SuaraJogja.id - Rencana Pemerintah Provinsi DI Yogyakarta untuk memperpanjang Pengetatan secara Terbatas Kegiatan Masyarakat (PTKM) mendapat sorotan tajam dari berbagai kalangan buruh.
Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) Korwil DIY memandang, Instruksi Gubernur DIY nomor 2/INSTR/2021 itu membuat kegiatan masyarakat, mulai dari keagamaan, sosial, hingga ekonomi, kembali terkurung.
Ketua SBSI Korwil DIY Dani Eko Wiyono menyebutkan, pemerintah mengambil kebijakan itu tanpa memandang jelas kondisi masyarakat saat ini, terutama kalangan buruh.
Ia menilai, penerapan aturan 50 persen Work Form Office (WFO) dan 50 persen Work From Home (WFH) tidak selaras dengan kebijakan untuk kesejahteraan buruh. Adanya skema tersebut, kata dia, tentu mempengaruhi pendapatan yang diperoleh buruh.
Baca Juga:Ikuti Pusat, Pemda DIY Bakal Perpanjang PTKM
"UMR yang tidak seimbang dengan kebutuhan hidup layak seorang pekerja yang tinggal di Jogja, skema ini tentu makin merugikan. Dampak pandemi sudah sangat menyakiti pekerja sejak tahun 2019, hingga kini belum menerapkan aturan yang pro terhadap pekerja, tentu ini hal yang menyedihkan," jelas Dani, dihubungi wartawan, Kamis (21/1/2021).
Dani mengungkapkan, akibat dari menurunnya pendapatan buruh, tentu daya beli masyarakat menurun, apalagi harga kebutuhan primer dan sekunder sama sekali tidak mengalami penurunan.
Selain itu, upaya pemerintah dalam memberikan bantuan langsung kepada buruh dianggap belum memberi manfaat. Pasalnya, persyaratan penerima bantuan berbanding terbalik dengan kondisi nyata, di mana banyak masyarakat bekerja di sektor informal.
"Sistem pengupahan berdasarkan satuan hasil dan satuan waktu membuat pengurangan upah makin mungkin terjadi di sektor pekerjaan informal. Hal itulah yang selama ini belum ditangkap pemerintah sebagai "alarm" yang perlu diperhatikan," kata dia.
SBSI, kata Dani, ikut menyoroti penerapan jam operasional sektor usaha dan perdagangan yang tidak rasional, tetapi sengaja dipaksakan sebagai formalitas.
Baca Juga:Langgar Aturan PTKM, 28 Tempat Usaha di Bantul Ditutup Sementara
Sektor usaha dan perdagangan seperti warung makan dan kuliner hanya dibatasi melayani pelanggan mulai dari pukul 10.00 WIB hingga 19.00 WIB.
"Sepertinya yang buat aturan ini belum pernah merasakan langsung menjadi pedagang kaki lima. Apa perlu dibuat program 'tukar nasib' agar mereka tahu bagaimana susahnya berjuang demi sesuap nasi untuk esok hari?" terangnya.
Aturan pengetatan pelaku usaha pun dianggap tidak serius dan tebang pilih. Selama lebih sepekan instruksi itu dilakukan, Dani masih menemukan pelaku usaha maupun pedagang yang masih melayani pembeli meskipun sudah melebihi jam buka yang ditentukan..
Hal ini dianggap memprihatinkan, melihat antusiasme masyarakat untuk bangkit, tetapi dipatahkan oleh aturan formalitas.
Dani mengingatkan, jika ingin dihargai, pemerintah harus mulai mendisiplinkan diri mereka sendiri.
"Pemerintah itu kan digaji dari pajak yang dibayarkan oleh rakyat. Jika memang kerja melayani rakyat, ya harus serius. Jangan semuanya formalitas dan pencitraan media saja. Rakyat tak butuh itu," ungkapnya.