Lewat Pembalut Kain, Biyung Ajak Perempuan Mencintai Diri dan Bumi

Lahirnya Biyung tak lepas dari keresahan Ani tentang anggapan perempuan sebagai penyumbang besar sampah di lingkungan.

Yasinta Rahmawati | Fita Nofiana
Sabtu, 26 September 2020 | 09:30 WIB
Lewat Pembalut Kain, Biyung Ajak Perempuan Mencintai Diri dan Bumi
Westiani Agustin, penggagas Biyung. (Suarajogja.com/Fita Nofiana)

SuaraJogja.id - Westiani Agustin atau Ani (43) tampak ramah saat kami temui ke rumah panggungnya yang asri di Sembungan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (Senin 21/9/2020). Kecintaannya terhadap lingkungan membuat ia beserta putri dan dua rekannya membangun Biyung, aktivitas dan gerakan sosial yang memproduksi pembalut kain.

Biyung pertama kali muncul karena proyek home schooling anak-anak Ani. Pada tahun 2016, ia dan putrinya masih melakukan proses penelitian dan pengembangan pembalut kain untuk dipakai secara pribadi. Kemudian pada tahun 2018 Biyung akhirnya lahir, lalu dua rekannya mulai bergabung pada akhir tahun itu.

Nama Biyung sendiri diambil dari bahasa Jawa yang berarti Ibu. "Kita lahir dari ibu, entah itu ibu lahiriah kita atau ibu bumi, kita bisa jadi ibu termasuk ibu dari anak kebaikan," tutur Ani pada Suarajogja.com.

Lahirnya Biyung tak lepas dari keresahan Ani tentang anggapan perempuan sebagai penyumbang besar sampah di lingkungan.

Baca Juga:Olahraga yang Tepat Selama Menstruasi, Apa yang Perlu Diperhatikan?

"Ada satu persoalan yang menyatakan bahwa perempuan itu kontributor kerusakan lingkungan, itu jadi keresahan panjang selama beraktivitas di pendidikan lingkungan," kata Ani.

Rata-rata perempuan menggunakan pembalut sekali pakai hampir mencapai 10 ribu buah selama kehidupan subur mereka. Dengan begitu, ada ribuan ton limbah pembalut sekali pakai yang terkumpul dalam sebulan.

Aktivitas dan gerakan sosial Biyung. (Suarajogja.com/Fita Nofiana)
Aktivitas dan gerakan sosial Biyung. (Suarajogja.com/Fita Nofiana)

Sayangnya, 90 persen bahan pembalut berasal dari plastik. Sementara plastik yang diproduksi secara industri membutuhkan waktu sekitar 500 hingga 800 tahun agar bisa terurai.

"Karena memang kalau dihitung kan ada, datanya ada 70 juta perempuan menstruasi aktif di seluruh Indonesia, kalau dikali kita pakai sebulannya berapa kan ada sekitar 1,4 miliar pembalut yang terbuang, dan itu kalau kita bicara lingkungan sampah cuma 35 persen yang selamat di daratan selebihnya ke laut," imbuhnya.

Dari permasalahan itulah ia dan rekannya melihat bahwa pembalut kain ini bisa jadi solusi atas keresahan selama ini, di mana perempuan dianggap berkontribusi terhadap sampah dari pembalut sekali pakai yang dihabiskan setiap bulannya.

Baca Juga:Mulanya Menstruasi Tidak Teratur, Wanita Ini Didiagnosis Kanker Serviks!

Perempuan dan Ketidaknyamanan Menstruasi

Berbicara soal perempuan sebagai penyumbang sampah terbesar, Ani dengan tegas menejelaskan bahwa penggunaan pembalut sekali pakai disebabkan karena suatu keterpaksaan. Sebab konstruksi yang terbangun menggiring perempuan yang menstruasi untuk menggunakan pembalut sekali pakai, sebagai solusi yang dianggap paling praktis dan tak mengganggu produktivitas.

Hal ini yang menurut Ani membuat perempuan masih jauh dari rasa nyaman dan aman, sekaligus pilihan perangkat yang bisa digunakan saat menstruasi.

"Kita enggak paham, oh ternyata kita tuh harusnya menstruasi bisa dengan rasa aman dan nyaman, yaitu harusnya kita punya pilihan-pilihan dalam memilih support system, dalam hal ini alat serap darah menstruasi. Kalau ingat juga dulu di sekolah anak perempuan SMP atau SMA musti dibagiin (pembalut) gratis artinya ini jadi satu konstruksi sosial masyarakat bahwa perempuan menstruasi harus memakai pembalut sekali pakai, tapi kita tidak dikenalkan alternatif lain atau pilihan lain," jelasnya.

Menurut Badan Anak-Anak PBB, UNICEF menyatakan bahwa banyak anak perempuan tidak memiliki pemahaman yang lengkap dan akurat tentang menstruasi sebagai proses biologis yang normal. Hal ini disebabkan karena ketabuan masyarakat terkait dengan menstruasi itu sendiri.

Biyung pun melihat fakta itu sendiri di lapangan. Lewat salah satu kegiatan di padukuhan Gunung Kidul, Ani menyatakan bahwa para perempuan yang ia temui kebanyakan mengaku mengalami masalah karena pembalut sekali pakai.

Semakin banyak perempuan yang bercerita padanya, ia semakin manyadari bahwa sebenarnya perempuan memiliki banyak keluhan akibat menstruasi namun jarang membicarakannya secara gamblang.

"Mereka banyak yang mengalami iritasi dan infeksi, sebenarnya banyak yang mau bicara tapi tidak tahu mau bicara sama siapa. Ya udah seperti ini nasib kita perempuan kalau menstruasi bonusnya iritasi gatal-gatal kalau pakai pembalut sekali pakai," ungkapnya.

Aktivitas dan gerakan sosial Biyung. (Suarajogja.com/Fita Nofiana)
Westiani Agustin, penggagas Biyung. (Suarajogja.com/Fita Nofiana)

Ketidaknyamanan perempuan dengan menstruasi, menurut Ani terlihat pada respon awal saat Biyung mengampanyekan pembalut kain. Berdalih pada efektivitas, efisiensi, dan kepraktisan, kebanyakan perempuan akan lebih memilih pembalut sekali pakai daripada pembalut kain.

"Di situlah ada persoalan yang enggak selesai, kita dijauhkan dari tubuh kita, dibuat tidak suka dengan mesntruasi, sehingga ketika tidak suka dengan menstruasi maka kita akan mencari sesuatu yang sepraktis mungkin untuk tidak berurusan dengan menstruasi,” terangnya.

Padahal pada tahun 2015, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menemukan kandungan klorin atau zat pemutih pada 9 merek pembalut dan 7 merek pantyliner yang beredar di pasaran Indonesia. Menurut lembaga tersebut, klorin dalam pembalut sekali pakai bias meningkatkan iritasi, gatal-gatal, keputihan dan dalam jangka panjang bisa memicu kanker serviks.

Edukasi Reproduksi Lewat Pembalut Kain

Secara umum, pengetahuan soal menstruasi sendiri masih sangat minim di kalangan perempuan. Ani menjelaskan bahwa perempuan hanya diberi solusi untuk menampung darah menstruasi tanpa mengetahui alasan harus memakainya dan berbagai persoalan terkait dengan menstruasi lainnya.

"Kita juga tidak pernah tahu setelah pakai ini (pembalut sekali pakai) tuh gimana, pertanggungjawaban terhadap sisa konsumsi kita tuh enggak pernah dapet termasuk pembalut. Nah itu yang mau diangkat sama Biyung, artinya ketika kita paham tubuh kita mulai dari rahim, kita punya tugas mulia punya kedekatan dengan ibu bumi," terang Ani.

Menurut Ani, ketika prempuan mengetahui persis tentang tubuhnya maka ia juga akan mengerti apa yang harus dilakukan atau dimakan ketika menstruasi serta menangani sakit saat menstruasi. Inilah yang ingin Biyung angkat dan sebar luaskan.

Aktivitas dan gerakan sosial Biyung. (Suarajogja.com/Fita Nofiana)
Aktivitas dan gerakan sosial Biyung. (Suarajogja.com/Fita Nofiana)

Kiat Biyung dalam memberikan informasi tentang kesehatan reproduksi dan menstruasi dilakukan secara luas melalui media sosial Instagram dan workshop yang pernah dilakukan sebelum pandemi. Pembalut kain juga dipilih sebagai salah satu media untuk memberikan informasi tentang kesehatan menstruasi karena dianggap tekait erat dengan ingatan masyarakat.

"Ngomongin pembalut kain, kita lebih mudah menyampaikan informasi tentang menstruasi reproduksi karena banyak perempuan punya ingatan di masa lalu kaya ibu dan nenek juga dulu begitu (pakai kain), sebenarnya generasi sebelum kita sudah menghormati diri sendiri dan lingkungan, mereka punya kebiasaan yang jauh lebih bijaksana," ujar Ani.

Ningti Athesia Sarsan atau Tesa (34) yang bertanggung jawab pada produksi pembalut kain Biyung menjelaskan bahwa setidaknya pembalut yang mereka produksi terdiri dari beberapa lembar kain. Dalam satu set, mereka juga menghadirkan beberapa ukuran, mulai dari ukuran long, regular, hingga panty liner.

"Kalau ini ada flannel tebal di bawahnya, kalau size XL sama regular kami masih tambahnya empat lapis kaos tebal," Jelas Tesa sambil menunjukkan produk pembalut Biyung.

Pembalut kain Biyung menurut Tesa bisa digunakan sampai lima jam ketika volume darah menstruasi tidak terlalu banyak. "Kita biasanya kalau pakai pembalut kain udah bisa kira-kira, misalnya kalau ketika dikenakan sudah lembap banget kaya gitu ya berarti udah harus ganti," imbuhnya.

Perempuan Bantu Perempuan

Seperti slogan mereka, yakni "Perempuan Bantu Perempuan", Biyung tak hanya memberikan alternatif untuk menampung darah menstruasi perempuan. Pada dasarnya Ani menyebutkan bahwa ada rantai kebermanfaatan yang ingin Biyung capai dalam akitivitas sosial mereka. Biyung bahkan sempat melakukan pelatihan pembuatan pembalut kain pada berbagai kelompok perempuan.

"Kami membayangkan bahwa ketika itu (pembalut kain) diproduksi perempuan dan dipakai oleh perempuan lain, di situ ada rantai saling membutuhkan, saling membantu, saling menguatkan," terang Ani.

Melalui penjualan pembalut kain, Biyung menyisihkan sebagian pendapatan mereka untuk mengadakan ruang belajar dan ruang diskusi tentang reproduksi perempuan dengan kelompok-kelompok perempuan yang tidak memiliki akses informasi. Mereka juga menjual baju sulam untuk mengadakan workshop pada perempuan-perempuan di Papua.

"Jadi produk yang teman-teman beli itu berkontribusi untuk perempuan lain, karena biyung akan melakukan ruang-ruang diskusi dengan mereka, untuk menyampaikan apa yang telah kita siarkan lewat Instagram melalui workshop, bahkan belajar untuk membuat pembalut kainmu sendiri di rumah," ujar Ani.

Aktivitas dan gerakan sosial Biyung. (Suarajogja.com/Fita Nofiana)
Ningti Athesia Sarsan, anggota Biyung. (Suarajogja.com/Fita Nofiana)

Selama pergerakannya mengampanyekan mentruasi dan reproduksi sehat, Biyung belum bekerja sama dengan instansi-intansi pemerintah. Jaringan kerja yang pernah digandeng Biyung kebanyakan berasal dari lembaga-lembaga bukan pemerintah seperti Perkumpulan Samsara hingga Komunitas Perempuan Bumi.

Dalam menyikapi pandemi, Biyung bersama Perkumpulan Samsara pada bulan April lalu membagikan 143 kit pembalut kain dan alat kontrasepsi ke 4 perumahan padat di Yogyakarta, seperti Kampung Ledok Tukangan RW 3, Kampung Jlagran Kulon RW 1, Dusun Sembungan Bantul, dan Gedong Tengen.

Pada awal pandemi, Biyung melihat bahwa ada kemungkinan perempuan mengalami kesulitan akses mendapatkan pembalut. Dalam hal ini, bukan akses keterjangkauan pembalut namun akses keungan untuk membeli kebutuhan pembalut dan kontrasepsi. Selain itu, mereka juga membagikan alat kontrasepsi karena banyak puskesmas menutup layanan umum karena keterbatasan Alat Pelindung Diri (APD) saat itu.

"Kami dan Samsara, kami khawatir ketika kontrasepsi sulit diakses ada kemungkinan angka kehamilan tidak diinginkan," ujar Tesa.

"Kemudian kami juga pikir waktu itu, masa pandemi pasti ada ibu-ibu yang merasa cukup terbebani untuk membeli pembalut sekali pakai, kalau untuk kebutuhan perempuan sekali menstruasi itu paling enggak 20 ribu, gimana kalau sekeluarga ada dua atau tiga perempuan. Di masa pandemi ini kan mungkin menstruasi jadi cukup berat akhirnya kami menggalang dana untuk pembagian satu set menstrual pad dan kontrasepsi," kenangnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Lifestyle

Terkini

Tampilkan lebih banyak