SuaraJogja.id - Devi Erlina Sapa'ati atau yang kerap disapa Devi, merupakan salah satu mahasiswa UNY, Jurusan PBSI, Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia Angkatan 2018.
Ia merupakan salah satu mahasiswa berprestasi di kampusnya, UNY.
Mahasiswi asal Pati, Jawa Tengah ini pernah mengikuti kompetisi i-fame (International Competition of Ideas, Inventions & Innovations) pada September 2019 lalu di Malaysia.
Ia bersama kawan-kawannya mendapatkan medali silver pada kompetisi tersebut.
Baca Juga:Buntut Demo Ricuh di DPRD DIY, Polisi Amankan 45 Orang
Kepada suarajogja.id, Devi membagikan pengalaman serunya saat berhasil meraih medali silver di Malaysia.
Dara kelahiran Pati, 16 Desember 2000 itu mengungkapkan awal mulanya saat semester tiga, salah satu teman kementrian di BEM KM UNY mengajaknya untuk bergabung dalam pembuatan karya tulis ilmiah.
Dalam tim tersebut ada enam orang anggota yaitu, Aji Saputra (FMIPA), Burhanis Sulthon (FT), Adivta Yudha Tama (FBS), Sri Muhimatul Laila (FE), Devi Erlina Safaati (FBS), dan Erna Widiyanti (FIP). Pencetusnya penelitian ini ialah Aji Saputra dari Fakultas MIPA.
"Jadi waktu itu tu, aku sama temen-temen sekelompokku ini, itu tu membuat apa, membuat karya gitu. Awalnya karya tulis, berawal dari inisiatif katingku di FMIPA. Kan ini gabungan, ada FT, FMIPA, FIP, FBS, FE gitu. Nah gabungan awalnya tuh dia kayak coba-coba gitu lho bikin Lomba Karya Tulis Ilmiah (LKTI)," tutur Devi.
Dituturkan Devi, latar belakang dari penelitian ini adalah karena penggunaan baterai di Indonesia yang cenderung boros dan mudah panas. Mereka pun mencoba cara agar baterai tersebut menjadi lebih irit, tidak mudah panas, dan saat mengisi daya bisa cepat.
Baca Juga:Kantor DPRD DIY Babak Belur Usai Ricuh, Ada Coretan Percobaan Pembunuhan
Mereka pun melakukan percobaan untuk membuat agar baterai menjadi lebih tahan lama dengan menambahkan suatu senyawa, percobaan tersebut dilakukan lima kali hingga akhirnya bisa berhasil.
"Caranya itu di apa.. dikasih komponen katoda gitu se-berapa persen berapa persen, percobaannya itu sampe lima kali gitu. Dikasih berapa persen biar seimbang, terus biar komposisinya bisa padu maksudnya nanti kalau hasilnya dicas itu sebentar trus gak bikin panas," ucap Devi.
Dalam penelitian ini, Devi mendapat tugas untuk membantu dalam hal membuat menulis laporan, presentasi menggunakan bahasa Melayu dan bahasa Inggris.
"Aku bantu bikin laporan, trus presentasi. Presentasinya pake bahasa Melayu sama bahasa Inggris gitu," ungkapnya saat diwawancarai.
Ia mengaku yang membuatnya termotivasi untuk terlibat dalam tim dan mengikuti kompetisi internasional i-fame 2019 adalah untuk menambah pengalaman dan ingin ke luar negeri.
"Motivasiku pengen nambah pengalaman, pengen ke luar negeri. Ee.. apa ya, temen-temenku itu memotivasi gitu lho jadinya biar aku bisa maju juga," ucapnya.
Devi mengaku sempat sangat grogi kala mempresentasikan hasil karya ilmiahnya di depan juri. Beruntung, saat itu juri mampu membawa suasana jadi lebih cair.
"Awalnya deg-degan, terus kayak yang jurinya itu kayak bisa membawa suasana cair gitu. Dah pernah ngomong bisa bahasa Indonesia, kan jurinya banyak, ada salah satunya itu yang ramah soalnya pernah ke Jogja," terang Devi.
Saat itu Devi bersama kedua temannya mempresentasikan penelitian dalam bidang penalaran/inovasi.
Ia juga mengatakan jika ada tim dari UB dan Undip yang mengikuti kompetisi tersebut, mereka juga mengambil tema inovasi.
Namun, dari hasil penilaian juri, pemenang kompetisi i-fame 2019 dimenangkan oleh tim dari Malaysia yang mengambil tema kebudayaan.
Karena ia dan timnya hanya memenangkan juara 2 alias medali silver, ia tidak mendapatkan uang saku namun hanya mendapatkan medali, piagam dan sertifikat.
"Di sana tu, hadiahnya tu cuma, kalau uang tunai hanya yang gold medals, kalau silver medals cuma piagam, sertifikat, sama apa namanya silver medals.. dan silver medals nya gak tak bawa aku," tutupnya.
Lebih jauh, Devi mengenang ada perjuangan yang luar biasa yang harus dilalui sebelum bisa ikut kompetisi, terutama saat tiba di Malaysia.
Ia mengaku sempat diusir oleh satpam bandara ketika tiba di Malaysia.
Ia menyebut saat tiba di Malaysia bingung mau mencari penginapan karena ketika itu sudah dini hari.
Walhasil, ia dan rekan-rekannya nekat untuk bermaksud menginap sementara di bandara.
"Waktu itu kan mepet banget, aku nyampe di bandara di Penang itu apa namanya jam 1 eh jam 2 pagi. Terus pas sampe sana itu kan jam 1 jam 2 pagi gt, soalnya pesawatnya delay. Harusnya sampe sana jam 12, jadi bisa langsung cari penginapan atau tidur gitu," tuturnya.
Lantaran bingung untuk mencari penginapan, mereka pun akhirnya memutuskan untuk tidur sementara di bandara. Tapi, belum genap setengah jam tertidur, ada satpam bandara yang mengusirnya.
"Itu diusir satpam. ga boleh tidur di apa namanya.. balkon.. lobi... ga boleh tidur di lobi, kek di usir gitu. Terus aku tidur di mobil grab aja, soalnya langsung ke universitasnya (Universiti Teknologi Mara)," tambahnya.
Tak hanya di situ. Setiba di Malaysia, Devi dan kawan-kawannya juga harus menjalani laku prihatin.
Bersama teman-temanya saat di Malaysia dulu pernah jalan kaki dari Hotel ke Petronas. Padahal jaraknya jauh dan saat itu di sana sedang hujan, ditambah dengan uang ringgit mereka habis sehingga tidak punya uang untuk naik GRAB.
"Aku pernah jalan dari hotel sampai ke Petronas, dan itu jauh banget. Bertiga jalan-jalan. Jalan jauh banget dan itu hujan. Gara2 pas itu ringgitnya udah habis, uangnya belum aku tukerin. Mau naik grab pun gimana ya, mending nanti uangnya buat jajan nanti pas di Petronas," tukas Devi.
Reporter: Dita Alvinasari