SuaraJogja.id - Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Anang Zubaidy, menyatakan bahwa Pilkada 2020 harus ditunda, setidaknya sampai ditemukannya vaksin COVID-19. Hal itu semata-mata demi menyelamatkan nyawa atau jiwa rakyat Indonesia.
"Keselamatan rakyat adalah hukum yang tertinggi di suatu negara, atau salus populi suprema lex esto," kata dia, Selasa (22/9/2020).
Menurut Anang, Indonesia masih darurat COVID-19. Tercatat selama lebih dari sepekan terakhir, jumlah penambahan kasus positif COVID-19 sampai 3.000 kasus.
Pada beberapa hari di pekan yang sama, bahkan jumlah kasus menyentuh angka 4.000. Dengan demikian, peningkatan jumlah kasus positif belakangan ini sudah sangat mengkhawatirkan.
Baca Juga:Ramai Desakan Pilkada 2020 Ditunda, Begini Kata Gubernur Kalbar
Kepala Pusat Studi Hukum (PSH) FH UII ini menambahkan, di saat pemerintah terkesan terengah-engah menghadapi pandemi COVID-19, DPR dan pemerintah justru ngotot ingin tetap melaksanakan pilkada pada 9 Desember 2020.
Padahal, sejumlah elemen masyarakat dan Komnas HAM sudah menyuarakan agar pelaksanaan pilkada ditunda. Namun, desakan ini tidak diindahkan oleh para pengambil kebijakan.
"Bagi mereka, pelaksanaan pilkada seolah tidak ada pilihan lain. Bagi saya, pelaksanaan pilkada yang dipaksakan tetap pada 9 Desember 2020 harus ditolak," tegas Anang.
Pilkada sebagai bagian dari agenda ketatanegaraan rutin di daerah masih dimungkinkan untuk ditunda karena, setidaknya, lima alasan, paparnya. Pertama, pelaksanaan pilkada di tengah pandemi sangat rawan dan potensial menambah jumlah kasus positif COVID-19.
"Di tengah vaksin yang hingga kini belum juga ditemukan, maka pertimbangan keselamatan nyawa rakyat harus dipandang lebih penting dari agenda ketatanegaraan apa pun," ungkap dia.
Baca Juga:Pilkada Tetap Lanjut, Ganjar: Kalau Ada Kerumunan, Izinkan Kami Melarang
Penundaan pilkada merupakan langkah paling krusial untuk menyelamatkan bangsa Indonesia dari meningkatnya jumlah kasus positif COVID-19.
Kedua, penanganan pandemi ini membutuhkan banyak anggaran. Pelaksanaan pilkada sudah bisa dipastikan menghabiskan triliunan rupiah. Maka, alangkah bijaknya kalau anggaran penyelenggaraan pilkada dialihkan untuk penanggulangan pandemi COVID-19.
Ketiga, penundaan pelaksanaan pilkada tidak akan mengganggu pelayanan publik di pemerintahan daerah. Hal ini karena di daerah yang sudah berakhir masa jabatan kepala daerahnya, penjabat kepala daerah sudah ditunjuk, sehingga aktivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah akan tetap berjalan.
Keempat, banyak penyelenggara dan peserta pilkada yang sudah positif terkena COVID-19, mulai dari yang memiliki jabatan Ketua KPU Pusat, KPU Daerah, tim coklit, dan beberapa peserta pilkada.
"Tidak menutup kemungkinan jumlah ini akan bertambah walau kita semua tentu tidak mengharapkan. Pilihan untuk menunda pilkada akan lebih baik dan fair bagi seluruh peserta," tuturnya. Selain itu, tidak lagi muncul kekhawatiran bahwa penyelenggara pilkada akan ikut terinfeksi COVID-19.
Kelima, tidak ada jaminan protokol kesehatan akan dijalankan dengan ketat meskipun komitmen ini sudah ditegaskan oleh Pemerintah, DPR, dan KPU/D.
"Pelaksanaan pilkada sangat potensial menghadirkan massa, baik dalam jumlah besar maupun kecil. Dengan demikian, pelaksanaan pilkada di tengah pandemi yang belum terkendali sangat potensial memunculkan klaster baru yang membahayakan jiwa dan nyawa rakyat," imbuh Anang lagi.
Terpisah, Bupati Sleman Sri Purnomo mengatakan, Kabupaten Sleman sudah siap menyelenggarakan pemilihan bupati dan wakil bupati Sleman. Seluruh pihak yang berkaitan dengan penyelenggaraan Pilkada Sleman 2020 sudah bergerak.
"Penyelenggara, KPU dan Bawaslu sudah siap tinggal jalan, tidak diundur," kata dia kepada wartawan.
Terkait dengan kemungkinan penularan COVID-19 saat pilkada, Sri Purnomo menyebutkan, protokol kesehatan berjalan ketat. Pihaknya juga akan memberikan sanksi-sanksi jika terjadi pelanggaran. Menurut dia, adanya pandemi COVID-19 justru akan membuat semua pihak melangkah dengan hati-hati. Dengan begitu, Pilkada Sleman juga akan tetap berlangsung dan tidak menambah klaster penularan COVID-19.
Kontributor : Uli Febriarni