Banyak Bisnis Hotel Virtual, Yogyakarta Akan Siapkan Regulasinya

Tidak serta merta pondokan dapat dimanfaatkan sebagai usaha hotel.

Eleonora Padmasta Ekaristi Wijana
Selasa, 14 Januari 2020 | 12:58 WIB
Banyak Bisnis Hotel Virtual, Yogyakarta Akan Siapkan Regulasinya
Ilustrasi hotel murah. (Pixabay)

SuaraJogja.id - Menjamurnya bisnis hotel virtual di Yogyakarta mendapat perhatian dari Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta. Untuk menyikapinya, Pemkot akan melakukan kajian dengan berbagai pihak, termasuk Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia, untuk menyiapkan regulasi sekaligus untuk memberikan perlindungan kepada konsumen.

"Kami akan menyiapkan regulasi. Tujuannya untuk perlindungan konsumen. Ini yang penting," kata Wali Kota Yogyakarta Haryadi Suyuti usai bertemu dengan DPD Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DIY di Yogyakarta, Senin (13/1/2020), dikutip dari Antara.

Haryadi berujar, PHRI DIY sudah memberikan masukan mengenai kondisi bisnis hotel di Yogyakarta, di antaranya persaingan usaha antarhotel, termasuk dengan hotel virtual, yang memanfaatkan berbagai bangunan yang semula tidak diperuntukkan bagi usaha hotel.

Oleh karena itu, lanjut dia, regulasi utama yang akan diterapkan adalah melalui izin membangun bangunan (IMB), sehingga pemanfaatan bangunan sesuai dengan izin yang dimintakan, tidak serta merta pondokan dapat dimanfaatkan sebagai usaha hotel.

Baca Juga:Polisi Sebar Intelijen untuk Pelajari Keraton Agung Sejagat

Selain regulasi untuk hotel virtual, Haryadi juga mengatakan akan melakukan pengawasan terhadap usaha perhotelan di Yogyakarta, sehingga setiap hotel beroperasi sesuai dengan kategori hotel yang dimiliki.

"Hotel bintang empat atau lima tidak mengambil pasar hotel bintang tiga ke bawah. Persaingan usaha harus dilakukan secara sehat," tutur Haryadi.

Sementara, Ketua DPD PHRI DIY Deddy Pranawa Eryana mengaku belum tahu pasti jumlah hotel virtual yang beroperasi di Kota Yogyakarta. Namun, ada empat operator besar yang mengelola hotel virtual tersebut, dan seluruhnya berbasis di luar negeri.

"Banyak dari hotel virtual ini yang memanfaatkan pondokan sebagai tempat usahanya. Tentunya, hal ini justru merugikan konsumen. Terkadang, perbedaan harga sewanya pun sangat tinggi bahkan lebih mahal dibanding hotel," ungkap Deddy.

Ia memberi contoh, harga yang ditawarkan hotel virtual saat "low season" bisa sangat murah, yaitu Rp90.000, tetapi saat "peak season" bisa melebihi Rp1 juta.

Baca Juga:Bantah Ada Pemerasan, Polda Metro Jelaskan Rotasi Jabatan AKBP Andi Sinjaya

"Kami menilai, penetapan tarif dilakukan dengan aji mumpung. Saat permintaan besar, mereka menerapkan tarif yang sangat tinggi," ungkap Deddy.

Dirinya menambahkan, sistem operasional yang dilakukan hotel virtual tersebut justru berpotensi merugikan konsumen karena tidak ada standarisasi layanan yang seharusnya diterima konsumen.

"Ada lembaga sertifikasi usaha (LSU) yang melakukan standarisasi terhadap operasional hotel sehingga layanan yang diberikan pun sesuai standar," kata dia.

Maka dari itu, lanjut Deddy, regulasi terhadap operasional hotel virtual ini sangat penting untuk segera ditetapkan supaya pelaku usaha hotel virtual juga berkonstribusi membayar pajak kepada pemerintah daerah untuk kebutuhan pembangunan.

"Jika beroperasi seperti ini, maka bisa saja mereka tidak membayar pajak sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan," kata dia.

Deddy mengatakan, penerapan regulasi untuk hotel virtual bisa diawali dari IMB yang dimiliki bangunan yang digunakan untuk usaha hotel virtual.

"IMB bangunan harus sesuai dulu," katanya, menambahkan, akan menggandeng usaha hotel virtual untuk masuk sebagai anggota PHRI.

Menurut Deddy, jika hotel virtual menjadi anggota PHRI, data mengenai jumlah kunjungan wisata, termasuk potensi pajak daerah dari hotel, dapat dihitung dengan lebih tepat.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini