- Pemecatan Anita Dewi, pelapor awal kasus tumbler hilang di KRL, menyoroti lemahnya perlindungan pekerja saat viralitas menyeret mereka.
- Respon perusahaan yang memecat secara sepihak setelah kasus viral dianggap tidak ideal dan harus diawasi oleh pemerintah.
- Kasus ini menekankan pentingnya perbaikan SOP layanan publik dan perlunya serikat pekerja untuk melindungi hak-hak pekerja.
SuaraJogja.id - Kasus tumbler hilang di KRL sempat melebar menjadi drama panjang yang menyeret banyak pihak. Mulai dari pemilik barang, petugas KAI, hingga pemecatan pegawai.
Deputi Sekretaris Center for Digital Society (CfDS) UGM, Iradat Wirid menilai pemecatan pegawai dalam kasus tumbler hilang di KRL menunjukkan lemahnya perlindungan terhadap pekerja ketika terseret viralitas.
Diketahui Anita Dewi sebagai orang pertama yang mengunggah keluhan soal tumbler hilang ini dikabarkan telah dipecat dari pekerjaannya.
Iradat menilai keputusan sepihak perusahaan itu berpotensi tidak adil dan harus diawasi oleh pemerintah.
Baca Juga:Seorang Perempuan Diduga Jadi Korban Pelecehan di KRL Jogja-Solo, KAI Commuter Lakukan Penyelidikan
Padahal dalam kasus ini, kedua belah bisa dilihat sebagai perspektif korban. Menurut dia, pemecatan sepihak kepada Anita itu bukan keputusan yang ideal.
Ia menyebut langkah perusahaan yang mengambil keputusan setelah kasus viral merupakan bentuk respons reaktif yang tidak ideal. Menurutnya, kebijakan semacam ini seharusnya melalui proses mediasi dan penilaian yang jelas tidak semata-mata tekanan publik.
Iradat mengingatkan bahwa pekerja tetap memiliki hak meskipun melakukan kesalahan.
"Sebenarnya juga nggak idea lah. Satu, bahwa mbaknya [Anita Dewi] melakukan satu kesalahan tapi doxing itu juga nggak diperlukan," kata Iradat saat dihubungi, Jumat (28/11/2025).
"Butuh semacam serikat pekerja dalam perusahaannya untuk bisa mengadu atau memprotes hal pemecatan sepihak semacam ini, yang sangat tidak substantif lah kira-kira," ungkapnya.
Baca Juga:Kawasan Hunian di Jalur Kereta Berkembang, KRL Jogja-Solo Bakal Sampai Madiun
Perusahaan perlu memiliki proses yang lebih baik dalam mengambil keputusan kepada para pekerjanya. Termasuk pembuktian yang nyata untuk memperkuat argumen bahwa pemecatan itu bisa dilakukan bukan sebatas viralitas saja.
Kementerian Ketenagakerjaan pun punya andil dalam mengawasi aturan-aturan soal kesejahteraan para pekerja, termasuk aturan pemecatan dan lainnya.
"Jadi kadang-kadang pasal-pasal seperti ini itu selalu dijadikan argumen, tapi tidak pernah terlihat buktinya. Nah ini menurut saya, ya ini kalau kita mau bicara panjang tentunya, Kementerian Ketenagakerjaan juga perlu mengawasi aturan-aturan kayak gini," tegasnya.
"Meskipun kelihatannya, iya ini mempermalukan perusahaannya, tapi validasinya apa? Kalau dia jualan kan harusnya, masa dalam satu hari bisa dibuktikan? Jualan saya turun, kan nggak masuk akal," imbuhnya.
Di sisi lain, Iradat menyebut viralitas media sosial dapat membuat siapa saja terseret ke dalam konsekuensi yang tidak disangka. Terlepas dari latar belakang ekonomi atau pendidikan.
Literasi digital disebut sebagai faktor penting yang menentukan bagaimana seseorang mengelola risiko ketika mengunggah keluhan atau apapun di media sosial.