Salah satu warga, Sumbuk, bernostalgia tentang bagaimana perjuangan yang harus dilakoninya dulu tatkala ingin pergi ke pasar.
"Dulu kalau mau ke belanja pasar Piyungan, harus mulai jalan jam 1 pagi. Sampai Pasar Piyungan jam 5 pagi," kenang Sumbuk.
Namun kini, sejak jalan mulai diperbaiki dan listrik mulai masuk, kehidupan di Kampung Pitu setidaknya jadi lebih mudah. Sumbuk menambahkan, kini hanya dibutuhkan waktu satu jam untuk bisa sampai Pasar Piyungan.
Meski beberapa hal tetap saja harus memakan waktu lama karena jauhnya Kampung Pitu dari pusat keramaian, hal ini tidak membuat para warganya lantas merasa nelangsa.
Baca Juga:Warga Desa Suka Maju Diganggu Lalat, Sebulan Sulit Tidur hingga Susah Makan
Salah satu cucu Redjo Dimulyo, Roni Setiawan yang kini menginjak usia 20 tahun, mengungkapkan bahwa ia merasa senang hidup di kampung sakral yang jauh dari kota.
"Ya, senang-senang saja, sih. Apalagi di sini ada wifi," kata Roni sambil terkekeh.
Senada, salah satu warga bernama Suhardi mengaku tidak masalah walau harus tinggal di Kampung Pitu. Dia tetap merasa bahagia meski harus meninggalkan desa kelahirannya yang bisa dibilang lebih modern dari tempat tinggalnya kini.
"Saya bahagia tinggal di sini," kata Hardi yang resmi menjadi warga Kampung Pitu setelah menikahi perempuan keturunan Eyang Iro Kromo, Suyanti.
Meski hidup berdekatan dengan sekelumit tradisi yang seram untuk dilanggar dan jauh dari akal sehat, apa yang dilakoni warga Kampung Pitu sejatinya hanya berusaha menjaga keselarasan alam.
Baca Juga:Muncul di Trailer KKN di Desa Penari, Jembatan di Sleman Ini Jadi Sorotan
Hasil nyata dari semua ritual, tradisi, pantangan yang ada di Kampung Pitu adalah membuat alam tempat mereka berpijak tetap asri dan lestari.