SuaraJogja.id - Kasus pelecehan seksual belum sepenuhnya ditanggapi serius oleh pemangku kebijakan baik di pusat maupun di daerah. Mirisnya, Rancangan Undang-undang Penanganan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dihapus dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2020.
Tak hanya pemerintah, di lingkungan pendidikan terutama kampus, kasus pelecehan seksual masih dianggap sebelah mata oleh pihak kampus sendiri.
Mencuatnya kasus pelecehan seksual yang diduga dilakukan oleh seorang alumni Universitas Islam Indonesia (UII) berinisial IM membuat sejumlah aktivis bergerak. Bersama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kota Yogyakarta, Aliansi UII Bergerak mendesak pihak kampus menerbitkan aturan untuk menindak para pelaku dan bantuan psikis pada korban.
"Kami sudah menyusun rencana yang intinya pertama mendesak kampus untuk segera mengesahkan regulasi soal pelecehan seksual di lingkungan kampus ini. Kedua mendekati masa orientasi mahasiswa baru ini kami siapkan materi terkait kekerasan seksual saat ospek nanti. Karena potensi tindak kekerasan ini terjadi saat masa orientasi kampus" terang Fakhrurrozi, Aktivis Aliansi UII Bergerak saat ditemui di Rumah Gerakan Rode, Mergangsan, Kota Yogyakarta, Senin (10/8/2020).
Baca Juga:Salah Satu Pasien Positif COVID-19 Desa Pakembinangun Sleman Adalah Pemudik
Aliansi UII Bergerak menilai bahwa kampus tidak transparan menanggapi isu kekerasan seksual yang terjadi. Meski telah berkomitmen menangani kasus tersebut, hingga kini tidak ada perkembangan dan tidak ada tim yang dibentuk untuk membuat regulasinya.
"Kampus menyebut sedang menyusun regulasi, tapi kami tak mengetahui siapa orang-orang yang menyusun itu dan juga bagaimana prosesnya. Aliansi UII Bergerak tidak tahu, sehingga tak ada transparansi terhadap isu terkait kekerasan seksual ini," jelas dia.
Fakhrurrozi menyebut bahwa kasus pelecehan seksual sendiri tak hanya berhenti di IM. Baru-baru ini, dugaan pelecehan seksual terjadi kembali yang diduga dilakukan mahasiswa aktif.
"Klinik Advokasi dan Hak Asasi Manusia (KAHAM) UII mendapati laporan pada 5 Mei 2020 terkait dugaan kekerasan yang dialami penyintas di dalam kampus. Setelah dilakukan pendalaman dan investigasi pada 22 Juni 2020 dilaporkan ke Badan Etik Hukum (BEH) UII," jelas dia.
Berharap kasus tersebut memberi efek jera kepada terduga pelaku yang tak bisa dibeberkan identitasnya, Fakhrurrozi mengaku bahwa kampus tak berkomitmen seperti awal kasus tersebut dilaporkan. Pada akhirnya penyintas memilih mengakhiri kasus.
Baca Juga:Pilkada 2020, PAN Sleman Pecah Suara?
"Jadi jelas disini bahwa kampus terlalu lamban menangani kasus tersebut. Kekosongan regulasi seakan memberi kemudahan kepada pelaku bebas melakukan tindakan kekerasan tanpa takut," jelas dia.
Dalam waktu dekat, Aliansi UII Bergerak akan mengkaji kembali penanganan kekerasan seksual di dalam kampus. Jika kampus tak segera mengesahkan regulasi terhadap kekerasan seksual, pihaknya akan mengajukan draf penanganan tindak kekerasan yang masih dianggap sebelah mata oleh institusinya sendiri.
"Kami menyiapkan diskusi kembali untuk mendesak kampus segera mengesahkan regulasi atau aturan terhadap kasus-kasus ini. Nantinya jika memang kampus tak dapat menunjukkan bagaimana penanganan kekerasan seksual ini, kami menawarkan draf yang sudah dikaji melalui kampus-kampus lain yang telah menerbitkan regulasi yang jelas," katanya.
Terpisah, Kabid Humas UII, Ratna Permatasari mengaku bahwa regulasi terhadap penanganan kekerasan seksual masih dalam pembahasan lebih lanjut di pihak institusi. Dirinya belum bisa menjelaskan secara pasti perkembangan dan proses penyusunan regulasi tersebut.
"Kami masih melakukan finalisasi terhadap aturan terkait kekerasan seksual ini. Namun saat ini kami belum bisa memberitahu karena belum ada pengesahan juga. Tapi kami arahkan ketika ada kasus yang terjadi segera melaporkan ke BEH UII, untuk hukuman memang sudah ada di ranah kemahasiswaan," jelas Ratna dihubungi melalui sambungan telepon.