasi yang sangat bernilai dalam kaitannya dengan perjalanan sejarah Yogyakarta.
Untuk itu, ratusan perupa menggelar acara Sket Malioboro pada Selasa (10/12/2019) sejak pukul 08:00 hingga 12:00. Acara ini diselenggarakan bersamaan dengan peringatan Selasa Wagen, yang rutin dilaksanakan setiap 35 hari sekali saat Malioboro jadi kawasan semi pedestrian dan libur dari pedagang kaki lima, asongan, serta kendaraan bermotor.
Selain Sket Malioboro pada media sketchbook ukuran 14 x 14 cm, di saat yang sama diselenggarakan pula acara Melukis Bersama Ratusan Perupa di Kawasan Malioboro. Acara ini diikuti lebih dari 100 pelukis yang berasal dari berbagai peserta lintas disiplin ilmu: arsitek, desainer interior, komunitas pelukis cat air, Sanggar Bambu, Sanggar Sejati, dan kelompok seniman lainnya.
Seniman Godod Sutejo selaku ketua penyelenggara, di sela acara, mengungkapkan, acara ini bukan hanya untuk memeriahkan peringatan Selasa Wage, tapi juga untuk mendukung pameran tunggal Hendro Purwoko yang dibuka Selasa malam di Bentara Budaya Yogyakarta (BBY).
Baca Juga:Vanessa Angel Pamer Foto Beda Kondisinya saat Awal dan Akhir Tahun
Setidaknya 42 karya sketsa yang dibuat Hendro Purwoko sejak 2009 hingga 2015 akan ia pertontonkan dalam Pameran Tunggal bertajuk “Sambang Sambung Malioboro” di BBY.
"Karena seluruh karya sketsa dan lukisan cat air milik Hendro Purwoko yang akan dipamerkan juga merupakan sketsa yang dibuat di kawasan Malioboro. Harapannya semua sketsa ini nanti nyengkuyung [bahu-membahu, memberikan dukungan] dengan tema yang sama," paparnya.
Sementara, kurator pameran Dwi Marianto menjelaskan, ragam sketsa tangan Hendro Purwoko tentang bentang kawasan Malioboro menjadi bagian catatan historis sekaligus rekaman peristiwa sosial yang perlu ditakar dan dibaca sebagai peristiwa sosial budaya.
"Lebih lanjut, arah rekaman visual yang dibuat oleh Hendro Purwoko tidak hanya berdimensi heritage atau kecagarbudayaan, melainkan bisa dimanfaatkan untuk membaca sikap dan perilaku masyarakatnya," ungkapnya.
Dwi bercerita, dari balik bangunan yang terekam, tercatat, dan terunggah dalam gambar, sejatinya merupakan teks yang menemukan konteks sosial budayanya dari waktu ke waktu. Sadar atau tidak, Hendro juga menyampaikan kritik dalam setiap gambar yang dibuatnya.
Baca Juga:Mahfud MD: Sudah Ada Aturan Koruptor Bisa Dihukum Mati
"Hendro ini unik, sejak berteman pada 1977 di Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia [sekarang Institut Seni Indonesia , ISI], dia tidak pernah menolak ajakan untuk menggambar di luar ruang, apalagi menggambar model," imbuhnya.
- 1
- 2