SuaraJogja.id - Labelisasi teroris terhadap Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua mendorong UGM untuk membuka ruang diskusi terkait permasalahan yang memicu pro dan kontra tersebut.
Melalui forum Eunoia x Sekolah Advokasi, Dema Fisipol UGM & Kapstra PSDK UGM pun menggelar diskusi bertajuk "Menyingkap Problematika Labelisasi Terorisme KKB di Papua".
Acara tersebut ditayangkan secara langsung di kanal YouTube DEMA KM FISIPOL UGM pada Minggu (30/5/2021) siang.
Sejumlah pembicara yang dihadirkan antara lain Yance Yaobee dari Aliansi Mahasiswa Papua, advokat dan pegiat HAM Veronica Koman, Analis Kebijakan Utama Baintelkom Polri Irjen Pol Widiyanto Poesoko, dan Andreas Harsono dari Human Rights Watch.
Baca Juga:Densus 88 Tangkap 10 Terduga Teroris di Merauke, Berencana Ledakan Bom di Gereja
Namun saat acara dilangsungkan, Irjen Pol Widiyanto Poesoko berhalangan hadir, sehingga hanya tiga pembicara lainnya yang mengikuti diskusi.
Dalam kesempatan tersebut, Veronica Koman menyoroti operasi militer di Papua. Menurutnya, labelisasi "teroris" berdampak buruk pada keamanan rakyat Papua.
Ia mengemukakan, di tanah mereka sendiri, ribuan rakyat Papua terpaksa mengungsi.
Bahkan, tak sedikit dari mereka yang harus lari ke hutan karena keamanan terancam dengan adanya operasi militer besar-besaran di Papua.
Veronica Koman lantas menyarankan supaya media dari berbagai negara diberi akses untuk meliput peristiwa yang sebenarnya terjadi di Papua, sejak adanya pelabelan "teroris" terhadap KKB.
Baca Juga:Status 2 Terduga Teroris di Makassar Belum Jelas, LBH Muslim Ajukan Praperadilan
Terlebih, Densus 88 Antiteror dipertimbangkan untuk terlibat dalam perburuan KKB Papua.
"Kalau Densus 88 mau dikirim setelah KKB Papua dilabeli teroris, sekalian saja buka keran, semua keran internasional," kata dia.
Sementara itu, Yance Yaobee berulang kali menekankan supaya pemerintah menegakkan demokrasi bagi masayrakat Papua.
Di sisi lain, Andreas Harsono menyoroti intimidasi terhadap wartawan Papua, tetapi polisi justru terkesan tak serius untuk mengusutnya.
Ia pun mengakui, penanganan untuk konflik di Papua tidak mudah, sehingga perlu dilakukan pendekatan berlapis dan lebih humanistik.