SuaraJogja.id - Menanggapi kasus empat terduga teroris yang diamankan Densus 88 Antiteror Mabes Polri di Kabupaten Bantul, Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Bantul mengajak masyarakat tak memahami agama secara parsial. Pihaknya mendorong moderasi dalam beragama dapat diaplikasikan di tengah masyarakat.
Kegiatan tersebut digelar dengan pemaparan Materi Pembinaan Komunikasi Cegah Tangkal Radikalisme/Separatisme Kodim 0729/Bantul SMT 1 TA 2021 di Aula Makodim, Selasa (6/4/2021) pagi.
Dalam kegiatan itu, hadir sejumlah tokoh masyarakat dari berbagai Kapanewon di Bantul, anggota TNI serta Paksi Katon. Kegiatan yang diinisiasi oleh Kodim 0729/Bantul itu menghadirkan pemateri dari Kantor Kemenag Bantul.
Kassubag Tata Usaha (TU) Kantor Kemenag Bantul Basori Alwi, dalam pemaparannya, menyebut bahwa terduga teroris merupakan orang yang tidak mendapatkan pemahaman agama yang baik sesuai kaidah. Selain itu, terduga teroris yang erat kaitannya dengan radikalisme tak memiliki pemahaman akan berbangsa yang baik.
Baca Juga:Pasca Aksi Teror, 6 Orang Terduga Teroris di Jateng Ditangkap Densus 88
"Biasanya orang yang terlibat dengan isu ini (terduga teroris) tidak mendapat pencerahan agama yang tidak pas. Dia belajar secara parsial, belajar dari kelompok yang sebaya, bukan dari kiayi yang berkompeten atau bisa saja belajar agama sendiri dan tidak mau melihat ilmu lainnya secara luas," terang Basori ditemui wartawan di Makodim 0729/Bantul, Selasa.
Dirinya menganalogikan jika agama itu seperti menikmati gulai. Dimana sejumlah bahan seperti gula, garam, daging, santan rempah-rempah hingga laos dimasukkan dalam wajan besar.
"Ketika kita menerima secara keseluruhan, akan terasa enak. Tapi saat kita mendapati laos misalnya yang dikira daging, jika pandangannya parsial, akan menganggap gulai itu pengar. Agama juga seperti itu, ada yang tegas, ada yang rahmatan lil alamin," ujar dia.
Sehingga, kata Basori, jika diramu dalam konteks kebersamaan dan dalam wawasan kebangsaan, serta mendapat pencerahan dari guru atau kiayi yang benar. Hal itu akan menciptakan pemahaman agama yang baik.
Radikalisme bagi Basori adalah dasar paham yang dibuat oleh sekelompok orang yang berencana merubah dan pembaharuan sosial politik, menggunakan cara penekanan serta ketegangan yang pada akhirnya mengakibatkan kekerasan.
Baca Juga:Densus 88 Pulangkan Anak Kecil yang Bawa Pistol Mainan di Sukabumi
"Adapun ciri-cirinya, mengutip dari Masduqi, bahwa radikalisme selalu mengklaim kebenaran tunggal dan menyesatkan kelompok lain yang tak sependapat. Selain itu mempersulit agama Islam. Padahal agama itu mempermudah. Bahkan, mereka menganggap ibadah Sunnah seakan wajib dan makruh seakan haram," jelasnya.
Ciri lainnya, seseorang yang terpapar radikalisme, mudah berburuk sangka dengan kelompok lain, berlebihan dalam beragama serta mudah mengkafirkan yang berbeda pendapat.
Basori melanjutkan banyak upaya yang bisa dilakukan untuk menekan isu tersebut agar tak menyesatkan masyarakat dan terjerumus ke dalam radikalisme. Pertama perkuat pilar kebangsaan yaitu memahami Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI, serta UUD 1945.
"Kedua adalah moderasi beragama. Cara mengamalkan dengan cara yang baik dimana pemahaman tidak terlalu kanan dan juga tidak ke kiri. Selain itu mampu merawat kebhinekaan (perbedaan). Dengan moderasi beragama ini tidak terlalu ekstrem kanan atau kiri," ucap Basori.
Moderasi beragama kata Basori memiliki tiga prinsip dasar yang cukup penting, yaitu, berimbang, toleran serta adil.
"Hasil dari moderasi beragama ini adalah toleransi. Dimana memahami ditengah bagaimana cara beragama, sehingga muncul pemahaman akan perbedaan yang ada di tengah masyarakat," jelas dia.
Adapun tolak ukur yang bisa terlihat dari seseorang yang memahami moderasi beragama. Seseorang akan memahami nilai kemanusiaan dan saling mengerti.
Selanjutnya, paham dan bersepakat dengan keterbatasan dan keyakinan orang lain. Orang tersebut juga akan memberi penghormatan ke sesama orang dengan keyakinan yang berbeda.
"Langkah dari Kemenag sendiri, kami menerjunkan penyuluh dari tingkat kecamatan yang jumlahnya berbeda-beda. Dari 8-10 orang tiap kecamatan yang membina warga masyarakat. Semua kegiatan dan materi yang kami berikan berdasarkan moderasi beragama itu," jelas Basori.
Hal itu tentu harus ada pemahaman dan kemauan dari masyarakat untuk menghindari radikalisme. Menurut Basori banyak hal yang bisa dilakukan masyarakat, seperti, meningkatkan kembali wawasan kebangsaan. Masyarakat perlu memahami hingga mengamalkan agama secara komprehensif.
"Warga harus sadar dengan adanya konflik atau pemberontakan hingga terorisme ini tak akan menguntungkan bangsa. Berpikir optimis juga penting, dan amalkan dasar kebangsaan mulai dari Pancasila, Kebhinekaan, NKRI termasuk UUD 1945," jelas dia.
Ia melanjutkan, jika masyarakat juga perlu membuat narasi kerukunan yang intinya memanfaatkan narasi itu lewat digitalisasi.
"Terakhir, jadilah orang yang solutif. Jangan jadi troublemaker. Jika kita tidak ada keberadaan kita dicari untuk membantu mencari solusi. Nah itulah konsep rahmatan lil alamin," ujar dia.