Santri Ponpes Waria Kerap di-Bully, Yeni Kini Sudah Bisa Mengontrol Emosi

"Prinsip saya bergaul dengan siapa saja dan bekerja dengan cara yang halal."

Dwi Bowo Raharjo | Muhammad Ilham Baktora
Rabu, 10 Juni 2020 | 04:55 WIB
Santri Ponpes Waria Kerap di-Bully, Yeni Kini Sudah Bisa Mengontrol Emosi
Santri waria asal Maguwoharjo, Yeni saat diwawancarai di pendopo Ponpes Waria Al-Fatah Yogyakarta, Selasa (9/6/2020). (Suara.com/Baktora)

SuaraJogja.id - Tangan lentik Yeni dengan cekatan mengambil beberapa perlengkapan make up dari dalam tas bertulis Adias. Tak lupa sebuah lipstik merah muda dia letakkan disamping kakinya untuk menebalkan warna bibir Yeni yang mulai pudar.

Transpuan asal Maguwoharjo, Depok, Sleman ini menyambut wartawan dengan senyum kecil ketika masuk ke pendopo di Pondok Pesantren Waria Al-Fatah Yogyakarta, Selasa (9/6/2020).

Yeni merupakan satu dari 42 santri Ponpes Waria Al-Fatah yang cukup aktif mengaji selama setahun ini. Transpuan yang bergabung dengan ponpes milik Shinta Ratri, sejak 2019 ini mengaku merindukan kebersamaan rekan santrinya saat belajar agama bersama.

"Dulunya diajak teman untuk bergabung ke ponpes itu. Niat awal agar bisa menambah teman yang sepemikiran dengan saya. Tapi setelah enam bulan belajar agama, ada rasa untuk tetap mendekat ke Allah, meski keadaan saya seperti ini," kata Yeni sesekali mengibaskan rambut panjang coklatnya.

Baca Juga:Jelang Kembalinya Santri ke Ponpes, Pemkab Jember Siapkan 50 Ribu Rapid Tes

Yeni menuturkan, sebelum bergabung ke ponpes itu dirinya tidak bisa mengontrol emosi. Bahkan mudah marah ketika banyak cemoohan terhadap dirinya.

"Di sini banyak belajar soal agama, lalu belajar soal kesabaran. Sejak memiliki teman di sini dan mengetahui agama, saya lebih tenang dan bisa mengontrol emosi," katanya.

Bully atau sindiran menjadi makanan yang kerap dia temui selama beraktivitas. Kendati demikian dirinya tak mempermasalahkan orang-orang tersebut yang menganggap Yeni berbeda.

"Saya memahami bahwa di dunia ini manusia itu tidak ada yang sempurna. Apalagi saya, lahir sebagai laki-laki, namun dari jiwa saya adalah perempuan. Stigma negatif terhadap saya sudah biasa saya terima. Namun ketika kita diberi kesempatan hidup sekali, bermanfaatlah buat orang lain," jelas dia.

Transpuan yang memiliki keahlian merias wajah ini memiliki salon pribadi. Usaha kecil-kecilan yang dia buka di rumahnya ini tak mematok harga tinggi. Bahkan dia hargai murah untuk membantu warga yang ingin memotong rambut atau mencuci rambut.

Baca Juga:Polisi Tetapkan Putra Pengasuh Ponpes di Garut Tersangka Penipuan Umrah

"Salon di rumah tarifnya sama semua. Sekali potong tarifnya Rp 10 ribu, itu sudah dengan cuci rambut. Kadang jika tidak ada yang punya uang saya gratiskan," kata transpuan kelahiran 27 Januari itu.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini