"Saya kira jalan tersebut menjadi jalur yang selalu dilintasi oleh orang-orang. Memang tergantung alat transportasi pada zamannya. Dari foto-foto yang saya lihat baik motor, mobil, andong, dokar sudah melintas di situ. Boleh dikatakan ini (Malioboro) main road kan, jadi jalur utama," terang dia.
Menjadi main road, lanjut Bambang akan menciptakan atribut baru di sekitar Malioboro. Artinya aktivitas seperti berdagang dan tempat pariwisata tumbuh dari aktivitas di Malioboro.
"Maka dari itu Pangeran Mangkubumi, Raja pertama Yogyakarta itu sudah mempertimbangkan dalam merancang Yogyakarta. Bagaimana terdapat atribut kultural dan historis dimana Malioboro menghubungkan antara Gunung Merapi hingga Laut Selatan. Lalu perkembangan jalan itu tidak hanya sekadar jalan saja, sehingga muncul fungsi komersial seperti munculnya toko-toko, hotel dan sebagainya," kata dia.
Bambang melanjutkan menjadikan Malioboro sebagai kawasan bebas kendaraan bermotor tentu membutuhkan pertimbangan dan hitungan yang matang. Pasalnya banyak atribut yang muncul terutama perdagangan di lokasi setempat.
Baca Juga:Lebih Interaktif dan Seru, Jogja Cocoa Day Part 2 Siap Digelar
"Memang tidak mudah menyikapi Malioboro ya, karena banyak atribut dan multi dimensi di dalamnya. Mulai dari dimensi kultural, ekonomi dan dimensi teknis pengaturan lalu lintas. Jadi ini saling menyatu. Jadi ketika kita ingin fokus pada satu dimensi saja, mempertahankan nilai kultural misalnya, barangkali mungkin tidak bisa," terang dia.
Pemda yang saat ini telah mengajukan kawasan Malioboro sebagai world heritage kepada UNESCO tentunya harus memperhatikan kepentingan lain yang ada. Artinya, dimensi seperti ekonomi sosial, lingkungan yang sudah menyatu jangan sampai terabaikan.
"Jika orientasinya pada nilai kultural yang nomor satu. Tapi bagaimana nilai kultural itu mempertimbangkan kepentingan yang lain. Jadi perlu ada pemikiran, istilah gampangnya win-win solution. Nilai-nilai yang lain tidak bisa dikesampingkan begitu saja," ujar pria yang sempat bekerja mewakili Indonesia di UNESCO ini.
Ia melanjutkan penutupan akses jalan di Malioboro mengarah pada pengurangan beban lalu lintas. Jikapun itu harus diterapkan di jalur sumbu imajiner lainnya seperti Tugu Pal Putih dan Panggung Krapyak hal itu perlu dilihat dari dua sisi.
"Jadi perlu dilihat dari kacamata transportasi dan konservasi kawasan. Jika dari kacamata transportasi mulai penggal Tugu hingga stasiun barangkali tidak perlu kemudian ikut juga ditutup. Karena itu tadi orang butuh akses ke Malioboro. Jika dilihat dari kacamata konservasi kawasan, saya pikir mungkin keutuhan ruas jalan dari Margoutomo, Margomulyo dan Malioboro ini harus jadi satu kesatuan," jelas dia.
Baca Juga:Dukum IKM Daerah Hadapi Pandemi, Disperindag DIY Gelar Jogja Premium Export
Sehingga jika memang nantinya akan dilakukan penutupan akses atau menjadikan Tugu hingga Malioboro kawasan pedestrian, Pemda juga harus membuka jalan di tepi atau persimpangan jalan.