SuaraJogja.id - Aksi klitih yang marak dilakukan oleh para remaja belakangan ini sudah membuat Gubernur DIY Sri Sultan HB X mengeluarkan status DIY darurat klitih. Upaya memerangi pun dilakukan untuk mengurangi aksi klitih dari berbagai sisi. Deklarasi berantas klitih juga dilaksanakan karena aksinya kian membabi buta.
Pelaku klitih, yang sebagian besar adalah remaja, kini ada yang sudah divonis oleh pengadilan. Mereka dikirim ke Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) di Kecamatan Wonosari, Kabupaten Gunungkidul, yang dulu dikenal sebagai Lapas Anak. Mereka akan dibina dengan tidak menghilangkan hak-hak yang harus diperoleh sebagai anak.
Assesment juga dilakukan oleh pihak LPKA terhadap anak-anak tersebut, termasuk melibatkan para psikolog dari Universitas Gadjah ada (UGM) UGM dan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN Suka). Assesment ini dilakukan secara menyeluruh untuk mengetahui latar belakang remaja pelaku klitih hingga motivasi mereka melakukan aksi kejahatan. Dengan bergitu, bisa ditentukan pola pembinaan yang akan diberikan kepada masing-masing pelaku klitih tersebut.
Kepala LPKA DIY Teguh Suroso menuturkan, dari assesment tersebut, pihaknya mendapatkan berbagai informasi terkait aksi klitih maupun geng sekolah. Pendekatan secara personal pun dilakukan, sehingga remaja tersebut bisa terbuka mengungkapkan berbagai hal berkaitan dengan kekerasan yang mereka lakukan.
Baca Juga:Deddy Corbuzier Luncurkan Buku Buat Generasi Millennial
"Banyak hal yang memicu para remaja ini melakukan aksi klitih," tutur Teguh.
Dari asessment yang dilakukan pihaknya, Teguh mulai mengelompokkan pola aksi klitih menjadi dua, yaitu individu, dalam artian satu atau dua orang pelaku, dan klitih berkelompok, yang biasanya dilakukan secara beramai-ramai. Pihaknya juga membagi pelaku ke dalam golongan ekonomi kelas menengah ke bawah dan menengah ke atas.
Klitih individu
Pelaku klitih individu, kata Teguh, sudah berniat melakukan aksi penganiayaan dan sengaja mempersiapkan senjata tajam (sajam) untuk mencelakai orang lain, lalu berkeliling mencari mangsa.
"Sasarannya pun acak. Siapa yang mereka temui bisa menjadi korban," terangnya.
Baca Juga:Drama Buka Jendela Darurat Wing Air, Lelaki Ini Terancam 2 Tahun Bui
Selain itu, hampir dipastikan mereka mengkonsumsi narkotika ataupun minuman keras terlebih dahulu sebelum melakukan aksinya.
"Jika dibandingkan antara miras atau narkoba, yang dominan masih miras," papar Teguh.
Ia menambahkan, klitih individu justru yang sangat membahayakan dan harus diberantas dibanding klitih kelompok. Pelaku biasanya berasal dari golongan ekonomi kelas menengah ke bawah dan juga keluarga broken home. Para pelaku dari golongan ini mencari teman di luar karena di rumahnya tidak ada orang yang bisa diajak mengobrol atau bermain. Di antaranya adalah anak pedagang mi ayam yang orang tuanya sibuk berdagang mulai siang hingga tengah malam.
Mereka juga melakukan pencarian jati diri dengan bergabung ke kelompok tertentu. Biasanya, aksi klitih inilah yang dijadikan pola rekrutmen terhadap junior-junior mereka.

Para junior atau anggota baru akan diterima menjadi bagian dari kelompok mereka ketika sudah berani melakukan aksi klitih. Dalam setiap aksi klitih, biasanya selalu ada junior dan senior, seperti yang terjadi di beberapa titik di wilayah Yogyakarta, yaitu Stadion Mandala Krida dan kawasan UGM.
"Kejadian tersebut dilakukan oleh klitih individu, di mana yang senior ada di belakang dan juniornya yang memboncengkan. Yang melakukan pembajakan adalah si senior yang ada di belakang," terangnya.