Pandemi Wajib Cuci Tangan, Pengelola Puncak Sosok Beli Air hingga Rp11 Juta Setiap Bulan

Menurut Rudi, operasional yang paling besar adalah untuk membeli air, mengingat Puncak Sosok merupakan salah satu wilayah yang sulit air.

Eleonora Padmasta Ekaristi Wijana
Rabu, 02 Juni 2021 | 14:29 WIB
Pandemi Wajib Cuci Tangan, Pengelola Puncak Sosok Beli Air hingga Rp11 Juta Setiap Bulan
Suasan Puncak Sosok, Bantul sebelum pandemi virus corona. [Suarajogja.id / Mutiara Rizka]

SuaraJogja.id - Pandemi Covid-19 telah berlangsung 1 tahun lebih. Perilaku baru diterapkan oleh pemerintah agar dapat meminimalisir penularan Covid-19. Mematuhi protokol kesehatan seperti menggunakan masker, jaga jarak, dan cuci tangan menjadi menu wajib yang harus dilaksanakan setiap orang.

Tak terkecuali di industri pariwisata, aturan tersebut juga harus diterapkan. Para pengelola objek wisata harus menyediakan sarana protokol kesehatan tanpa terkecuali. Peralatan cuci tangan menjadi tolok ukur adanya sarana protokol kesehatan di era pandemi ini.

Namun, kewajiban untuk cuci tangan di destinasi wisata ini memang menjadi buah simalakama, terutama untuk objek wisata yang berada di ketinggian dan susah mendapatkan air bersih. Apalagi untuk kebutuhan mereka sehari-hari, pengelola harus membeli air.

Seperti yang dialami oleh pengelola objek wisata Puncak Sosok, yang berada di Pedukuhan Jambon, Kalurahan Bawuran, Kapanewon Pleret, Kabupaten Bantul. Pengelola objek wisata di atas bukit belakang TPST Piyungan, yang notabene semuanya warga Jambon, setiap bulan harus mengeluarkan dana hingga belasan juta untuk membeli air.

Baca Juga:Abai Prokes, Satgas Covid-19 Soroti Kerumunan di Danau Sunter saat Libur 1 Juni

Ketua Kelompok Sadar Wisata Puncak Sosok Rudi Haryanto (35) mengungkapkan, Puncak Sosok destinasi wisata berbasis masyarakat yang booming selama dua tahun sebelum pandemi Covid-19. Selama tahun 2018 dan 2019 atau sebelum pandemi, Puncak Sosok ramai dikunjungi wisatawan. Hampir setiap hari, ribuan orang datang mengunjungi Puncak Sosok untuk berburu matahari terbenam dan menikmati suasana malah hari dari atas bukit.

Kini, Puncak Sosok mencoba kemballi bangkit setelah dihantam pandemi Covid-19. Mereka mencoba kembali bergerak usai tutup hampir 7 bulan lamanya karena Pandemi Covid-19. Mereka berupaya keras untuk mengembalikan kejayaan Puncak Sosok.

Namun tidak banyak yang tahu, Puncak Sosok dulunya hanyalah sebuah padang ilalang di atas perbukitan dan beberapa tanaman keras lainnya. Puncak Sosok dulunya hanya dijadikan sebagai tempat untuk mencari pakan ternak karena letaknya yang cukup jauh dari pemukiman.

"Di sana juga tidak ada sumber air. Kami harus membeli air untuk kebutuhan sehari-hari," paparnya, Rabu (2/6/2021), ketika dihubungi.

Di awal Puncak Sosok dirintis, fasilitas kali pertama yang dibuat adalah trek sepeda downhill karena dari pengamatan mereka selama ini, pengunjung yang datang ke Puncak Gebang adalah para pencinta sepeda.

Baca Juga:Geram 10 Tahun Air Bercampur Lumpur, Puluhan Warga di Banyumas Geruduk Balai Desa

Mereka mencoba trek naik ke perbukitan dan berakhir di Puncak Gebang untuk berburu foto. Puncak Gebang adalah destinasi yang mereka rintis sebelum Puncak Sosok ada.

Makin hari jumlah pengunjungnya makin banyak, bahkan ketika akhir pekan jumlah pengunjungnya membeludak. Pembagian tugas pun dilakukan dengan cara adil dan tidak ada kesenjangan. Warga Jambon hampir semuanya terlibat dalam pengelolaan Puncak Sosok.

"Ada pemilik warung, pelayan warung, petugas kebersihan, penjaga parkir, penjaga tempat selfie, dan beberapa pos yang lain," paparnya.

Sebelum pandemi, lanjut Rudi, Puncak Sosok memang nge-hits karena dikunjungi ribuan orang setiap hari. Di kala sepi, pengelola mendapatkan pendapatan sebesar Rp700 ribu bersih dari pengelolaan parkir, Rp300 dari toilet, Rp400 ribu dari penyewaan tikar sementara bagi hasil warung nyaris sama dengan parkir. Kemudian dengan pertunjukkan musik mampu menghasilkan Rp300 ribu.

Pendapatan akan melonjak di Akhir pekan di mana mereka mampu mengumpulkan uang parkir bersih sebssar Rp3 hingga Rp3,5 juta, kemudian toilet hingga Rp1,5 juta, sewa tikar Rp1 juta dan bagi hasil warung Rp1,5 juta. dan pertunjukkan musik sebesar Rp1 juta.

"Padahal parkir, toilet dan juga tiket masuk kami tidak memasang tarif," tambah Rudi.

Menurutnya, operasional yang paling besar adalah untuk membeli air, mengingat Puncak Sosok merupakan salah satu wilayah yang sulit air. Setiap hari, mereka harus membeli minimal dua tangki air ukuran 5.000 liter dengan harga Rp150 ribu. Sebelum pandemi Covid-19, dalam sebulan mereka mengeluarkan Rp5 juta sampai Rp6 juta untuk setiap bulannya.

Namun ketika beroperasi selama pandemi, pengeluaran untuk pembelian air bersih melonjak drastis karena ada kewajiban cuci tangan. Dalam sebulan, di hari biasa ia bisa mengeluarkan dana sebesar Rp10 juta hanya untuk membeli air bersih demi memenuhi kebutuhan pengunjung.

"Rekor pernah harus membeli air hingga Rp11 juta karena pengunjungnya ramai,. Apalagi kalau libur panjang seperti kemarin, bisa lebih itu," tuturnya.

Kontributor : Julianto

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak