Saya pulang ke Ambon. Teman-teman mungkin tahu konflik horizontal yang terjadi di Maluku pada tahun 1999. Empat tahun konflik itu berlangsung.
Saya lahir dan besar di Jakarta. Saya dibesarkan benar-benar sebagai produk Ibu Kota, lahir dengan segala macam fasilitas. Tapi saya juga dibesarkan oleh budaya yang diturunkan oleh kakek nenek saya tentang budaya pela gandong.
Tahun 2000 ketika saya kembali sebelum saya berangkat, itu merupakan momen di mana logika saya ditabrakan dengan peristiwa yang mengguncang keluarga saya, bahkan keluarga besar.
Ya mungkin itu merupakan salah satu peristiwa tragedi kemanusiaan terbesar yang terjadi di timur Indonesia. Dan, saya pulang tahun 2000 naik pesawat (maskapai) Merpati, penerbangannya masih 1 kali.
Baca Juga:Ibadah Pelepasan Jenazah Glenn Fredly Hanya Boleh Dihadiri 20 Orang
Saya melihat di dalam pesawat, bagaimana masyarakat melepas rindu yang sangat luar biasa. Tidak tidur, meski penerbangan kita tengah malam.
Saya menyaksikan betul apa yang ditulis di media saat itu, propaganda media tentang apa yang terjadi di Maluku membuat keingintahuan saya besar. Di pesawat, saya mulai melihat bagaimana dua komunitas saling melepas rindu.
Dan, ketika pagi menjelang, turun dari pesawat, saya benar-benar kaget. Karena kami diminta untuk memperlihatkan KTP. "Oh Kristen ke kanan, Muslim ke kiri." Turun dari pesawat, kami dipisahkan.
Saya hanya tiga hari di Ambon, tinggal di zona netral. Dan itu adalah tiga hari terlama dalam hidup saya. Karena saya melihat sendiri dengan mata kepala, bagaimana kota diporakporandakan. Budaya pela gandong yang dibanggakan, hancur lebur.
Tiga hari lama dalam hidup saya yang saya rasakan dan membekas. Begitu juga membekas buat masyarakat Maluku. Karena konflik itu berlangsung hampir 4 tahun.
Baca Juga:Aura Kasih Dedikasikan Buku Lagu Untuk Renjana Buat Mendiang Glenn Fredly
Singkatnya, saya kembali ke Jakarta Dan itu menjadi turning point besar dalam hidup saya. Karena saya mempertanyakan apa itu Pancasila, apa itu kebhinekaan. Karena kota luluh lantak pecah belah sedemikian rupa.
Dalam kegalauan saya, saya bertemu dengan seorang musisi. Dan, kami berdiskusi banyak dan beliau memberi banyak pencerahan dari diskusi yang berlangsung.
Sekitar tahun 2005, konser perdamaian itu terjadi pertama kali di Ambon. Di atas puing bekas reruntuhan konflik. Sebanyak 350 ribu manusia datang untuk sebuah konser perdamaian dan almarhum Franky Sahilatua ada di situ.
Beliau menyanyikan lagu yang sangat luar biasa pada saat itu. Selain lagu bercerita tentang keberagaman, tapi ada satu lagu yang dia ajarkan ke saya. Dan lagu itu diciptakan oleh beliau.
Yang saya mau sampaikan kepada teman-teman semua, it's already past. (Kini) harapan saya, kita bisa menjaga keberagaman ini bersama-sama. Jogja adalah salah satu situs perdamaian, situs keberagaman.
Hari ini, Ambon yang tadinya runtuh karena puing konflik, hari ini Ambon dinyatakan sebagai kota musik di Indonesia. Tahun depan, Insya Allah kalau tidak ada halangan, kota itu akan dinyatakan sebagai situs kota musik di dunia by UNESCO.