SuaraJogja.id - Menyapu adalah kebiasaan sepele untuk bersih-bersih yang sering dilakukan di mana saja, baik di dalam rumah atau mungkin di halaman depan rumah. Namun bagaimana jika menyapu dilakukan di pinggir jalan raya? Segala risiko bisa datang kapan saja jika tidak berhati-hati.
Kendati demikian, nyatanya Partiyem, seorang nenek berusia 57 tahun dengan tujuh orang cucu, bersedia melakukan hal tersebut. Tak peduli panas atau seberapa imbalannya, Partiyem tetap mengayunkan sapunya untuk membersihkan jalan layang di Kalurahan Sentolo, Kapanewon Sentolo, Kabupaten Kulon Progo.
Bagaikan superhero dengan segala atribut yang lengkap saat akan maju berperang, Partiyem juga menggunakan pakaian lengkap dengan baju lengan panjang, sandal jepit, dan tidak lupa sebuah caping yang sudah cukup usang untuk sekadar menutupi kepalanya dari panasnya terik matahari.
Jalan layang yang juga lebih dikenal masyarakat sekitar dengan sebutan Flyover Ngelo itu seakan sudah menjadi rumah kedua bagi Partiyem. Bagaimana tidak? Partiyem terhitung sampai saat ini sudah menyapu jalan sejak 2017 silam.
Baca Juga:Kenalin Erna Widyastuti, Gadis Cantik yang Bantu Ibunya Jadi Penyapu Jalan
Tak ada keluh kesah ataupun kata-kata tak perlu yang ia ucapkan saat melakukan kegiatan yang dianggapnya sebagai tugas itu. Bahkan Partiyem sama sekali tak menerima bayaran dalam pekerjaannya tersebut.
"Sampun telas sedasa sapu. Kula nyapu ten riki sampun kawit tahun 2017. Kula pados rezeki sing halal [sudah habis sepuluh sapu. Saya nyapu di sini sudah sejak tahun 2017. Saya cari rezeki yang halal]," tutur Partiyem kepada SuaraJogja.id setelah menyapu jalanan pada Senin (6/7/2020).
Jalan layang Ngelo ini dibangun Pemkab Kulon Progo sebagai penghubung beberapa wilayah, seperti Kalibawang dan Nanggulan, serta juga sering digunakan sebagai jalur alternatif menuju Magelang.
Di jalan layang yang dibangun dengan biaya sekitar Rp16 miliar itulah, Partiyem menyapu setiap daun-daun yang berguguran serta sampah atau puntung rokok yang tidak jarang jatuh atau sengaja dibuang oleh pengguna jalan yang lewat. Keranjang bambu anyam pun sudah disediakan Partiyem untuk menampung sampah yang telah terkumpul.
Sayangnya, kegiatan Partiyem menyapu jalan layang itu tak jarang membuat orang mengira Partiyem adalah Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ). Pasalnya, Partiyem bersedia menyapu jalan sepanjang 120 meter dengan lebar tujuh meter itu dengan sukarela di siang hari yang panas.
Baca Juga:Viral Gadis Muda Penyapu Jalan Tak Malu Bantu Ibu, Ini Foto-fotonya
Padahal, sebenarnya Partiyem hidup dengan berkecukupan bersama sang suaminya, Mugiyono (65), di Pedukuhan Gunung Rawas, Sentolo. Bahkan empat anaknya juga telah bisa hidup mandiri di sejumlah wilayah.
Tidak dengan menggunakan sepeda atau malah kendaraan bermotor, melainkan hanya dengan berjalan kaki sekitar satu kilometer dari rumahnya, Partiyem menenteng sapu lidi dan juga satu botol air putih untuk mengobati dahaganya sewaktu-waktu.
Ia berangkat sekitar pukul 12.00 WIB dan akan kembali ke rumah setelah azan Maghrib. Hampir setiap hari ia melakukan kegiatan itu, kecuali Minggu dan hari libur.
Partiyem menyadari betul risiko yang ada saat menyapu jalanan yang cukup ramai tersebut. Ia akan melihat situasi dan kondisi jalanan. Jika memang sedang ramai, ia akan memilih untuk menepi.
"Yen rame kula milih minggir. Kantenan wonten riki sing liwat banter-banter [kalau ramai kendaraan yang lewat, saya milih minggir karena di sini yang melintas kencang-kencang]," ungkapnya.
Enggan Berdiam Diri di Rumah
Kisah Partiyem yang memutuskan untuk menyapu jalan layang secara sukarela ini berawal dari keenggan Partiyem untuk berdiam diri di rumah. Meskipun usianya sudah tak muda lagi, ia bertekad untuk terus bekerja selama masih diberikan kekuatan dan kesehatan.
Awalnya Partiyem juga mengaku sempat meminta izin warga sekitar jalan layang itu untuk menyapu jalan. Saat itu jalanan tersebut masih dipenuhi oleh daun-daun yang berguguran.
“Setelah disapu saya kumpulkan ke dekat keramatan [kuburan] untuk dibakar setelah kering. Sakniki wite pun ditebang, tapi kula tetep nyapu [sekarang pohonnya sudah ditebang, tapi saya tetap menyapu],” ujarnya.
Partiyem sebenarnya tidak mengharapkan imbalan dari kegiatannya menyapu jalan tersebut. Namun, tidak jarang pengendara sengaja menepikan kendaraannya untuk memberi imbalan kepada Partiyem, baik berupa uang, bahan makanan, atau camilan.
“Ada beberapa memang ngasih seikhlasnya, nggih kagem nyukupi saben dinten [untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari],” kata Partiyem.
Partiyem dan suaminya, Mugiyono, sendiri bukan tanpa penghasilan. Mereka sudah bisa mendapat sedikit rezeki dari rumah pembuatan batu bata seluas 6x12 meter. Mugiyono juga mendapat tambahan dari mencari rumput untuk memberi makan sapi.
Nantinya sapi tersebut akan dibesarkan dan diperahkan untuk kemudian bisa dijual guna mencukupi kebutuhan hidup sehari-harinya. Mugiyono juga berharap harga sapi bisa lebih baik atau meningkat dari tahun ke tahun, apalagi saat menjelang Iduladha.
“Sehari bisa dua kali cari rumput. Kalau dari sapi setidaknya kami bisa dapat Rp5 juta kalau dijual,” kata Mugiyono.
Ditemui secara terpisah, Dukuh Gunung Rawas Sukarni menceritakan, ternyata kebiasaan Pertiyem yang senang menyapu ini sudah berlangsung bahkan sebelum jalan layang itu ada. Dikatakannya, Partiyem dulunya sering menyapu jalanan kampung pedukuhan di sekitar rumahnya.
Terus berlanjut, makin lama Partiyem bergeser untuk menyapu di jalanan dekat makam yang berada di samping jembatan yang tak jauh dari jalan itu. Baru setelah jalan layang itu akhirnya jadi, Partiyem menyapu jalan layang tersebut.
“Bahkan kegiatan Partiyem tidak hanya menyapu jalanan saja, tapi juga selalu mematikan dan menghidupkan lampu yang berada di jalan kampung ini," ujar Sukarni.
Begitulah sosok Partiyem dikenal tetangganya -- nenek empat anak dengan tujuh orang cucu yang memiliki semangat kerja yang luar biasa.
Tidak ada permintaan macam-macam dari Partiyem. Ia memang bekerja dengan ikhlas. Hanya kesehatan dan umur panjang yang ia harap kepada Yang Maha Kuasa.