SuaraJogja.id - Empat hari sudah uji coba Malioboro bebas kendaraan bermotor diterapkan. Namun, selama itu pula sejumlah elemen masyarakat mengeluh terutama para pedagang yang pendapatannya anjlok. Lantas bagaimana sebetulnya perlukah Malioboro ditutup?
Seperti diketahui, Pemda DIY tengah merancang kawasan Malioboro bebas kendaraan bermotor. Hal ini terutama menyusul status Malioboro sebagai World Heritage sebagai kawasan bernilai budaya karena menjadi salah satu sumbu imajiner yang menghubungkan Gunung Merapi-Tugu Pal Putih-Keraton Yogyakarta-Panggung Krapyak-Laut Selatan.
Tetapi pelaksanaan yang diawali dengan uji coba selama dua pekan itu mendapat respon pro dan kontra. Lalu bagaimana tanggapan dari salah satu peneliti kawasan Malioboro dari UGM, Bambang Hari Wibisono mengenai kondisi tersebut.
Pria yang telah meneliti Malioboro pada 2001 silam itu melihat bahwa kawasan tersebut mengalami transformasi.
Baca Juga:Lebih Interaktif dan Seru, Jogja Cocoa Day Part 2 Siap Digelar
"Saya selesai melakukan penelitian dengan objek Malioboro itu 2001. Memang Malioboro telah mengalami transformasi dari periode ke periode. Ini juga muncul konsep yang unik karena memiliki sumbu filosofi bahkan sumbu imajiner yang menghubungkan dari Gunung Merapi hingga Laut Selatan," jelas Bambang dihubungi Suarajogja.id, Jumat (6/11/2020).
Bambang menjelaskan bahwa perubahan akan terjadi seiring berkembangnya zaman. Termasuk Malioboro yang menjadi tumpuan hidup beberapa masyarakat mulai dari zaman Belanda hingga saat ini.
"Ini jelas akan mengalami perubahan. Tentu akan berbeda kondisi sekarang dengan 20 tahun lalu. Nah apakah sudah perlu Malioboro menjadi pedestrian, saya melihat Pemda memang menginginkan untuk mengurangi beban yang ada di Malioboro khususnya beban lalu lintas yang melewati Malioboro saat ini," ujar dia.
Ia tak menampik bahwa masalah akses jalan atau lalu lintas sudah sangat melebihi beban dari yang seharusnya dipikul oleh Malioboro.
"Saya kira tujuan itu baik-baik saja. Namun melihat dari sisi kultural atau historisnya akan lebih menarik jika dikurangi bebannya. Jadi tidak semuanya ditutup langsung," jelas Dosen jurusan teknik arsitektur dan perencanaan Fakultas Teknik UGM ini.
Baca Juga:Dukum IKM Daerah Hadapi Pandemi, Disperindag DIY Gelar Jogja Premium Export
Ia menjelaskan bahwa Malioboro pada zaman dahulu menjadi akses jalan masyarakat. Meski sebelumnya bukan kendaraan bermotor seperti sekarang, jalur tersebut menjadi salah satu jalur utama yang kerap menjadi jalur penghubung.
"Saya kira jalan tersebut menjadi jalur yang selalu dilintasi oleh orang-orang. Memang tergantung alat transportasi pada zamannya. Dari foto-foto yang saya lihat baik motor, mobil, andong, dokar sudah melintas di situ. Boleh dikatakan ini (Malioboro) main road kan, jadi jalur utama," terang dia.
Menjadi main road, lanjut Bambang akan menciptakan atribut baru di sekitar Malioboro. Artinya aktivitas seperti berdagang dan tempat pariwisata tumbuh dari aktivitas di Malioboro.
"Maka dari itu Pangeran Mangkubumi, Raja pertama Yogyakarta itu sudah mempertimbangkan dalam merancang Yogyakarta. Bagaimana terdapat atribut kultural dan historis dimana Malioboro menghubungkan antara Gunung Merapi hingga Laut Selatan. Lalu perkembangan jalan itu tidak hanya sekadar jalan saja, sehingga muncul fungsi komersial seperti munculnya toko-toko, hotel dan sebagainya," kata dia.
Bambang melanjutkan menjadikan Malioboro sebagai kawasan bebas kendaraan bermotor tentu membutuhkan pertimbangan dan hitungan yang matang. Pasalnya banyak atribut yang muncul terutama perdagangan di lokasi setempat.
"Memang tidak mudah menyikapi Malioboro ya, karena banyak atribut dan multi dimensi di dalamnya. Mulai dari dimensi kultural, ekonomi dan dimensi teknis pengaturan lalu lintas. Jadi ini saling menyatu. Jadi ketika kita ingin fokus pada satu dimensi saja, mempertahankan nilai kultural misalnya, barangkali mungkin tidak bisa," terang dia.
Pemda yang saat ini telah mengajukan kawasan Malioboro sebagai world heritage kepada UNESCO tentunya harus memperhatikan kepentingan lain yang ada. Artinya, dimensi seperti ekonomi sosial, lingkungan yang sudah menyatu jangan sampai terabaikan.
"Jika orientasinya pada nilai kultural yang nomor satu. Tapi bagaimana nilai kultural itu mempertimbangkan kepentingan yang lain. Jadi perlu ada pemikiran, istilah gampangnya win-win solution. Nilai-nilai yang lain tidak bisa dikesampingkan begitu saja," ujar pria yang sempat bekerja mewakili Indonesia di UNESCO ini.
Ia melanjutkan penutupan akses jalan di Malioboro mengarah pada pengurangan beban lalu lintas. Jikapun itu harus diterapkan di jalur sumbu imajiner lainnya seperti Tugu Pal Putih dan Panggung Krapyak hal itu perlu dilihat dari dua sisi.
"Jadi perlu dilihat dari kacamata transportasi dan konservasi kawasan. Jika dari kacamata transportasi mulai penggal Tugu hingga stasiun barangkali tidak perlu kemudian ikut juga ditutup. Karena itu tadi orang butuh akses ke Malioboro. Jika dilihat dari kacamata konservasi kawasan, saya pikir mungkin keutuhan ruas jalan dari Margoutomo, Margomulyo dan Malioboro ini harus jadi satu kesatuan," jelas dia.
Sehingga jika memang nantinya akan dilakukan penutupan akses atau menjadikan Tugu hingga Malioboro kawasan pedestrian, Pemda juga harus membuka jalan di tepi atau persimpangan jalan.
"Manajemennya pasti akan lebih kompleks lagi. Namun yang perlu diperhatikan adalah nilai-nilai yang sudah dibangun di sini tetap harus dijaga," katanya.
Bambang mengatakan Pemda sebenarnya memang sudah melakukan sejumlah uji coba dan evaluasi untuk Malioboro sebelumnya. Kendati demikian masih ada kekurangan yang perlu dibenahi.
Oleh sebab itu, adanya dimensi yang menyatu dalam satu kawasan Malioboro harus diperhatikan dan tak diabaikan.