Ribut Soal Mudik vs Pulang Kampung, Begini Kata Sejarawan UGM

Sejarawan UGM Joko Suryo sempat membahas perjalanan tradisi masyarakat Indonesia.

Eleonora Padmasta Ekaristi Wijana | Muhammad Ilham Baktora
Jum'at, 24 April 2020 | 10:10 WIB
Ribut Soal Mudik vs Pulang Kampung, Begini Kata Sejarawan UGM
Ilustrasi masyarakat sedang bersiap untuk mudik (dok istimewa)

SuaraJogja.id - Polemik antara kata "mudik" dan frasa "pulang kampung" di tengah pandemi Covid-19 menjadi sorotan, setelah Presiden Jokowi menyebutnya berbeda arti dalam wawancara dengan Najwa Shihab di Mata Najwa, Rabu (22/4/2020). Padanan kata yang menjadi perdebatan tersebut menimbulkan pertanyaan baru -- apa bedanya mudik dan pulang kampung? Hal itu juga membuat Sejarawan Universitas Gadjah Mada (UGM) buka suara.

Joko Suryo, sejarawan UGM yang sempat membahas perjalanan tradisi masyarakat Indonesia, menganggap, kata mudik dan pulang kampung memiliki arti yang sama dalam konteks bulan Ramadan.

"Mudik dan pulang kampung dalam Ramadan itu sama. Mudik itu dalam pengertian orang dari kota kembali ke desa. Mudik itu karena ada tujuan untuk melakukan tradisi. Jadi untuk ziarah atau bersilaturahmi kepada keluarga," kata Joko Suryo dihubungi, SuaraJogja.id, Kamis (23/4/2020).

Ia melanjutkan, mudik merupakan sebuah tradisi yang dilakukan hanya sebentar. Artinya, orang perantauan kembali ke tempat tinggalnya di desa, tetapi dalam waktu cepat kembali lagi ke kota untuk bekerja.

"Mudik itu dia pulang hanya sebentar saja. Dia melakukan sebuah liburan spesial untuk keluarganya. Sebenarnya lebih kepada tradisi silaturahmi," kata dia.

Tradisi ini sendiri, lanjut Joko, memiliki tiga latar belakang berbeda, yaitu sosial, ekonomi, dan budaya.

"Ekonomi artinya kan mereka memutuskan ke kota lalu bekerja mencari nafkah. Itu mereka pilih karena di desa sudah tidak bisa mencari kerja yang sesuai. Sosial dan budaya sendiri banyak orang yang bertemu dan bersilaturahmi bersama keluarga," kata dia.

Joko menuturkan, tradisi mudik akhirnya dipahami sebagai salah satu cara mengajak orang desa tertarik untuk bekerja di kota.

"Jelas saja hal ini juga menjadi ajang pamer, karena orang terlihat sukses, lalu membuat tertarik tetangga desa untuk bekerja di kota. Akhirnya di Jakarta atau kota besar kewalahan," kata dia.

Disinggung soal pulang kampung, yang diketahui bermakna sama dengan mudik berdasarkan pedoman KBBI, Joko menuturkan, meski konteks artinya sama, tetapi ada makna yang berbeda antara mudik dan pulang kampung.

"Pulang kampung sendiri kan sebenarnya bukan menengok atau bersilaturahmi dengan waktu singkat. Jadi mereka pulang karena alasan tertentu. Di tengah wabah seperti ini kan terlihat bahwa orang-orang yang bekerja di kota tidak memiliki pekerjaan karena di-PHK atau dirumahkan," katanya.

Dengan demikian, para perantau yang tak memiliki pekerjaan di kota memilih pulang kampung, untuk mencari pekerjaan baru di rumahnya dalam jangka waktu yang lama.

"Karena ada alasan ini, pulang kampung berarti memang warga ini kembali ke rumahnya dengan jangka waktu yang panjang. Mungkin mencari kerja lain atau mengumpulkan biaya untuk kehidupannya," terang dia.

Kendati begitu, di tengah wabah corona ini, Joko menuturkan, orang-orang yang memutuskan untuk pulang kampung harus memperhatikan risiko yang akan mereka bawa ke desa-desa.

"Tapi dia itu harus mempertimbangkan keselamatan. Karena ada faktor-faktor rasional, sehingga memang harus mengikuti anjuran pemerintah. Memang tak dilarang [pulang kampung], tapi jika itu membuat keadaan berubah negatif, seharusnya mereka mempertimbangkan," ungkap Joko.

Ia mengatakan, pemerintah pun harus memperhatikan masyarakat yang tidak pulang kampung ini. Artinya, pemerintah memberi bantuan atau tetap menjamin masyarakat tak kehilangan pekerjaan di kota.

"Baik keselamatan ekonomi dan kesehatan orang-orang ini tentunya diperhatikan betul oleh pemerintah [selama pandemik]," kata dia.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak