Kisah Ustaz Abu Dirikan Ponpes Tunarungu, Cetak Hafidz Pakai Bahasa Isyarat

Metode Ustaz Abu untuk mencetak hafidz Al-Quran bagi tunarungu menggunakan bahasa isyarat

Galih Priatmojo | Hiskia Andika Weadcaksana
Rabu, 12 Mei 2021 | 08:46 WIB
Kisah Ustaz Abu Dirikan Ponpes Tunarungu, Cetak Hafidz Pakai Bahasa Isyarat
Ustaz Abu Kahfi bersama dengan beberapa santri yang masih berada di Pondok Pesantren Rumah Tahfidz Tunarungu Darul A’Shom yang berada di Dusun Kayen, Desa Condongcatur, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Selasa (11/5/2021). [Hiskia Andika Weadcaksana / SuaraJogja.id]

SuaraJogja.id - Keterbatasan kondisi fisik seseorang bukan menjadi penghalang untuk bisa lebih mendekatkan diri dengan Tuhan Yang Maha Kuasa. Prinsip inilah yang coba diaplikasikan oleh pengasuh Pondok Pesantren Rumah Tahfidz Tunarungu Darul A’Shom yang berada di Dusun Kayen, Desa Condongcatur, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman.

Sesuai dengan namanya, ponpes ini digunakan oleh semua santri tunarungu atau keterbatasan seseorang terkait dengan masalah pendengaran. Para santri itu datang dari berbagai daerah dengan berbagai latar belakang, usia, hingga pemahaman yang berbeda satu sama lain.

Adalah Ustaz Abu Kahfi, pria berusia 47 tahun yang menjadi pendiri sekaligus pengasuh di ponpes Rumah Tahfidz Tunarungu Darul A'Shom tersebut.

Ustaz Abu menjelaskan bahwa ponpes ini sudah berdiri sekitar 1,5 tahun silam atau tepatnya pada 19 September 2019. Berdirinya ponpes bagi anak-anak tunarungu itu bertepatan dengan kepindahan pria asal Bandung itu ke Yogyakarta.

Baca Juga:Kisah Warga Lapas Cebongan Mencari Tuhan, 4 Bulan Mualaf Ingin Jadi Hafidz

"Awal berdirnya itu pada 19 September 2019. Ponpes ini berdiri di Bantul, jadi sekitar satu setengah tahun yang lalu," kata Ustaz Abu saat ditemui SuaraJogja.id, di Rumah Tahfidz Tunarungu Darul A’Shom, Selasa (11/5/2021).

Lebih jauh sebelum ponpes ini berdiri, Ustaz Abu menceritakan bahwa sudah lebih dari 11 tahun rencana mengurus anak-anak tunarungu itu muncul. Bukan tanpa alasan, ia merasa resah dengan sejumlah anak tunarungu dengan pemahaman agama yang ternyata masih sangat minim.

Pertemuan dengan dua orang anak tunarungu di Jakarta beberapa tahun silam itu seolah menjadi pengetuk pintu hati Ustaz Abu untuk melakukan sesuatu. Benar saja, kedua anak tunarungu itu lantas diajak oleh dia menuju pondok pesantren tempatnya mengajar dulu yang berada di Bandung.

 Ustaz Abu Kahfi bersama dengan beberapa santri yang masih berada di Pondok Pesantren Rumah Tahfidz Tunarungu Darul A’Shom yang berada di Dusun Kayen, Desa Condongcatur, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Selasa (11/5/2021). [Hiskia Andika Weadcaksana / SuaraJogja.id]
Ustaz Abu Kahfi bersama dengan beberapa santri yang masih berada di Pondok Pesantren Rumah Tahfidz Tunarungu Darul A’Shom yang berada di Dusun Kayen, Desa Condongcatur, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Selasa (11/5/2021). [Hiskia Andika Weadcaksana / SuaraJogja.id]

Dari situ, interaksi antara Ustaz Abu dan anak-anak tunarungu mulai terbangun. Pada awalnya memang ia tidak langsung mengarahkan anak-anak tunarungu itu untuk mengenal agama.

"Waktu itu dibawa ke pondok dulu untuk latihan olahraga dan sebagainya. Hingga akhirnya terus menerus berinteraksi satu sama lain," tuturnya.

Baca Juga:Disuntik Vaksin, Bupati Rembang Abdul Hafidz: Lebih Sakit Ditampar Istri

Komunikasi yang mulai terbentuk itu menjadi bahan pelajaran juga oleh Ustaz Abu untuk mulai memperdalam bahasa isyarat. Tujuannya agar mereka bisa saling memahami satu sama lain dengan baik.

"Memang awalnya saya bisa bahasa isyarat pun dari mereka [anak-anak tunarungu]. Akhirnya setelah sering berinteraksi kurang lebih sebulan kemudian sudah bisa bahasa isyarat. Bulan kedua saya sudah mengadakan pengajian rutin di rumah setiap minggu," ungkapnya.

Ustaz Abu mengatakan seiring berjalannya waktu ia mulai menyadari bahwa anak-anak tunarungu itu sudah masuk ke dalam usia dewasa. Sehingga muncul pemikiran, alangkah lebih baik jika anak-anak tunarungu di usia mudah sudah mendapat pendidikan agama itu lebih awal.

"Memang di sekolah-sekolah pun diajarkan kurikulum itu tapi tidak sampai ke mereka sebab bukan menggunakan bahasa isyarat. Terbatas sekali bisa dipahami," ujarnya.

Singkatnya, Ustaz Abu yang kebetulan sedang menghadiri banyak kegiatan di Yogyakarta dan Semarang mencetuskan ide untuk membuat pondok pesantren bagi anak-anak khusus tunarungu.

Dengan mencari rumah kontrakan yang gunakan sebagai tempat ponpes tersebut, hingga akhirnya ada seorang teman yang meminjamkan rukonya di kawasan Bantul. Belum banyak memang saat itu santri yang tergabung dalam ponpes.

"Saya pakai [ruko itu] hingga enam bulan, dengan sudah ada 15 orang [yang tergabung dalam ponpes itu], dua orang perempuan dan 13 laki-laki," terangnya.

Disebutkan Ustaz Abu, semakin lama ternyata semakin banyak orang yang mengetahui tentang keberadaan ponpes tersebut. Hingga kemarin saat bulan ramadhan tiba banyak orang yang mencari tahu lebih lanjut.

"Alhamdulillah dari rentan waktu 1,5 tahun ini anak kami sudah 59 orang. Sekarang lagi liburan tersisa 9 orang yang masih di pondok. Ditambah masih ada 28 orang yang mendaftar baru. Sehingga jika dijumlahkan sudah sekitar 80an orang," jelasnya.

Semakin bertambahnya santri membuat tempat awal yang berada di Bantul juga semakin sesak. Maka dari itu diputuskan empat bulan yang lalu ponpes tersebut berpindah ke Sleman atau tempat yang sekarang ini ditempati.

"Akhirnya ada kontrakan dua rumah di Sleman, dan berbuah dua rumah yang dihibahkan oleh sang pemilik rumah kontrakan untuk digunakan. Ada 3 rumah di sini [Depok] dan 1 di Kalasan itu untuk 13 tahun ke atas yang laki-laki," ucapnya.

Lebih lanjut, Ustaz Abu menuturkan dari puluhan santri yang bergabung dalam ponpes tersebut sebanyak 20 persen berasal dari DIY dan sekitarnya semisal Solo dan Klaten. Sedangkan 80 persen santrinya berada di luar provinsi, mulai dari Medan, Kalimantan, Riau, Batam, Lampung, Karimun, Bali, dan Jabodetabek.

"Alhamdulillah tersebar hampir mewakili semua provinsi. Daftar terbaru ada yang dari Ternate," imbuhnya.

Mengaji pakai bahasa isyarat

Berkumpulnya anak-anak tunarungu yang berasal dari berbagai daerah itu ke Ponpes Tunarungu Darul A’Shom bukan tanpa alasan.

Menurut Ustaz Abu, alasan yang jelas diketahui adalah belum adanya pendidikan agama atau pondok bagi anak-anak tunarungu tersebut. Selain itu pihaknya juga baru memperkenalkan konsep mengaji dengan bahasa isyarat seperti yang digunakan di negara-negara Arab.

"Nah di Indonesia belum ada, maka kita kenalkan. Maka mereka [orang tua] jauh-jauh datang ke sini dengan harapan ingin anak-anaknya hafidz Al-Qur'an dengan bahasa isyarat. Meskipun mereka tunarungu ada harapan untuk menjadi hafiz Al-Qur'an," ujarnya.

Bahkan dengan tingkat kesulitan bahasa isyarat yang lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan ucapan biasa, saat itu sudah ada santri yang hafal dua juz.

Selain mengajarkan tahfidz Al-Qur'an, pihaknya juga mengajarkan fikih, ahli bahasa hingga pendidikan formal.

"Mereka yang belajar di sini nanti dibekali juga ijazah paket A, B, C sehingga mereka disetarakan dengan yang umum. Ujiannya kan sama dengan yang umum bukan SLB," terangnya.

Ajarkan otodidak

Selain otodidak dan panggilan dari hati nurani melihat kondisi anak-anak tunarungu. Ustaz Abu menyebut juga belum pernah menemukan ustaz lain yang menggunakan bahasa isyarat.

"Awalnya ya memang otodidak tadi dengan panggilan saya yang tidak tega melihat tunarungu tidak kenal agama. Belum lagi ditambah belum pernah menemukan ustaz yang bisa menggunakan bahasa isyarat," tambahnya.

Ustaz Abu menilai anak-anak tunarungu itu sudah dipastikan mendapat pengetahuan dari cara-cara lain. Tentunya bukan dengan pendengaran tetapi penglihatan.

Terketuknya hati Ustaz Abu itu dibarengi dengan keinginan untuk terus menambah kemampuan dalam diri. Terkhusus dalam mendalami bahasa isyarat.

"Jadi kalau dia [anak-anak tunarungu] melihat orang ceramah belum mengerti. Kalau mereka melihat orang ceramah dengan bahasa isyarat baru mereka paham. Dari situ saya terpanggil, untuk menambah kemampuan diri untuk berbahasa isyarat dan Alhamdulillah selain saya, ada anak istri, hingga mantu yang juga bisa menggunakan bahasa isyarat," paparnya.

Jadi menurut pengakuan Ustaz Abu, ia juga mengajarkan bahasa isyarat itu kepada keluarga dan sanak saudaranya. Tujuannya agar dapat ikut membantu pengasuhan dan pengajaran di ponpes itu.

Alhasil sekarang sudah bukan hanya ia seorang saja yang menjadi pengasuh di ponpes. Melainkan terdapat istri, anak-anaknya hingga mantunya pun ikut membantu.

"Ada juga murid dari Bandung. Kalau dijumlahkan total pengajar ada 9 orang dan sisanya pelayan di sini mulai dari memasak, bersih-bersih hingga nyuci dan sebagainya," jelasnya.

Pasalnya diakui Ustaz Abu, jika memang tidak demikian, Sumber Daya Manusia (SDM) masih menjadi kendala yang selama ini sulit untuk dipecahkan. Sebab tidak mudah untuk menemukan seseorang dengan kemampuan bahasa isyarat dengan latar belakang agama yang baik pula.

"Jadi mau tidak mau tantangan kami ini adalah untuk meregenerasi dari keluarga temen yang mau belajar," tegasnya.

Padahal jika ditilik ke belakang, Ustaz Abu dan beberapa keluarganya itu sendiri juga tidak memiliki latar belakang untuk pengajaran semacam ini. Hanya ada mantunya yang merupakan dosen di UNY membidangi Pendidikan Luar Biasa (PLB).

"Kalau saya sendiri backgroundnya dulu umum kuliah di Komunikasi, dulu di pondok, juga ngaji biasa. Tapi Alhamdulillah terakhir itu saya pernah membawa jamaah umroh di salah satu travel yang besar di Indonesia. Dari situ saya bolak-balik Madinah-Indonesia itu dulu sebulan sekali, dua bulan sekali, paling lama tiga bulan sekali. Jadi di sana sering ketemu dengan orang tunarungu yang basicnya bahasa Arab sehingga saya termotivasi," katanya.

Ustaz Abu yang termotivasi itu akhirnya mengambil metode komunikasi tersebut untuk selanjutnya diperkenalkan di Indonesia.

Metode belajar 

Mengenai pembelajaran yang dilakukan di ponpes ini, kata Ustaz Abu, jelas memiliki perbedaan tersendiri. Nantinya penyampaian setiap materi akan lebih disederhanakan.

Sehingga memang penyampaian materi itu dapat dipahami dan ditangkap oleh kemampuan masing-masing dari anak yang bersangkutan.

Hal itu berpengaruh kepada sistem pengelompokan anak-anak atau para santri. Berbeda dengan kelas pada umumnya, di ponpes ini siswa dikelompokkan berdasarkan kemampuan masing-masing bukan umur.

"Di sini kelas mereka bukan kelas umur tapi kelas kemampuan. Kadang-kadang siswa yang berumur 12 tahun dan 6 tahun bersamaan karena kemampuan intelektual sama," ujarnya.

Menurutnya kemampuan berbahasa atau kosakata yang masih minin dari yang bersangkutan berpengaruh pada pengetahuan yang dimiliki. Begitu pula sebaliknya, jika kosakata makin banyak nantinya pengetahuan juga semakin mudah disampaikan atau diserap.

Sehingga memang program yang ada ponpes tunarungu ini yang pertama adalah Tahfidz Al-Qur'an. Sebab Tahfidz Al-Qur'an tidak menuntut kemampuan berbahasa lebih banyak atau lebih pintar.

 Ustaz Abu Kahfi bersama dengan beberapa santri yang masih berada di Pondok Pesantren Rumah Tahfidz Tunarungu Darul A’Shom yang berada di Dusun Kayen, Desa Condongcatur, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Selasa (11/5/2021). [Hiskia Andika Weadcaksana / SuaraJogja.id]
Ustaz Abu Kahfi bersama dengan beberapa santri yang masih berada di Pondok Pesantren Rumah Tahfidz Tunarungu Darul A’Shom yang berada di Dusun Kayen, Desa Condongcatur, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Selasa (11/5/2021). [Hiskia Andika Weadcaksana / SuaraJogja.id]

Melainkan yang terpenting anak tersebut berkeinginan ikut belajar Al-Qur'an. Nantinya anak tersebut diyakini akan tetap bisa hafal.

Setelah hafidz Al-Qur'an mereka akan sedikit demi sedikit diajari lebih lanjut mengenai bahasa. Hingga nanti bahasa yang dipahami bisa setara dengan umum atau hampir setara dengan umum.

Sehingga bisa mencerna keilmuan yang lain, mulai dari fikih, akhlak dan ilmu-ilmu yang lain.

"Bahasa kan jembatan ilmu, kalau anak tidak bisa berbahasa sudah dipastikan ilmunya tidak sampai ke mereka. Pembelajaran di luar negeri yang basicnya inggris kan foundationnya aja setahun untuk bahasa inggrisnya dulu. Begitu pun kita juga sama kita pun mengajarkan ilmu ke mereka ilmunya diperbaiki dulu," ungkapnya.

Saat ini rentan usia para santri yang tergabung dalam ponpes tunarungu Darul A’Shom adalah 7 tahun hingga 28 tahun.

Ditanya mengenai pembekalan dengan keahlian khusus, Ustaz Abu menyebut akan tetap dimasukkan dalam program ke depan. Saat ini pihaknya tengah berkonsentrasi terkait Al-Qur'an dan kemandirian yang terus diasah.

"Sehingga nanti saat kemampuan kemandiriannya bagus, sudah mandiri baru kita diarahkan ke ketrampilan khusus untuk bekal nanti di kehidupan. Ada nanti InsyaAllah, nanti di pertanian akan dibina juga, peternakan, ada kolaborasi gitu. Selain hafal Al-Qur'an juga bisa wirausaha tidak tergantung dengan orang seperti itu," tegasnya.

Disinggung mengenai biaya operasional yang dibutuhkan oleh ponpes sendiri, Ustaz Abu menuturkan selama ini semua dilakukan secara mandiri. Dalam artian dana yang masuk dari para santri yang juga seikhlasnya itu dikelola sendiri.

"Kami dari awal untuk pembiayaan terutama kita lakukan secara mandiri. Dalam artian kita mengelola dana dari santri seadanya, santri kemampuan seikhlasnya berapa, tidak ada iuran SPP yang tetap nilainya," ujarnya.

Selain itu hingga saat ini juga belum ada donatur tetap yang rutin memberikan bantuan. Kendati begitu tetap ada sejumlah donatur yang secara suka rela memberikan bantuan sewaktu-waktu.

"Prinsip dari awal sampai sekarang InsyaAllah sampai nanti kita tidak belajar meminta tapi menerima yang diberikan. Baik itu meminta melalui proposal atau melalui apapun caranya, kami Insya Allah diusahakan tidak meminta tapi kita menerima bantuan dari siapapun," tegasnya.

Ustaz Abu berharap konsep pembelajaran Al-Qur'an dengan bahasa isyarat dan bersama anak-anak tunarungu dapat cepat tersosialisasi di Indonesia. Sehingga anak-anak tunarungu dapat tetap belajar agama sejak dini dengan mudah.

Selain itu, diharapkan juga akan lahir pondok-pondok pesantren yang serupa. Agar nantinya ada standarisasi bagi anak-anak tunarungu ini dengan lebih tersusun

"Yang jelas konsep seperti ini akan berstandar sampai ke negara Arab sana. Jadi saat pindah ke Arab anak juga bisa tetap melanjutkan [pembelajaran]. Sebelum kita membuka cabang lain, kita akan membesarkan pondok ini dulu di Jogja sehingga bisa menjadi pusat pembelajaran tunarungu se-Indonesia," pungkasnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak