SuaraJogja.id - Dampak Covid-19 bagi masyarakat kecil masih dirasakan hingga saat ini. Tak ada penghasilan yang menentu bahkan harus mengerjakan hal lain untuk bisa memutar roda perekonomian.
Meski objek wisata telah dibuka di beberapa tempat dengan pengetatan protokol pencegahan Covid-19, tak semua orang merasakan dampak yang baik. Hal itu dirasakan oleh pemilik motel dan homestay di wilayah Pedukuhan Ngipiksari, Kalurahan Hargobinangun, Kapanewon Pakem, Kabupaten Sleman.
Supargito, pria 70 tahun ini, belum sepenuhnya merasakan dampak positif setelah kelonggaran pemerintah membuka kembali objek wisata di tengah pandemi. Memiliki penginapan di kaki Gunung Merapi menjadi salah satu penghasilannya selama ini.
"Sudah hampir 30 tahun lebih kami mengelola pondok wisata Bayu Putro ini. Selama ini penghasilan selalu baik. Namun karena corona itu, penghasilan turun drastis," ujar Supargito, ditemui SuaraJogja.id, Jumat (16/10/2020).
Baca Juga:Penjaga Homestay Tertidur di Sofa, Dua Pria Terekam CCTV Curi Ponsel
Homestay bernuansa warna cokelat ini tepat berada di pinggir Jalan Kaliurang KM 23. Penginapannya hanya berjarak 200 meter ke utara dari gapura pintu masuk objek wisata Kaliurang.
Dalam sehari, pihaknya bisa melayani 10 pelanggan yang menginap. Harga sewa pun cukup terjangkau, per 12 jam dihargai Rp80 ribu.
"Dulu itu banyak yang menyewa karena belum ada wabah ini. Artinya kebutuhan kami tercukupi dengan membuka usaha ini," ungkap dia.
Sayang, wabah Covid-19 yang masuk ke Indonesia pada awal Februari-Maret 2020 membuat ekonomi Supargito tertekan. Pemerintah membatasi masyarakat luar kota datang ke daerah asal untuk memutus tali penyebaran virus.
Awal pandemi, perangkat desa setempat menekankan kepada warga untuk tak terlebih dahulu menerima tamu. Hal itu pun disusul dengan penutupan objek wisata di wilayah Kaliurang.
Baca Juga:Knalpot Blombongan Bikin Resah, Warga Jalan Kaliurang: Kasihan yang Sepuh
"Ekonomi masyarakat disini langsung anjlok. Baik pemilik penginapan, wisata Jeep sampai warga yang bekerja di destinasi yang ada di Kaliurang. Saat itu memang membuat kami pusing," katanya.
Warga mencoba bertahan dengan berjualan dan saling membantu tetangga lainnya. Meski demikian, kebutuhan tiap warga ikut berdampak, sehingga hanya bertahan sebentar.
Supargito tak menampik, masih ada beberapa warga yang memiliki sawah dan juga kebun di sekitar tempat tinggalnya. Dirinya, yang saat itu memiliki sisa kebun, memanfaatkannya untuk menanam sayur.
Hampir lima bulan penginapannya tak pernah didatangi pelanggan, sehingga dirinya bertahan dari bertani dan menjual sayur yang dia tanam.
"Salah satunya memanfaatkan ladang yang saya punya. Sayur yang bisa ditanam saya tanam dan hasilnya saya jual ke tengkulak. Walau sedikit tapi masih cukup untuk hidup," ujar pria gempal ini.
Supargito tinggal dan mengelola homestay bersama istri. Beruntung masih ada sisa tabungan yang dia simpan, sehingga kebutuhan makan bisa tercukupi hingga saat ini.
Menjalani kondisi ekonomi yang turun drastis selama lima bulan seperti ujian hidup yang tak dilupakan Supargito. Dirinya tetap bekerja meski usia sudah menginjak 70 tahun. Hal itu dilakukan lantaran anak-anaknya berada di luar kota, sehingga dibatasi untuk datang ke Yogyakarta.
Kondisi kasus pasien positif Covid-19 secara signifikan masih bertambah. Namun sejumlah objek wisata telah dibuka kembali.
Pelan tapi pasti, penginapan Supargito mulai didatangi pelanggan. Namun tak sebanyak sebelum wabah Corona.
Sehari sekitar 2-4 orang pelanggan datang menyewa homestay berjumlah 7 kamar itu. Saat menjelang akhir pekan kadang seluruh kamar miliknya penuh.
"Saat ini sudah kembali stabil tapi tidak seperti sebelumnya. Meski pendapatannya mepet, tapi kami terus syukuri," ungkap dia.
Hal itu juga dirasakan Wiji Lestari (50), pemilik penginapan di Jalan Kaliurang itu, juga mengaku belum sepenuhnya mendapat penghasilan yang sama seperti belum ada Covid-19.
Dalam sehari pihaknya bisa meraup Rp300-400 ribu dari hasil sewa kamar. Saat pandemi, hanya meraup Rp80-160 ribu, bahkan tidak ada pelanggan sama sekali.
"Sekarang sudah cukup baik, bisa sehari Rp200 ribu, ya yang penting disyukuri saja," ujar dia.
Wiji menganggap bahwa ada ujian yang harus manusia dapatkan dalam hidup. Bagi dia hal itu dilihat bagaimana manusia mengambil keputusan untuk bertahan.
"Tinggal manusianya yang mau sabar atau tidak. Tuhan juga sudah menyiapkan dan memberi rezeki yang sesuai. Selain sabar juga diikuti dengan pekerjaan kita," kata Wiji.