Mengingat masih adanya korban jiwa, menurut Tugiman, di masa itu warga setempat masih memercayai mitos soal Geger Boyo, sebuah bukit tinggi, berbentuk seperti punggung buaya dan dianggap mampu menyelamatkan warga dari erupsi Merapi. Ditambah lagi, warga percaya bahwa material erupsi tak akan mengarah ke selatan, mengingat posisi Kraton Ngayogyakarta ada di sebelah selatan.
Namun kenyataannya tidak demikian, karena diketahui sejumlah desa terdampak letusan Merapi 2010 banyak yang berada di area selatan dan tenggara Merapi, mulai dari Kepuharjo, Glagaharjo, hingga sebagian Umbulharjo. Pada letusan sebelumnya, 26 Oktober 2010, tercatat sekitar 35 warga Kinahrejo meninggal dunia menjadi korban bencana erupsi karena material erupsi mengarah ke selatan.
Bila penulis merujuk dalam laman Badan Geologi Kementerian ESDM, diketahui material letusan Merapi sebelumnya pernah mengarah ke arah selatan, yaitu saat erupsi 1994. Pada 4 November 2010 saja, letusan merapi dengan kolom 4 Km membawa material berupa awan panas menuju ke segala arah di kaki Merapi.
Akibat erupsi 2010, BNPB RI mencatat ada sebanyak 347 korban jiwa dengan jumlah korban terbanyak berasal dari Kabupaten Sleman, yaitu 246 jiwa. Korban lainnya berasal dari Magelang, Klaten, dan Boyolali.
Baca Juga:Jalur Evakuasi di Lereng Merapi Masih Rusak, Perbaikan Masuk Tahap Lelang
Belakangan, kisah tentang 'bisikan yang menyelamatkan' tadi telah Tugiman susun dalam sebuah artikel dan dipajang di Museum Gunung Merapi. Sejumlah perabot rumah tangga dan motor milik Tugiman menjadi benda memorabilia di museum yang sama.
Kini, Tugiman bersama warga lainnya yang juga korban bencana erupsi Merapi masih terus menjaga kearifan lokal berdampingan bersama alam. Namun, erupsi dahsyat itu nyatanya membawa perubahan bagi mereka.
"Ekonomi banyak berubah, kalau dulu monoton petani, peternak, sekarang kami juga berdagang dan menjalankan usaha pariwisata. Pendapatan keluarga meningkat dari berbagai sektor," ungkapnya.
Sementara dari sisi mitigasi bencana, bila ada getaran di lingkungan, guguran juga sudah waspada. Ada titik kumpul di tiap pedukuhan serta memiliki tas mitigasi.
Tugiman mengakui, awalnya tak mudah bagi para korban bencana erupsi untuk meninggalkan rumahnya yang lama dan hidup di Huntap. Di kediaman mereka yang lama, mereka sudah terlanjur nyaman dan tak perlu lagi menata apa pun. Namun di Huntap, banyak penyesuaian baru harus dilakukan -- menata lingkungan dan menyesuaikan diri.
Baca Juga:Pertumbuhan Kubah Stabil, Aktivitas Vulkanis Gunung Merapi Cukup Tinggi
"Beda rasanya, kalau di huntap kan, misalnya anggaplah, kita masak telur, tetangga bisa mencium aromanya," ujar Tugiman beranalogi.