Hakim Rawan Terlibat Konflik Kepentingan, PSHK UII Gugat Revisi UU MK

PSHK menilai revisi cacat prosedur, karena hanya disusun dan dibahas secara tertutup dalam waktu 7 hari.

Galih Priatmojo
Rabu, 14 Oktober 2020 | 12:15 WIB
Hakim Rawan Terlibat Konflik Kepentingan, PSHK UII Gugat Revisi UU MK
Gedung Mahkamah Konstitusi. (Antara)

SuaraJogja.id - Pusat Studi Hukum Konstitusi Universitas Islam Indonesia (PSHK UII) mendaftarkan gugatan untuk pengujian revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (UU MK).

Kepala Pusat Studi Hukum Konstitusi UII Allan Fatchan Gani Wardhana mengungkapkan, disahkannya perubahan ketiga UU MK secara tergesa-gesa, membuktikan ada persoalan serius berkaitan dengan proses pembentukan undang-undang.

"Selain itu, materi muatan perubahan UU MK terindikasi bertentangan dengan Konstitusi. Dengan ini kami sampaikan, proses revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi cacat prosedur," tegasnya, Rabu (14/10/2020).

PSHK menilai revisi cacat prosedur, karena hanya disusun dan dibahas secara tertutup dalam waktu 7 hari. Sehingga tidak ada kesempatan bagi publik, untuk menyampaikan saran serta masukan.

Baca Juga:Buntut Dugaan Pelecehan Seksual, UII Ungkap di Balik Pencabutan Mapres IM

Ia menyebut, proses pembentukan UU MK tidak sesuai dengan semangat Pasal 96 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang mengatur bahwa RUU harus mendapatkan masukan dari masyarakat.

"Penghapusan periodisasi masa jabatan hakim dan diganti dengan usia pensiun bertentangan dengan UUD NRI 1945. Serta mengganggu prinsip independensi dan imparsialitas hakim," tuturnya.

Sementara itu, pasal 87 huruf b UU MK mengakibatkan hakim konstitusi yang sedang menjabat pada saat UU MK diundangkan, bisa menjabat lagi maksimal sampai usia 70 tahun atau maksimal selama 15 tahun, walau sudah menjalani periode keduanya. Tanpa melalui mekanisme seleksi kembali.

Kondisi itu berpotensi mengakibatkan hakim konstitusi tersebut, terjebak dalam konflik kepentingan (conflict of interest) dengan pembentuk undang-undang. Padahal diketahui, produk dari pembentuk UU merupakan objectum litis dalam pengujian undang-undang di Mahkamah, lanjut Allan.

"Adanya konflik kepentingan dengan pembentuk undang-undang, berpotensi mengganggu independensi dan impartialitas hakim konstitusi, yang sedang menjabat pada saat UU MK diundangkan dalam melakukan pengujian undang-undang," ungkap dosen Fakultas Hukum UII itu.

Baca Juga:Pakar Hukum Tata Negara UII: Pilkada 2020 Harus Ditunda

Hal itu bertentangan UU Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 24 ayat (1) yang menyatakan, kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka, untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Daftar Gugatan revisi UU MK oleh Tim PSHK UII, dalam laman resmi pendaftaran gugatan Mahkamah Agung. Gugatan didaftarkan Senin (13/10/2020). [Kontributor / Uli Febriarni]
Daftar Gugatan revisi UU MK oleh Tim PSHK UII, dalam laman resmi pendaftaran gugatan Mahkamah Agung. Gugatan didaftarkan Senin (13/10/2020). [Kontributor / Uli Febriarni]

"Pengaturan masa jabatan hakim yang diukur dengan menggunakan usia 70 atau maksimum menjabat 15 tahun, kami nilai tidak sesuai dengan prinsip pembatasan kekuasaan (konstitusionalisme)," tambahnya.

Dihapuskannya masa jabatan hakim konstitusi telah menghilangkan ruang evaluasi kepada hakim konstitusi yang dimiliki publik, untuk menilai pelaksanaan tugas dan wewenang hakim selama menjabat pada periode sebelumnya, di samping lembaga pengawas eksternal untuk MK pun tidak ada.

Selain menyatakan revisi ketiga UU MK cacat formil, PSHK UII juga menyatakan revisi tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta inkonstitusional bersyarat. 

Kontributor : Uli Febriarni

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini