SuaraJogja.id - Massa Aliansi Rakyat Bergerak (ARB) kembali melakukan aksi menyerukan ketidakpuasan dengan kinerja pemerintahan Indonesia selama ini. Aksi tersebut dilakukan dengan long march dari Bundaran UGM hingga berakhir di pertigaan Jalan Gejayan.
"Kami kembali melakukan aksi di pertigaan Jalan Gejayan ini untuk memperingati matinya demokrasi dan untuk terus mendesak pemerintah mencabut omnibus law," kata Humas Aliansi Rakyat Bergerak (ARB) Revo, kepada awak media, Selasa (17/11/2020).
Revo menegaskan aksi yang digelar lagi kali ini sebagai bentuk respon dari apa yang telah disuarakan selama ini terkait dengan penolakan Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Menurutnya dari sekian lama suara itu diserukan tidak ada respon positif dari pemerintah.
"Maka kami mengambil kesimpulan saat ini di Indonesia bahwa demokrasi telah mati," tegasnya.
Baca Juga:Demo Gagalkan Omnibus Law, Aliansi Rakyat Bergerak Terapkan Jaga Jarak
Dari pantauan SuaraJogja.id di lapangan, massa aksi juga menggantung beberapa tulisan di baliho yang berdiri di kawasan pertigaan tersebut. Beberapa di antaranya bertuliskan 'Matinya Demokrasi #MosiTidakPercaya', 'Cabut Omnibus Law' serta 'Bangun Politik Rakyat.'
Revo menjelaskan tulisan itu sebagai bentuk ungkapan rakyat yang selama ini tertindas. Politik rakyat yang dimaksud dalam tulisan itu, kata Revo, sebagai desakan untuk membangun politik oleh rakyat dengan semangat persatuan solidaritas.
Semangat yang menentang dan melawan fasis, penindakan serta orang-orang yang menguasai 68 persen tanah di Indonesia. Menurutnya selain itu, dewan rakyat juga menjadi salah satu hal yang perlu dipertimbangkan untuk diadakan.
"Omnibus Law adalah pucuk gunung es dari yang selama ini kita suarakan. Sejak tahun lalu hingga saat ini, suara kita adalah bukti pemerintah yang tidak becus untuk mengambil aspirasi dari rakyatnya. Kami juga tetap menyuarakan mosi tidak percaya," ucapnya.
Senada, Humas ARB lainnya, Lusi, menyampaikan, sebagai representatif mahasiswa, ARB merasa kecewa terhadap pemerintah. Sebab selama ini suara atau gerakan gelombang demonstrasi dari semua kalangan dan daerah tidak satu pun yang didengarkan.
Baca Juga:Protes Kenaikan UKT dan SPP, Aliansi Rakyat Bergerak Geruduk LL Dikti V DIY
"Omnibus Law, kita tahu juga sudah disahkan. Jadi kami dorong dan desak lagi pemerintah untuk mencabut hal itu," ucap Lusi.
Menurutnya gelombang demonstrasi atau protes ini tidak akan berhenti sampai pemerintah mendengarkan apa yang rakyat mau. Lusi menyebut, Omnibus Law adalah ancaman kehidupan masyarakat, bukan hanya buruh tapi juga di dunia pendidikan, politik serta ekologis.
"ARB bukan cuma segelintir orang, tapi semua orang yang merasa tertindas, semua orang yang memiliki rasa ingin berusara itu diterima di ARB. Dan gerakan ARB adalah gerakan kolektif," sebutnya.
Ditambahkan Lusi, ragam persoalan yang membelit kehidupan rakyat disebabkan oleh sistem kekuasaan yang menindas sepanjang sejarah Indonesia. Mulai dari pasca proklamasi kemerdekaan sistem politik selalu berubah mencoba mencari formula tepat untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Namun pada kenyataannya, hal tersebut selalu gagal untuk diwujudkan. Kesejahteraan rakyat kecil dilupakan ditambah sistem politik yang mereduksi partisipasi rakyat ke dalam lembaga-lembaga perwakilan dan bahkan partai.