Nyawa Taruhannya, Misteri di Balik Sakralnya Kampung Pitu Gunungkidul

Hanya keturunan dari Eyang Iro Kromo yang diperbolehkan bermukim di Kampung Pitu, Gunungkidul, Yogyakarta.

Rima Sekarani Imamun Nissa | Fitri Asta Pramesti
Kamis, 20 Februari 2020 | 08:30 WIB
Nyawa Taruhannya, Misteri di Balik Sakralnya Kampung Pitu Gunungkidul
Ilustrasi Kampung Pitu, Gunung Kidul, Yogyakarta. (Suarajogja.id/Iqbal Asaputro)

"Ono wong anyar mboten asli mriki arep urip ten mriki. Kulo wangsuli mboten kenging, tapi nekat. Ten mriki tiyange sedo (Dulu ada orang dari luar yang ingin bermukim di sini. Sudah saya kasih tahu tidak boleh tapi nekat. Akhirnya orangnya meninggal)," ujar Redjo saat ditemui pada Selasa (18/2/2020) lalu.

Perihal penyebab kematian, imbuh Redjo, yang bersangkutan tahu-tahu masuk angin beberapa hari sebelum akhirnya meninggal dunia.

"Wetan iki arep digawe omah, omahe durung dadi tapi wonge wis meninggal (Pernah ada orang luar yang bikin rumah di sebelah barat ini, rumahnya belum jadi, orangnya sudah meninggal)," sambung Redjo.

Berkaca pada kejadian di luar nalar itu, warga Kampung Pitu maupun masyarakat umum pun lebih memilih mematuhi peraturan yang ada.

Baca Juga:Warga Desa Suka Maju Diganggu Lalat, Sebulan Sulit Tidur hingga Susah Makan

Tak heran apabila ada anak warga Kampung Pitu yang menikah, dia diwajibkan untuk berpindah. Alasannya sederhana, yakni guna menjaga jumlah kepala keluarga tetap tujuh.

Dari kesepuluh anak Redjo, hanya satu yang kini tinggal bersamanya di Kampung Pitu, yaitu anak paling ragil bernama Surono. Supaya tetap tujuh KK, stastus Redjo pun kini menempel di kartu keluarga milik Surono.

Tradisi dan Pantangan di Kampung Pitu

Kampung Pitu sejatinya sangat menjunjung tinggi tradisi yang telah ada sejak ribuan tahun lalu. Warganya kompak melakoni apa yang diwajibkan dan menghindari setiap pantangan.

Soal kewajiban, warga setelah harus mengamalkan apa yang disebut Aksara 4, Aksara 5, dan Aksara 7. Secara garis besar, tiga Aksara yang dimaksud adalah pedoman-pedoman tentang bagaimana manusia bertingkah laku di alam.

Baca Juga:Muncul di Trailer KKN di Desa Penari, Jembatan di Sleman Ini Jadi Sorotan

Redjo menjelaskan, Aksara 4 berarti suci, jujur, langgeng, dan lestari. Di sisi lain, Aksara 7 lebih menekankan tradisi mencari waktu yang pas untuk melakukan sesuatu. Misalnya, saat ingin membangun rumah atau menikah, dianjurkan mencari hari yang bagus.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini