SuaraJogja.id - Sumiyati tampak kepayahan saat menaiki anak tangga di Pasar Beringharjo. Sembari sesekali mengambil napas, wanita 68 tahun ini menggendong barang dagangannya sendiri dari lantai dasar menuju lantai tiga.
Meski usianya tak lagi muda, Smuiyati terpaksa bekerja sebagai buruh gendong di Pasar Beringharjo Yogyakarta, lantaran pekerjaannya sebagai buruh kasar sedang sepi. Ditawari bekerja di pasar, ia mengaku langsung menerimanya asalkan halal.
"Saya dulunya ya hanya bantu orang-orang di sekitar kampung. Jika dapat upah alhamdulilah, jikapun tidak ya sudah. Karena silaturahmi dan gotong royong itu paling utama bagi saya," jelasnya saat ditemui wartawan di pasar setempat, Rabu (20/5/2020).
Biasanya, dalam sehari Sumiyati bisa mengangkut lima hingga tujuh permintaan. Namun, sejak wabah virus corona menyebar, perlahan ia mulai kehilangan pendapatan.
Baca Juga:Atur Jadwal Tidur Bayi, Orangtua Bisa Berikan Stimulasi Cahaya Hingga Suara
"Kami kan menawarkan jasa gendong barang-barang pasar. Kadang kita sudah punya pelanggan yang tiap berbelanja ke pasar (Beringharjo), selalu menggunakan jasa saya. Tapi karena pasar sepi, pelanggan juga tidak sering membeli ke sini," katanya.
Buruh gendong di pasar tersebut terbagi beberapa kawasan. Sumiyati bersama beberapa kawan seprofesinya kebetulan memiliki area operasi di kompleks tengah pasar. Kini, pendapatannya kian turun hingga tidak ada pemasukan karena sepinya aktivitas pasar.
"Karena jarang ada yang membeli penghasilan saya berkurang. Mau tidak mau saya harus memutar dan menawarkan lagi kepada orang yang berbelanja di pasar," ungkapnya.
Bayaran Sumiyati terbilang di bawah rata-rata. Dalam sekali angkut barang seberat hingga 50 kilogram, Sumiyati biasanya mendapatkan upah Rp 5 ribu saja.
"Jika di sini, mulai bisa kami hargai jika total barang yang diangkut mencapai 50 kilo. Memang harganya segitu. Jika nanti dinaikkan pelanggan malah kabur dan saya tidak dapat uang," katanya.
Baca Juga:DPR : Indonesia Terserah Muncul karena Pemerintah Plin-plan soal PSBB
Sekilas, buruh gendong seringkali dipandang sebagai pekerjaan yang pendapatannya belum tentu dapat memenuhi kebutuhan hidup. Kendati begitu, Sumiyati bercerita, dirinya bisa menyekolahkan dua anaknya hingga menikah.
"Alhamdulilah, mungkin jalannya Allah untuk saya seperti ini. Tapi saya bersyukur, rezeki apapun diterima dan sekarang bisa menyekolahkan anak hingga menikah," kenang Sumiyati.
Di sisi lain, Penasihat yang sebelumnya menjabat sebagai Ketua Buruh Gendong Pasar Beringharjo, Suyatni membeberkan, mereka tak bisa mematok harga tinggi untuk sekali angkut. Pasalnya, buruh gendong belum diakui pemerintah sehingga harus ada lembaga yang mengawal mereka untuk mendapatkan upah yang layak.
"Jadi tidak ada pengakuan tertulis soal buruh seperti kami. Sebelumnya sudah ada permintaan kepada Kementerian Ketenagakerjaan soal upah yang layak, karena kami juga buruh. Tapi sampai sekarang permintaan itu tak segera terkabul," jelas dia.
Upah Rp 5 ribu terbilang sangat mencekik para buruh gendong atau angkut. Pihaknya berharap pemerintah bisa memperhatikan profesi buruh gendong lantaran mereka juga turut berperan dalam geliat ekonomi pasar.
"Buruh gendong di sini rata-rata sudah sangat tua. Tapi memang tenaga kami masih kuat. Maka dari itu kami berharap pemerintah lebih serius memperhatikan kami. Di Beringaharjo sudah ada 200 buruh gendong yang terdaftar. Tapi ada juga yang belum terdaftar. Jika ditotal ada 400 buruh gendong di pasar ini," katanya.