SuaraJogja.id - Udara siang menjelang sore saat itu terasa sejuk meski dinginnya tidak terlalu menusuk. Rindangnya pohon beringin tua menyambut kedatangan Suara.com, menyebarkan aura ketenteraman.
Guguran dedaunan pohon di depan sebuah bangunan sederhana itu semakin menambah hawa tenang. Dari balik pintu bagian depan, terlihat ruangan seluas lebih kurang 3x3 meter berserakan buku-buku pemuas isi kepala.
Berada di sebelah selatan Masjid Kampus UGM, kantor Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa (BPPM) Balairung nampak sepi, lengang dan sunyi.
Tak berselang lama, kesejukan itu berubah menjadi sebuah kehangatan setelah seorang pemuda bersahaja datang menyambut.
Baca Juga:Nadiem Terjunkan Mahasiswa Bidikmisi Bantu Siswa Belajar Dari Rumah
“Siang mas, sini ke belakang saja,” kata pemuda itu mengulurkan tangan memberi salam, Selasa (13/10/2020).
Di belakang kantor BPPM Balairung, ia bersama seorang kawan lainnya menawarkan sebungkus rokok untuk mencairkan suasana.
Basa-basi dan candaan seketika mengalir begitu saja. Pemuda itu bernama Fahmi Pelu, Pemimpin Umum BPPM Balairung. Sedangkan koleganya dari divisi PSDM Produksi dan Artistik, Upa Faza Sihajid Ananda.
Kepulan asap rokok dari dua pemuda itu membumbung tinggi ke udara, menuntun arah obrolan tentang seluk beluk perjalanan panjang BPPM Balairung.
Meski tak lengkap secara utuh, Fahmi dan Faza mengisahkan perjalanan panjang organisasi tempat mereka bernaung. Keduanya, saling melengkapi puzzle kisah yang terpisah tentang Balairung.
Baca Juga:Tolak Omnibus Law, BEM SI Geruduk Kawasan Patung Kuda
“Jadi Balairung itu pertama kali didirikan tahun 1985. Akhirnya ketika itu dibuat semacam seminar fakultas dari fakultas-fakultas untuk berkumpul menyepakati perlunya ada BPPM di tingkat universitas. Karena sebelumnya tahun 70an itu ada Gelora Mahasiswa, kemudian dibredel oleh universitas sendiri,” papar Fahmi mengawali.
Mendengar penjelasan Fahmi, Faza yang duduk di depannya spontan meluruskan apa yang diungkapkan pemimpinnya tersebut.
“Sebenarnya bukan dibredel, tapi kayak dimatikan untuk dibuat baru. Jadi tokohnya ini bernama Pak Daniel Dakhidae, kalau nggak salah dosen komunikasi. Itu dialihfungsikan karena istilahnya melawan bapak sendiri, melawan almamater. Topiknya kala itu menggantung Sutarji atau apalah itu,” sambung Faza mencoba meluruskan.
Berjalan mundur menyusuri masa lampau, Faza mengungkap adanya pembungkaman suara kritis mahasiswa yang kala itu selalu dibenturkan dengan alasan problem etis.
Padahal menurutnya, problem etis seharusnya tidak bisa dijadikan landasan untuk membungkam. Sebab, seringkali pihak pembungkam belum membaca tulisan yang dianggap bermasalah secara keseluruhan.
Di awal-awal penerbitannya, Balairung lebih banyak menelurkan tulisan artikel tema yang bukan bentuk tulisan jurnalistik.
Baru kemudian pada suatu masa lahirlah rubrik wawancara dengan beberapa ahli medio tahun 1988 atau 1989 untuk menyuguhkan artikel tema.
Kala itu, papar Fahmi, BPPM Balairung mulai berani mengangkat isu-isu teraktual di sekitar kampus, Jogja dan Nasional seperti saat ini.
November 1998, Balairung ikut andil dalam sarasehan pers mahasiswa yang melahirkan konsep pers komunitas dan pers wacana.
Sejak saat itulah, kedua konsep tersebut diimplementasikan ke dalam produk-produk jurnalistik BPPM Balairung hingga hari ini.
“Majalah Balairung sebagai bentuk pers komunitas, dan jurnal ilmiah multidisipliner Balairung sebagai implementasi pers wacana,” urai Fahmi.
Meski beberapa kali menghadapi perubahan arah gerak lembaga, BPPM Balairung tetap eksis sampai saat ini dibuktikan dengan banyaknya kader yang terserap dari seluruh fakultas di UGM.
“Sekarang itu ada 124 anggota yang terdiri dari tiga angkatan. Jadi ada angkatan magang, angkatan I, angkatan II, dan angkatan III,” tambahnya.
Bagi calon anggota BPPM Balairung, Fahmi membeberkan proses seleksi yang harus dilalui tahap demi tahap.
Pertama ada seleksi berkas, dengan mengisi identitas diri secara umum, wawancara, hingga penugasan per divisi.
“Misalnya redaksi akan diminta membuat tulisan, kalau di zaman saya itu ada essay soal sejarah pers mahasiswa, kalau di tahun ini ada tulisan jurnalistik hard news,” ungkap Fahmi lagi.
Menghadapi situasi pandemi seperti sekarang ini, BPPM Balairung turut terkena dampak yang menurut mereka merepotkan. Pasalnya, pendaftaran yang sedianya dilakukan secara offline terpaksa dilakukan secara online.
Di BPPM Balairung, anggotanya akan dihadapkan dengan kegiatan rutin seperti diklat setiap divisi hingga diskusi untuk mematangkan wacana masing-masing kepala.
Sebagai pemantiknya, Fahmi menambahkan, penanggung jawab diskusi harus mencari pemateri seperti tokoh ahli, alumni, atau dari anggota internal Balairung yang punya inisiasi untuk mengisi.
Produk-produk BPPM Balairung
Semakin sore, sorot jingga matahari menyelusup melalui celah dinding dan atap bangunan belakang kantor Balairung.
Pancaran sinar itu semakin memanaskan semangat Fahmi dan Faza sebagai mahasiswa pendekar pena untuk berkisah tentang produk-produknya.
“Produknya ada tiga sebenarnya, yang paling utama. Itu ada balairungpress.com, majalah Balairung, dan jurnal multidisipliner Balairing,” rinci Fahmi.
Mahasiswa semester tujuh ini lantas menguraikan perbedaan masing-masing produk secara berurutan.
Pertama balairungpress.com. Rilis pada tahun 2010, portal media online ini digagas Balairung untuk mengcover produk sebelumnya yaitu Balairung Koran (Balkon).
Cakupan isu yang diulas balairungpress.com lebih fokus pada dinamika kampus, yang dikemas lebih efektif dan efisien.
Kedua majalah Balairung. Produk cetak ini merupakan buah pemikiran anggota BPPM Balairung untuk mengawal isu-isu terhangat seputar DIY. Biasanya, produk ini disebar secara cuma-cuma kepada mahasiswa baru UGM.
Ketiga jurnal multidisipliner Balairung. Produk yang diperjualbelikan ini merupakan bentuk implementasi dari pers wacana.
Alasannya, Balairung mendefinisikan pers mahasiswa sebagai sekelompok pemuda yang siap bertarung, menawarkan alat pemecah persoalan publik.
“Mungkin entitas yang perlu memecah kebuntuan di tengah masyarakat, melempar wacana ke tengah publik lewat jurnal Balairung yang cakupan isunya lebih luas lagi,” sambung Fahmi.
Kelebihan lainnya, kata Faza melengkapi, BPPM Balairung menghadirkan bank isu sebagai upaya aktif lembaga untuk menampung kegelisahan mahasiswa atau masyarakat secara umum.
“Nanti bank isu itu akan dijadikan tulisan atau tidak, tergantung rapat dengan pertimbangan signifikansi, urgensi dan lain sebagainya,” ujar Faza yang sibuk dengan vapor kesayangannya.
Sejumlah arsip fisik goresan pena BPPM Balirung yang diperlihatkan kepada Suara.com masih mereka simpan dengan baik.
Seperti sebuah karya pada tahun 2018, saat Pemimpin Umum berada di Pundak M. Unies Ananda Raja, Balairung menerbitkan jurnal multidisipliner vol.1 no.2 bertajuk “HEWAN DAN MANUSIA.”
Implementasi wacana Balairung tersebut menitikberatkan pada hubungan hewan dan manusia, bagaimana hubungan keduanya, serta untuk menyingkap misteri makna yang belum terpecahkan di antara keduanya.
Kemudian pada tahun 2019 di bawah kepemimpinan Citra Maudy Mahanani, majalah Balairung edisi ke 55 mengudara.
Konflik agraria di daerah Yogyakarta menjadi pelecut lahirnya tema “Melawan Perampasan, Merebut Hak Atas Tanah.”
Majalah setebal 54 halaman itu membelejeti kemelut persoalan pertanahan di tanah istimewa ini, yang kian hari sawah dan ladangnya kian menyusut.
Sedangkan pada tahun 2020 ini, di bawah nahkoda Fahmi Pelu, majalah Balairung dialihkan menjadi bunga rampai menyikapi pandemi Covid-19.
Pasalnya, pengerjaan mendesak yang dilakukan secara online dirasa menyita proses penyusunan majalah sebagaimana seharusnya.
Bunga rampai yang ditujukan untuk mahasiswa baru tersebut mengangkat tema persoalan sistem manajemen air.
Kaca mata Balairung memandang, peran utama air sebagai fungsi ekologis acapkali diabaikan yang berdampak pada berbagai persoalan klasik seperti krisis air bersih hingga terjadinya kekeringan.
Sadar akan perubahan zaman, lembaga pers ini mulai merambah ke ranah videografi yang dituangkan ke kanal YouTube mereka BPPM Balairung.
Fahmi dan Faza mengamini, perubahan zaman memaksa mereka menghadirkan produk jurnalistik yang bisa diambil manfaatnya dan bisa dinikmati tanpa harus membaca.
“Tapi memang masih dikejar produktivitasnya karena masih bongkar pasang gimana formasi yang paling pas. Itu juga baru dirintis tahun lalu kan, sebelum-sebelumnya memang sudah ada, kayak video-video itu tapi masih belum terkonsep,” terang Fahmi sambil menyeruput kopinya.
Selama tiga tahun berproses di Balairung, Fahmi dan Faza mengaku telah menemukan ruang yang tepat untuk menuangkan potensi yang ada pada diri mereka.
Fahmi semakin mantap dengan sastranya, sedangkan Faza semakin yakin dengan kemampuan desainnya.