Menunggu Gawe Merapi, Begini Cerita Warga Selama Dua Bulan di Pengungsian

Dua bulan lebih warga di lereng Merapi mengungsi dari rumahnya. Sementara situasi di Merapi hingga saat ini masih fluktuatif.

Galih Priatmojo | Hiskia Andika Weadcaksana
Rabu, 06 Januari 2021 | 12:07 WIB
Menunggu Gawe Merapi, Begini Cerita Warga Selama Dua Bulan di Pengungsian
Para pengungsi yang menikmati makanan yang telah dibungkus oleh para relawan di barak pengungsian Glagaharjo, Kamis (12/11/2020). [Hiskia Andika Weadcaksana / SuaraJogja.id]

SuaraJogja.id - Pagi nan cerah menyinari kawasan lereng Merapi hari itu. Sinar mentari mulai mengeringkan tanah yang becek akibat hujan semalam.

Pagi itu, langkah kaki Maryam (50) sudah bergerak, menuju kandang sapi sementara yang letaknya tak jauh dari barak pengungsian Glagaharjo, Cangkringan, Sleman.

Tidak ada perlengkapan khusus yang di bawa, hanya tangan kosong. Tidak langsung menuju dua sapi miliknya melainkan ia menuju tumpukan rumput yang ada di sebelah kandang-kandang itu.

"Mau ngasih makan sapi mas," tutur Maryam kepada SuaraJogja.id.

Baca Juga:Berstatus Siaga, Merapi Menunjukan Peningkatan Aktivitas

Maryam memiliki dua ekor sapi yang saat ini semuanya sedang dalam posisi hamil. Namun ia tidak begitu mengetahui kapan dua sapinya tersebut akan melahirkan.

Ia mengatakan bahwa dua ekor sapi miliknya sekarang ini adalah pemberian atau semacam ganti rugi dari pemerintah. Pasalnya, pada erupsi Gunung Merapi tahun 2010 lalu, tiga sapinya ludes diterabas awan panas. Padahal saat itu ketiga sapinya dalam kondisi baik dan produktif.

"Ini sapi dari pemerintah karena dulu waktu 2010 terbakar erupsi Gunung Merapi. Ada tiga sapi waktu itu, satu laki-laki sudah besar badannya, satu sedang hamil juga, satu lagi berumur satu tahun tapi sudah besar. Semua ludes waktu itu terus ini gantinya," jelasnya.

Ia dan suami sendiri sudah mengungsi di barak pengungsian Glagaharjo sejak kenaikan status Merapi dari Waspada menjadi Siaga. Namun memang selama ini mereka kedua hampir setiap hari kembali ke atas.

Hal itu dilakukan untuk mencari rumput guna memberi makan dua ekor sapinya. Waktu mencari rumput itu juga sekaligus digunakan untuk menengok rumahnya.

Baca Juga:Gunung Merapi Semburkan Material Diduga Lava Pijar

"Pagi jam 06.00 WIB sudah naik untuk cari rumput. Kalau turunnya bisa sampai siang kadang sore jam 16.00 WIB tergantung dapatnya rumput," ucapnya.

Maryam mengakui bahwa hampir dua bulan berada di barak pengungsian memang terasa jenuh. Namun tidak banyak yang bisa ia lakukan. Hiburannya, hanya dua ekor sapi itu.

Sebelum status Merapi dinaikan menjadi Siaga sekarang ini, Maryam sendiri adalah penjual bunga edelweis atau yang dikenal juga dengan sebutan si 'bunga abadi'. Sebutan itu, katanya sebab tanaman satu ini yang tak mudah layu.

Biasanya, ia menjual bunga abadi itu di tempat-tempat wisata yang ada di kawasan Merapi. Mulai dari Bukit Klangon, Bunker Merapi, Kaliadem, Kinahrejo (petilasan Mbah Maridjan), hingga Turgo.

Hasil dari penjualan bunga abadi itu yang selama ini menunjang kebutuhan hidup keluarganya sehari-hari. Tidak banyak memang pendapatan yang didapat namun setidaknya itu cukup untuk hidup suami, dan satu anaknya yang masih duduk di bangku SMK kelas 10.

"Anak saya dua cewek, yang satu sudah berkeluarga sendiri. Satunya masih SMK kelas 10, sering nganter jemput saya kalau setiap pulang dan ke sini [baral pengungsian]," ujarnya.

Maryam mengungkapkan semenjak kawasan wisata Merapi itu ditutup, usaha berjualan bunga abadi miliknya pun ikut tutup juga. Padahal biasanya ia bisa meraup keuntungan mulai dari Rp100-200 ribu setiap hari.

Walaupun memang jumlah itu tidak bisa dipastikan juga. Malahan kadang, pendapatan Rp200 ribu itu baru bisa didapat selama seminggu. Namun tidak dipungkiri tahun sebelumnya, dengan kondisi libur natal dan tahun baru seperti sekarang ini penjualannya bisa meningkat.

Ia mengaku keluarganya bertahan sedikit banyak dari hasil penjualan bunga tersebut. Sebab sang suami memang tidak memiliki pekerjaan sampingan.

"Sekarang tutup semua jadi saya juga berhenti jualan. Ngurus sapi saja," cetusnya.

Dengan kondisi keterbatasan tersebut, Maryam dan suami harus memutar otak demi mencukupi kebutuhan hidup sementara waktu ini. Khususnya untuk membiayai sekolah anaknya yang masih SMK tadi.

Walaupun dengan berat hati Maryam mengatakan telah menjual satu anak sapi miliknya beberapa waktu lalu. Diakuinya, anak sapi miliknya itu telah laku terjual senilai Rp11 juta. Uang itu ia gunakan sebagai simpanan keluarga di saat tak menentu sekarang ini.

"Pedet kemarin waktu awal-awal itu sudah saya jual, laku Rp11 juta ya buat nyukupi kebutuhan hidup," sebutnya.

Sebenarnya, kata Maryam, ia tidak begitu menemui banyak kendala selama berada di barak pengungsian. Sebab untuk kebutuhan pokok yang dibutuhkan pun telah disediakan oleh pemerintah.

Begitu juga dengan kebutuhan pakan untuk ternak berupa konsentrat. Praktis hanya rumput dan garam mineral saja sejauh ini yang dicari sendiri oleh para peternak termasuk Maryam.

Ketika ditanya mengenai kondisi serupa semacam ini, Maryam mengakui telah mengalami hidup mengungsi akibat bahaya erupsi Merapi selama empat kali yakni sejak 2006, 2010, 2018 dan sekarang 2020. Dari empat kali itu, mengungsi pada tahun 2018 menjadi periode yang tersingkat.

Sementara untuk dampak terparah yang pernah ia rasakan ketika erupsi tahun 2010 silam. Sedangkan untuk erupsi tahun 2006 masih cukup aman, artinya tidak ada kerugian materiil yang cukup besar seperti pada 2010.

"Sekarang ini mengungsi yang paling nyaman. Soalnya sebagai persiapan jauh sebelum ada erupsi. Kalau 2010 itu meletus hebat dan tidak ada persiapan jadi harta benda ludes. Tahun 2006 cuma abu dan pasir harta benda masih ada. Kalau Covid-19 sih tidak begitu berpengaruh mas," paparnya.

Maryam menambahkan, saat ini ia hanya bisa menunggu dan berharap agar kondisi segera pulih. Namun ia tetap akan mengikuti aturan pemerintah untuk tetap bertahan di barak pengungsian hingga kondisi benar-benar aman.

Matahari mulai bergeser, sekarang sudah tepat berada di atas kepala. Hawa panas mulai terasa di barak pengungsian Glagaharjo. Terlihat beberapa lansia mulai keluar dari bilik atau kamarnya masing-masing untuk mencari udara segar di luar ruangan.

"Namung lenggah mawon wonten jawi, soalipun wonten dalem benter mas (hanya duduk di luar saja, soalnya di dalam panas)," kata Dalinem sambil menikmati semilir angin di luar ruangan barak pengungsian Glagaharjo, Cangkringan, Sleman.

Dalinem mengaku tidak mengingat pasti kapan ia mulai datang ke barak pengungsian. Namun ia meyakini sudah cukup lama. Sebab rasa bosan itu mulai ia rasakan akhir-akhir ini.

Lansia berusia 67 tahun ini menyebut bahwa tidak banyak yang bisa dilakukan selama berada di barak pengungsian. Hal itu menyebabkan tak adanya aktivitas fisik yang juga dilakukan seperti biasa kala masih di rumah.

Tidak sepenuhnya hanya berdiam tanpa kegiatan. Sebab beberapa kali, ia mengatakan pernah diajak untuk berkegiatan semacam senam sehat. Pernah juga ia diajak untuk membuat kerjainan atau mainan, tak begitu diingatnya.

"Menawi mboten nyambut damel kula malah pegel-pegel. limrahipun pados suket (kalau tidak bekerja pegel rasanya, biasanya cari rumput)," ucapnya sambil mengelus-elus kakinya.

Dalinem harus rela menghentikan sejenak aktivitas mencari rumputnya. Sekarang kata Dalinem, ada tetangganya rumah yang memberi ternaknya makan. Ia sendiri mengaku mempercayakan ternaknya kepada pihak-pihak terkait untuk dirawat hingga masa darurat ini berakhir.

Ketika ditanya tentang sudah berapa kali ia harus mengalami kondisi seperti ini, Dalinem tak begitu mengingatnya. Tiga atau empat kali, tidak bisa disebutkan angka pasti berapa kali ia harus mengungsi sebagai warga lereng Gunung Merapi.

"Mboten wonten benten kalih kala wingi, pangraosan menawi ngungsi menika sami mawon amargi sampun limrah (tidak ada bedanya, sama saja karena sudah sering), ungkapnya.

Terkait pagebluk saat mengungsi pun, Dalinem mengaku perbedaan hanya mengenakan masker dan tidak. Kalau dulu leluasa tanpa masker yang dikalungkan atau dipakai. Sekarang setiap saat masker itu menghiasi wajahnya yang mulai tampak makin menua.

Selain itu sekat di dalam barak juga dirasakan berbeda. Seingatnya, dulu tidak ada bangunan sekat yang dibuat sedemikian rupa untuk memisahkan satu pengungsi dengan lainnya. Hanya ada kasur atau tikar yang sudah tergelar untuk digunakan bersama.

Dengan segala keterbatasan dan ketidakpastian saat ini, ia menyatakan untuk tetap akan bertahan dengan aturan yang telah dibuat oleh pemerintah. Menurutnya, hal ini untuk menjaga agar para lansia lainnya dari hal-hal yang tidak diinginkan ketika erupsi Gunung Merapi benar terjadi.

Meskipun tidak dipungkiri bahwa ketersediaan makanan dan kebutuhan pokok lainnya telah tercukupi dengan baik. Ia tetap merindukan suasanya yang ada di rumah aslinya. Namun bersama dengan teman dan tetangganya, rasa kebersamaan muncul untuk sedikit mengobati kesenyunyian dalam pengungsian.

"Kula ndherek mawon ingkang paling wigatos sedaya saras lan wilujeng. Mboten ngertos ajeng pinten lami malih. (Saya menurut saja yang terpenting semua sehat dan selamat. Tidak tahu akan berapa lama lagi)," tuturnya.

Pengungsi lainnya, Ngatmi (68) menyoroti sajian makanan yang lebih spesial setiap harinya dibandingkan saat di rumah. Menurutnya penyajian menu yang bervariasi setiap saat membuatnya menikmati hidangan tersebut.

"Kalau di rumah malah mboten ngenten niki mas lawuh kaliyan sayure. Malah akeh banget nek neng kene (tidak seperti ini kalau di rumah lauk dan sayurnya. Di sini malah banyak juga porsinya)," kata Ngatmi.

Hal itu yang sejauh ini membuatnya tidak memiliki permasalahan terhadap menu makanan yang diberikan. Walaupun memang juga tidak dipungkiri, ia tetap merindukan bisa masak dan menikmati makannya sendiri di rumah.

Berbeda dengan Ponirah (68), yang kadang tak bisa tidur selama di pengungsian ketika beberapa waktu lalu baru saja tiba. Namun lama kelamaan, penyesuaian itu mulai dilakukan dengan sendirinya.

Kondisi di barak pengungsian Balai Kalurahan Glagaharjo, Cangkringan, Sleman, Rabu (11/11/2020) - (SuaraJogja.id/Hiskia Andika)
Kondisi di barak pengungsian Balai Kalurahan Glagaharjo, Cangkringan, Sleman, Rabu (11/11/2020) - (SuaraJogja.id/Hiskia Andika)

Artinya, kendati memang kenyamanan yang dirasakan jelas berbeda dengan saat tidur atau tinggal di rumah sendiri. Namun sejauh ini adaptasi yang dilakukan membuatnya bisa sedikit membantunya untuk memejamkan mata untuk beristirahat.

"Sempet mboten saged tilem wonten mriki, menawi sakmenika sampun saged (sempat tidak bisa tidur, tapi sekarang sudah bisa)," tutur Ponirah.

Ia mengaku akan tetap mengikuti langkah warga lain untuk tinggal sementara waktu lagi barak pengungsian. Ia masih mensyukuri kesempatan yang diberikan kepadanya untuk menjalani kehidupan sederhana dengan kondisi serba tak menentu.

"Disyukuri mawon mas (disyukuri saja mas)," tutupnya.

Hal serupa juga disampaikan oleh Trisno Kariyo (80). Ia mengaku sudah rindu dengan rumahnya. Kebosanan sudah dirasakan olehnya beberapa waktu terakhir, seolah sudah memuncak. Namun tidak dipungkiri, tidak banyak yang bisa dilakukan.

Ia hanya bisa pasrah dan berharap kondisi akan segera pulih dalam waktu dekat. Trisno masih akan terus bertahan dan menaati anjuran dari pemerintah untuk berada di barak pengungsian.

"Saya manut saja dengan aturan pemerintah. Kondisinya masih tidak menentu biar aman juga. Ya kangen rumah tapi saya manut saja," kata Trisno.

Kerinduan yang telah membuncah, membuat Trisno sempat nekat kembali ke rumah dalam beberapa waktu yang lalu. Alasannya sederhana, hanya untuk memanen jagung. Namun akhirnya setelah itu ia memutuskan kembali lagi ke barak pengungsian.

"Saya sempat kembali ke rumah buat manen jagung tapi terus kembali," ucapnya.

Pengungsi pulang karena isu Covid-19

Beberapa pengungsi Gunung Merapi di barak pengungsian Glagaharjo, Cangkringan, Sleman sempat memilih untuk pulang ke rumahnya masing-masing. Salah satu faktor utamanya akibat isu penyebaran Covid-19 yang sudah merebak hingga ke wilayah pengungsian.

Kasi Pemerintahan Desa Glagaharjo Heri Prasetya mengakui memang ada sebagian pengungsi yang memilih pulang ke rumahnya yang ada di Kalitengah Lor Glagaharjo, Cangkringan, Sleman. Sebagian pengungsi yang kembali mayoritas adalah orang tua yang masih memiliki anak balita.

"Sebagin memang pilih pulang ke rumah karena informasi yang beredar kalau Covid-19 sudah sampai di Glagaharjo, padahal itu hanya sebatas isu saja," kata Heri. 

Namun mengetahui hal tersebut Heri, langsung berkoordinasi dengan relawan serta pemerintah desa dalam hal ini Pak Dukuh. Langkah itu dilakukan agar dapat menjadi perhatian bagi semua pihak jika ada pengungsi yang memilih kembali ke rumahnya.

Selain itu, Heri beserta jajaranya di Desa Glagaharjo terus melakukan upaya untuk menekan angka pengungsi yang pulang ke rumahnya masing-masing. Sosialisasi yang terus dilakukan tidak jarang mendapat respon yang positif dari warga.

"Tidak lama memang pengungsi mau kembali ke barak pengungsian. Untuk lebih meyakinkan warga, kami senantiasa berkoordinasi dengan Puskesmas Cangkringan yang memang menyatakan bahwa wilayah Glagaharjo masih aman dari sebaran Covid-19," tuturnya.

Disebutkan Heri, isu merebaknya Covid-19 di Glagaharjo terjadi pada Sabtu (12/12/2020). Saat itu, beberapa pengungsi khususnya yang memiliki balita langsung memilih untuk pulang ke rumahnya. 

Namun setelah berkoordinasi lanjutan dengan Dinkes Kabupaten Sleman dan Puskesmas Cangkringan isu itu tidak terbukti kebenarannya.

Terkait dengan kejenuhan yang dialami pengungsi, Heri tidak memungkiri hal tersebut. Pasalnya hampir 7 minggu warga harus meninggalkan rumah dan aktivitas sehari-hari untuk tinggal di barak pengungsian. 

"Dilema memang tapi kami coba setiap malam untuk datangi dan ajak berkomunikasi. Intinya semaksimal mungkin membuat pengungsi bisa nyaman di sini karena memang belum ada instruksi dari pemerintah untuk kembali ke rumah," terangnya.

Pengungsi jenuh

Kejenuhan para pengungsi diakui oleh Panewu Cangkringan, Suparmono. Tidak sedikit warga yang mengeluh karena kebosanan dengan minimnya aktivitas yang dapat dilakukan di barak.

"Memang tidak dipungkiri pengungsi sudah merasa jenuh. Tapi bagaimana pun tetap kita selalu usahakan supaya bisa bertahan. Kita dibantu oleh relawan yang datang memberi hiburan," kata Suparmono.

Dijelaskan Suparmono bahwa relawan yang bertugas di sana sudah melalukan berbagai cara untuk membantu mengurangi rasa jenuh pengungsi. Mulai dari menghadirkan pertunjukan seni seperti pentas musik dan tari beberapa waktu lalu, senam sehat untuk lansia, hingga siraman rohani yang rutin diberikan oleh petugas Kantor Urusan Agama (KUA).

Kendati sudah dihibur dengan berbagai kegiatan tadi, Suparmono menyatakan bahwa semua hiburan itu dikalahkan oleh aktivitas beternak. Menurutnya dengan mengurus hewan ternak menjadi salah satu obat pengurang rasa jenuh yang paling ampuh. 

"Sekarang sebagian ternak juga telah dipindahkan ke dekat barak pengungsian. Hal itu yang jadi hiburan paling mudah ditemui oleh para pengungsi. Walaupun memang kadang tetap saja ada warga yang naik untuk mencari rumput," terangnya.

Suparmono mengatakan jumlah pengungsi selalu fluktuatif namun masih berada dikisaran angka 220 orang. Jumlah tersebut tercatat lebih banyak dari total kelompok rentan yang mengungsi yaitu 163 orang sedangkan orang dewasa sebanyak 57 orang.

Sementara untuk hewan ternak atau sapi yang telah dievakuasi ke shelter atau kandang sementara sebanyak 166 ekor. Menurutnya sampai saat ini warga masih bersedia mematuhi imbauan pemerintah dengan tetap tinggal di barak pengungsian. 

Logistik terus dipantau

Pemenuhan kebutuhan hidup para warga lereng Gunung Merapi yang hampir dua bulan menetap di barak pengungsian tetap mendapatkan perhatian. Hal itu diperlukan untuk terus menjaga para pengungsi dalam kondisi sehat.

Badan Penanggulangan Bencana (BPBD) Kabupaten Sleman memastikan logistik untuk pengungsi Gunung Merapi yang berada di barak pengungsian Glagaharjo, Cangkringan, Sleman aman hingga awal tahun baru ini.

"Logistik hingga akhir Desember ini masih aman. Dipastikan juga aman sampai awal tahun ini," kata Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik BPBD Kabupaten Sleman Makwan.

Makwan menjelaskan bahwa kebutuhan dasar masih menjadi yang paling dibutuhkan oleh para pengungsi. Mulai dari makan, air bersih, kesehatan yang terdiribmultivitamin dan segala macam untuk terus menjaga imunitas mereka.

Selama ini kebutuhan tersebut telah dipenuhi atau dipasok dari pemerintah daerah Sleman tidak hanya melalui BPBD Sleman saja melainkan dengan dinas-dinas terkait lainnya. Artinya semua pihak memang memiliki perhatian yang sama untuk membantu masyarakat di barak pengusian.

Selain dari anggaran yang telah dianggarkan dan diberikan langsung oleh pemerintah daerah sendiri berbagai pihak di luar pemerintahan pun juga turut andil. Dikatakan Makwan, selama ini juga ada donatur yang senantiasa memberikan tambahan bantuan tersebut.

Para petugas mengambilkan makanan untuk para pengungsi. (Suara.com/Angga Haksoro)
Para petugas mengambilkan makanan untuk para pengungsi. (Suara.com/Angga Haksoro)

"Bantuan dari donatur juga terus datang. Jadi para donatur yang mau menyumbangkan atau membantu para pengungsi bisa langsung menyalurkan bantuannya ke posko Balai Desa Glagaharjo. Sumbangannya dipastikan dalam bentuk barang dan kebutuhan dasar," terangnya.

Makwan menyatakan bahwa kebutuhan lansia dan balita sejauh ini semua masih tercukupi dengan baik. Artinya tidak ada kendala yang berarti kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan dasarnya.

"Lansia dan balita, sejauh ini tercukupi semua tidak ada kendala. Karena memang kebetulan mereka belum terdampak langsung. Hanya langkah ini dilakukan dalam rangka kesiapsiagaan untuk prioritas penyelamatan warga rentan terlebih dulu," tuturnya.

Tidak dipungkiri Makwan bahwa secara psikologis para pengungsi, selama kurang lebih hampir dua bulan di barak pengungsian rasa kebosanan itu mulai muncul. Namun tentu saja masih perlu diperhatikan bahwa kondisi belum memungkinkan untuk membiarkan mereka pulang.

Jadi sebisan mungkin pihak-pihak terkait senantiasa membuat para pengungsi ini menjadi nyaman kembali di barak pengungsian yang belum bisa dipastikan hingga kapan itu. Menurutnya yang terpenting yakni kesehatannya terpantau dengan baik, kebutuhan lain dan makan tercukupi semua.

"Aktivitas Merapi memang stagnan tapi masih dalam kategori tinggi. Dibuktikan dengan suara gemuruh masih terdengar. Kalau yang punya HT juga bisa memantau kondisi yang ada, atau bahkan perkembanhan aktivitas merapi juga bisa dipantau pada akun youtube BPPTKG," jelasnya.

Terkait dengan beberapa warga yang masih sering untuk kembali ke rumah, Makwan menilai itu bukan sesuatu yang sepenuhnya dilarang. Sebab warga masih mempunyai akses kendaraan dan kemampuan mobilitas yang baik sehingga hal itu dianggap wajar saja.

"Selama hanya menengok ke rumah sementara waktu atau untuk ambil sesuatu di rumah itu tidak masalah. Yang penting terpantau," ucapnya. 

Makwan menambahkan anggaran yang digelontorkan BPBD Sleman untuk logistik mencapai sekitar Rp.400 juta perbulan. Sejauh ini, kata Makwan, dengan anggaran sebesar itu tidak ada keluhan tentang kurangnya logistik di barak pengungsian. 

Anggaran yang paling banyak diserap di dapur umum itu masih mencukupi persediaan logistik yang dibutuhkan. Sebab ditambah pula dengan adanya bantuan dar masyarakat yang juga dapat mengurangi pembelanjaan. 

Terpisah, Kepala Bidang (Kabid) Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Sleman, Wisnu Murti Yani, mengatakan bahwa terdapat pendampingan khusus bagi para pengungsi khususnya lansia yang ada di barak pengungsian. Selain tempat tinggal sementara yang dibuat senyaman mungkin, makanan dan kontrol gizi jadi kunci utama menjaga kesehatan mereka.

"Kebutuhan balita dan lansia selalu dipantau. Seperti berat badan, kesehatan dan makanan yang dikonsumsi setiap harinya," ujar Wisnu.

Wisnu menjelaskan bahwa makanan dan gizi untuk bayi dan lansia memang menjadi perhatian secara khusus juga. Sebab jika tidak justru malah dapat menyusahkan para pengungsi yang ada sehingga membuat mereka tidak betah dan memilih untuk pulang.

Sejauh pemantauan yang telah dilakukan, saat awal memang masih ditemui beberapa kendala terkait khususnya makanan. Kadang hal-hal seperti pemotongan sayur yang masih terlalu besar juga menyulitkan para lansia.

Namun seiring berjalannya waktu, dengan bimbingan teknis (bimtek) yang dilakukan kepada para relawan proses pengolahan makanan pun menjadi lebih baik. Lansia pun kini sudah lebih nyaman dengan masakan yang disajikan oleh para relawan.

"Pengolahan makanan itu penting untuk diperhatikan bagi para lansia agar mereka juga bisa menelan dan mencerna dengan baik. Memang sempat kami temui, keluhan itu waktu awal-awal di barak lalu tapi sekarang sudah baik," ucapnya.

Pengolahan sendiri, kata Wisni tetap berjalan di satu dapur umum yang sama. Hanya saja sekarang semua lebih mengerti dan bisa menyesuaikan apa yang dibutuhkan para pengungsi.

Selain makanan yang telah disajikan secara baik oleh para relawan. Disebutkan, terkhusus untuk bayi akan mendapat makanan instan sebagai tambahan untuk berjaga-jaga jika sewaktu-waktu dibutuhkan.

"Makanan instan itu diserahkan langsung kepada para ibu. Kalau instan kan cuma minta air panas. Jadi bisa dikelola ibu sendiri sesuai keinginan dan kebutuhan sang bayi," sebutnya.

Pihaknya juga telah melihat kesediaan sumber air, kualitas airnya, kebutuhan pokok lain, serta dapur umum di barak pengungsian beberapa waktu lalu. Semuanya kini telah berjalan dengan baik untuk mencukupi kebutuhan para pengungsi. 

Wisnu menyebut jika lansia yang ada di barak pengungsian itu bukan membutuhkan posyandu. Melainkan pendampingan secara khusus dengan bekerja sama dengan relawan yang ada. 

Kondisi warga di pengungsian Balai Kalurahan Glagaharjo, Kapanewon Cangkringan, Kabupaten Sleman, Minggu (8/11/2020). - (SuaraJogja.id/Uli Febriarni)
Kondisi warga di pengungsian Balai Kalurahan Glagaharjo, Kapanewon Cangkringan, Kabupaten Sleman, Minggu (8/11/2020). - (SuaraJogja.id/Uli Febriarni)

Para lansia nanti akan diajak untuk berkegiatan supaya mengurangi rasa jenuh saat berada di pengungsian dalam waktu yang cukup lama. Semisal senam sehat di pagi hari serta kegiatan lainnya. 

Hal itu berlaku juga kepada balita yang berada di barak pengungsian. Sudah seharusnya ada penanganan khusus dengan penyesuaian balita di tempat yang memang masih asing bagi mereka.

"Jadi memang penanganan khusus itu lebih dari sekadar menjalankan posyandu saja. Namun lebih dari itu. Walaupun untuk pelayanan posyandu semacam pengecekan bagi balita segala macam sudah berjalan juga dalam beberapa waktu," tuturnya.

Lebih lanjut terkait posyandu memang kondisinya akan selalu fleksibel. Artinya petugas juga akan menyesuikan dengan keadaan yang ada. Namun memang hal itu sudah mulai berjalan.

Mengantisipasi lonjakan pengusi jika memang terjadi hal-hal yang tidak diinginakn, pihaknya juga telah berkoordinasi dengan berbagai instansi terkait. Selain itu telah dipersiapkannya posko-posko pengungsian yang lebih dari satu juga akan mempermudah penugasan atau pemantauan tersebut.

"Anggaran desa masing-masing nanti bisa digunakan selain kita juga ada anggaran sendiri. Kalau kita total anggaran untuk kesehatan masyarakat (kesmas) kemarin mencapai Rp. 25 juta lebih. Komplit untuk segala macam teknis yang dibutuhkan. Terkait juga pemberian makanan tambahan (pmt) berupa telur dan abon," ungkapnya.

Ditambahkan Wisnu bahwa koordinasi terus dilakukan dengan dinas-dinas terkait lainnya. Sebagai langkah antisipasi dari terjadinya penganggaran dana yang ganda atau overlap dalam menjalankan tupoksi masing-masing. 

Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Yogyakarta terhitung sejak Kamis (5/11/2020) lalu menaikkan status aktivitas Gunung Merapi Waspada (Level II) menjadi Siaga (Level III). Seiring dengan peningkatan status itu, sekaligus ditetapkan bahwa radius bahaya akibat erupsi Gunung Merapi menjadi 5 km dari puncak. 


Hampir delapan pekan berlalu sejak penetapan kenaikan status tersebut, Gunung Merapi masih belum menunjukkan aktivitas yang begitu besar. Justru dalam beberapa waktu terakhir BPPTKG mencatat terjadi penurunan aktivitas Gunung Merapi dalam periode pemantauan yang dilakukan pada 3-17 Desember 2020 lalu.

Merapi masih mengancam

Kepala BPPTKG Hanik Humaida, menyebut kondisi Gunung Merapi saat ini bisa dibilang terus menunjukkan peningkatan aktivitas. Hal ini tampak dari deformasi Gunung Merapi yang terus terjadi dengan besaran yang fluktuatif. Beberapa waktu lalu bahkan sempat tercatat penuruan dari rata-rata 12 cm menjadi 9 cm. 

Lebih jauh, ia menyebutkan bahwa saat ini magma masih terus berjalan menuju permukaan.

"Tidak semata-mata ancaman bahaya tidak ada. Magma juga masih terus berjalan ke permukaan, dapat dilihat salah satunya dari deformasi yang masih berlangsung," tuturnya.

Hal-hal itu yang membuat sampai saat ini BPPTKG belum bisa memprediksi bahkan memastikan kapan tepatnya gunung api yang berada di perbatasan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Jateng itu bakal melangsungkan erupsinya. Begitu juga dengan pertimbangan penurunan status Merapi dari Siaga kembali ke Waspada belum akan dilakukan.

Pengamatan yang dilakukan BPPTKG melalui satelit juga menunjukkan perubahan morfologi kawah dinding Gunung Merapi. Perubahan itu terus saja terjadi akibat dari proses guguran atau runtuhan sisa kubah lava yang ada.

Dipaparkan perubahan morfologi itu terjadi dalam beberapa bentuk mulai dari pengangkatan permukaan kawah, lalu ada juga dengan rekahan di tebing dan dinding kawah yang semakin melebar. Serta masih ditambah dengan perubahan morfologi karena intensitas guguran yang tinggi.

Dengan kondisi Merapi yang masih fluktuatif tersebut, Hanik meminta pengungsi untuk tetap bersabar. Sebab, ia tekankan meskipun aktivitas Merapi naik turun namun potensi bahaya masih tetap sama.

"Karakter antara erupsi Merapi dari tahun ke tahun antara yang satu dengan yang lain tentu tidak sama. Sampai sekarang masih terus kita pantau. Semoga masyarakat bisa bersabar," kata Hanik.

Gunung Merapi keluarkan guguran material diduga lava pijar, Senin malam (4/1/2021). [Antara/Ho/BPPTKG]
Gunung Merapi keluarkan guguran material diduga lava pijar, Senin malam (4/1/2021). [Antara/Ho/BPPTKG]

Hanik menerangkan bahwa erupsi efusif Gunung Merapi memang memiliki waktu yang lebih lama jika dibanding dengan erupsi eksplosif. Sebagai contoh dari letusan tahun 2006 dan 2010 silam.

Saat itu, kata Hanik, pada letusan tahun 2006 status Siaga yang diberikan kepada Merapi berlangsung selama satu bulan terhitung sejak 12 April. Baru pada tanggal 13 April 2006 status Merapi naik menjadi Awas dan bertahan selama dua bulan lamanya.

Berbeda juga dengan erupsi tahun 2010 lalu yang status Siaga hanya berlangsung selama lima hari saja. Status Awas yang disandang Merapi saat itu dimulai pada 25 Oktober dan masih berlangsung selama satu bulan. Kemudian akhirnya diturunkan menjadi Siaga kembali pada 3 Desember 2020.

Hanik pun kembali menegaskan bahwa BPPTKG berdasarkan hasil pengamatan visual dan instrumental tetap disimpulkan bahwa aktivitas vulkanik Gunung Merapi masih tinggi. Jadi belum ada rencana untuk penurunan status aktivitas tersebut dari siaga.

"Potensi bahaya saat ini masih berupa guguran lava, lontaran material vulkanik bila terjadi letusan eksplosif hingga awan panas sejauh maksimal 5 Kilometer," pungkasnya.

Liputah khas ini ditulis oleh reporter SuaraJogja.id Hiskia Andika Weadcaksana

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak