SuaraJogja.id - Uji coba Malioboro sebagai kawasan pedestrian memberi dampak terhadap para pedagang. Memasuki hari ketiga uji coba Malioboro tanpa kendaraan, sejumlah pedagang kaki lima (PKL) dan pedagang kios mengeluh sepi pembeli.
Hal itu diungkapkan salah seorang pedagang pecel di depan Pasar Beringharjo, Tari (42). Dalam sehari dirinya hanya melayani 8-10 orang.
"Setelah uji coba hari pertama kami masih memaklumi karena orang-orang mungkin belum tahu. Namun di hari kedua dan ketiga pembelinya masih saja sedikit," keluh Tari ditemui Suarajogja.id, Kamis (4/11/2020).
Ia mengaku sebelum uji coba Malioboro sebagai kawasan pedestrian, ibu 3 anak ini bisa melayani 40-50 pembeli tiap harinya. Setelah pemberlakuan Malioboro bebas kendaraan motor, pembelinya menurun drastis.
Baca Juga:Viral Penjual Gorengan Cantik di Jogja, Warganet: Jadi Pengen Nafkahin
"Sehari itu bisa bawa pulang Rp800-1 juta, tapi itu hasil kotornya. Mungkin bersihnya itu sekitar Rp400-500 ribu," ujar Tari.
Pedagang makanan seperti dirinya membuka lapak sekitar pukul 09.00-17.00 wib. Selama 3 hari itu dirinya tak pernah melayani pembeli dari 10 orang.
Ia mengatakan jika pembeli yang datang ke tempatnya kebanyakan wisatawan yang turun dari mobil di Jalan Malioboro.
"Selama ini pelanggan yang datang itu berjalan dari jalan Malioboro, turun dan langsung mendekat ke sini. Ada beberapa yang setelah berjalan-jalan keliling Malioboro langsung makan. Tapi lebih banyak yang datang itu pelanggan dari mobil dan motor," katanya.
Dampak ditutupnya akses jalan Malioboro untuk kendaraan bermotor juga dirasakan oleh pedagang pakaian di pasar sore. Desi Ariani (36) mengaku jika sepinya pembeli karena tak mengetahui jalan atau tempat parkir yang dekat dengan lokasi yang mereka tuju.
Baca Juga:Wadah Seniman Muda, Artotel Yogyakarta Apresiasi Jogja Art Week 2020
"Jadi wisatawan inginnya mencari tempat parkir yang dekat. Biasanya di dekat Benteng Vastenburg ada parkir mobil. Jadi setelah parkir mereka biasa melintas di pasar sore. Tapi setelah ditutup (Malioboro) tidak ada yang parkir dan melintas di sini. Ada beberapa wisatawan tapi sangat sedikit," katanya.
Ia melanjutkan ketika malam hari situasi di Malioboro memang terlihat ramai. Tetapi kebanyakan hanya wisatawan lokal yang ingin berswafoto tanpa membeli cinderamata atau pakaian.
"Khawatirnya pengunjung dari luar Yogyakarta merasa ribet karena tidak bisa parkir yang dekat dengan toko yang dituju, jikapun harus parkir di taman parkir Abu Bakar Ali, mereka harus berjalan jauh," ujar dia.
Baik Desi dan Tari berharap kawasan Malioboro bisa dikembalikan seperti semula. Pasalnya dengan dibuka akses jalan kendaraan, pengendara bisa memilih lokasi yang mereka inginkan dan langsung memarkirkan kendaraan di dekatnya.
Terpisah Plt Kepala Dinas Hubungan DIY, Ni Made Panti Dwipanti Indrayanti menjelaskan bahwa masa uji coba Malioboro menjadi kawasan pedestrian berlaku selama dua pekan.
"Uji coba ini dimulai dari 3-15 November. Hanya kendaraan seperti bus Transjogja, ambulans, Mobil petugas patroli yang boleh masuk. Namun ada dispensasi juga kepada warga yang tinggal di sekitar kawasan Malioboro dan juga pedagang," kata dia.
Adanya masalah yang terjadi baik keluhan pedagang dan warga, pihaknya tetap akan mengevaluasi. Nantinya tetap akan dilakukan komunikasi. Saat ini Malioboro telah diajukan ke UNESCO sebagai kawasan world heritage.
"Yang jelas tiap program tak bisa didukung terus, ada pro dan kontra. Ada yang mengeluh Jogja macet, sumpek Dishub-nya tidak melakukan penataan. Tapi setelah ditata mengeluh juga. Jadi kita nikmati dulu saat ini seperti apa. Malioboro sebagai garis sumbu imajiner juga sudah kami ajukan sebagai World heritage atau warisan dunia," terangnya.