Level Kematian Akibat Covid-19 di Sleman Ekstrim, Dua Hari 15 Pasien Tewas

Dinkes Sleman menyebut tingkat kematian akibat Covid-19 di wilayahnya sangat memprihatinkan. Hal ini dipicu pasien OTG yang tak taat prokes

Galih Priatmojo
Rabu, 19 Mei 2021 | 18:15 WIB
Level Kematian Akibat Covid-19 di Sleman Ekstrim, Dua Hari 15 Pasien Tewas
Ilustrasi COVID-19 (Unsplash/Martin Sanchez)

SuaraJogja.id - Dinas Kesehatan Sleman menyebut angka kematian akibat COVID-19 di Kabupaten Sleman sudah memprihatinkan. Tercatat, angka kematian di bumi sembada mencapai 2,85%.

Hal itu dikemukakan oleh Kepala Dinas Kesehatan Sleman Joko Hastaryo, yang diikuti dengan dibeberkannya data bahwa, selalu ada penambahan kematian akibat COVID-19 di Sleman, per harinya.

Bahkan, ada satu masa di mana Sleman memiliki 3 sampai 4 kematian dalam sehari dikarenakan COVID-19. 

Bahkan belum lama ini, kasus kematian akibat COVID yang ekstrim juga terjadi. Joko mengungkap, ada total ada 15 kematian dalam dua hari.

Baca Juga:Sleman Disebut Zona Merah COVID-19 Indonesia, Begini Respon Dinkes Sleman

"Yang pertama 7 lalu 8 [kematian], itu memang agak ekstrim," kata dia, di pendopo rumah dinas Bupati Sleman, Rabu (19/5/2021).

Ia menyatakan, seperti yang sudah sering disampaikan sebelumnya, dalam situasi epidemiologis seperti sekarang, banyak orang positif tapi tidak diperiksa.

"Tidak terperiksa sehingga tidak diketahui bahwa dia positif, namun dia berhubungan dengan orang-orang berisiko tinggi dan rentan, misalnya orang dengan komorbid, lansia," ujarnya.

Ketika sudah bergaul dan interaksi lalu diperiksa. Yang diketahui positif COVID-19 itu adalah warga lansia atau komorbid. Selanjutnya, pasien COVID-19 dengan komorbid atau lansia tadi meninggal dunia.

"Ditracing dan ketahuan ini [orang positif COVID-19 tapi tak diketahui tadi] positif. Itu lah yang menyebabkan angka kematian meningkat. Karena COVID ketika kena lansia dan komorbid, kan itu membahayakan sampai mudah meninggal," ungkapnya.

Baca Juga:Update Peta Zonasi: Sleman dan Salatiga Masuk Zona Merah Covid-19

Namun ia tak menampik, mayoritas kematian akibat COVID-19 ini dialami oleh pasien lansia, hanya beberapa non lansia dan nihil pada pasien anak-anak.

Beberapa kasus kematian lain yang muncul, yaitu ada pasien COVID-19 yang setelah dirawat di rumah sakit lalu dirawat di rumah, malah meninggal.

Penyebab kematian berikutnya: ada yang karena terlihat sehat, lalu menjalani isolasi mandiri di rumah. Tapi karena diduga COVID-19 yang ia alami berasal dari virus varian baru, gejala yang didapati dari pasien ini jauh lebih berat.

"Karena [virus dari varian baru] begitu masuk ke dalam saluran napas, itu langsung paru-parunya putih. Langsung menyebar," kata dia.

"Padahal ketika kapasitas paru-paru 70% tidak berfungsi, saturasinya menurun ya berakibat fatal. Itu baru perkiraan, karena saya tidak punya data spesifik bahwa itu virus varian baru atau bukan," sambung Joko.

Gejala yang bisa dilihat dari pasien terkonfirmasi COVID-19 virus varian baru, antara lain gejala lebih cepat terlihat.

Biasanya gejala masuknya virus COVID-19 terlihat setelah masa inkubasi 7 hari. Berbeda dengan masa inkubasi penderita COVID-19 varian baru, bisa cukup membutuhkan waktu 2 atau 3 hari saja untuk bisa memperlihatkan gejala.

"[Bentuk gejala lain] langsung memberat. Jadi, gejala ringan ke berat, itu [bentuk tahapnya] ringan, sedang, berat. Kalau sekarang, bisa dari tanpa gejala tahu-tahu gejala berat," urainya.

Joko menjelaskan, gejala yang bisa dan harus langsung diwaspadai oleh masyarakat adalah sesak napas.

Melihat kondisi ini, ia menyarankan paling tidak dalam satu kelompok atau keluarga, ada yang memiliki alat untuk memeriksa saturasi oksigen dalam tubuh (darah).

"Begitu saturasi di bawah 95, sudah. Entah COVID atau tidak, datang saja ke rumah sakit untuk diperiksa lebih lanjut," saran Joko.

Pihaknya juga telah menjelaskan kepada tim di rumah sakit, khususnya di Instalasi Gawat Darurat. Ketika ada pasien atau warga memeriksakan diri ke faskes, dengan kondisi saturasi oksigen di bawah 95, maka mereka diminta untuk memproses, bahkan mengasessment warga tersebut.

Langkah itu tetap harus dilakukan, tanpa pandang bulu melihat ada atau tidaknya gejala lain yang dicurigai mengarah kepada COVID-19.

Sementara kala ditanyai soal kasus COVID-19 pascalebaran, Joko menyatakan Dinkes Sleman masih harus mengkaji dan tetap berharap tak ada lonjakan kasus. Selain itu, Pemkab Sleman juga terus mengantisipasi lonjakan, dengan sejumlah langkah termasuk koordinasi dengan semua RS.

Yang terpenting harus dilakukan adalah meskipun lama tidak dipakai, RS tidak mengalihkan bangsal isolasi COVID-19 menjadi bangsal biasa terlebih dahulu.

"Respon dari RS hampir semua sepakat tidak masalah, karena kami mengantisipasi adanya lonjakan kasus pascalebaran," kata dia.

Kontributor : Uli Febriarni

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak