SuaraJogja.id - Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) akibat pandemi Covid-19 tak membuat warga Pedukuhan Pengkol, Kalurahan Pengkol, Kapanewon Nglipar, Kabupaten Gunungkidul meniadakan ritual yang selalu mereka laksanakan secara turun temurun setiap Malam 1 Suro atau 1 Muharram.
Bahkan pada kesempatan kali ini, peringatan Malam 1 Suro mereka manfaatkan untuk memajatkan doa harapan agar pandemi Covid-19 segera berakhir. Mereka berharap agar virus corona segera pergi dari bumi Indonesia, sehingga kehidupan bisa normal kembali.
Senin (9/8/2021) malam, selepas Isya puluhan warga Pengkol mulai berdatangan di Rumah Budaya Kalurahan Pengkol. Mereka bersiap melaksanakan sebuah ritual sebagai penanda memanjatkan syukur dan harapan di malam pergantian tahun dalam kalender Islam dan Jawa ini.
Sekitar pukul 20.30 WIB, rangkaian acara peringatan Malam 1 Muharram dimulai. Diawali dengan zikir bersama dipimpin oleh tokoh agama setempat, puluhan orang memanjatkan doa kepada Yang Maha Kuasa. Pembacaan surat Yasin dilanjutkan tahlil bersama dan diakhiri doa menjadi penanda dimulainya ritual kali ini.
Baca Juga:Sambut Tahun Baru Islam 1 Muharram 1443 H, Jokowi Bicara Semangat Hijrah Saat Pandemi
Usai memanjatkan doa, prosesi kirab dan jamasan empat pusaka kalurahan tersebut dilaksanakan. Didahului membaca doa menggunakan bahasa Jawa, satu per satu tokoh adat di pedukuhan tersebut menerima pusaka dari juru kunci Rumah Budaya Pengkol, Joko Narendro.
Sekitar pukul 22.00 WIB, prosesi serah terima pusaka dari Joko Narendro kepada tokoh adat dilaksanakan. Satu per satu pusaka tersebut diserahkan kepada abdi dalem Keraton Ngayogyakarto Hadiningrat yang juga warga setempat.
Empat pusaka milik kalurahan Pengkol masing-masing adalah Pusaka Tombak Korowelang, Tombak Kyai Umbul Katon, Pusaka Cemethi Pamuk, dan Pusaka Payung Agung. Keempat pusaka tersebut kemudian dibawa keluar di depan rumah, di mana belasan warga yang membawa obor minyak tanah dan terbuat dari bambu sudah menunggu.
Keempat pusaka tersebut diarak menuju pemakaman Ki Ageng Damar Jati, diikuti puluhan warga Pengkol. Di makam Pengikut prabu Browijoyo Majapahit ini keempat pusaka tersebut dijamasi atau dibersihkan menggunakan ramuan jeruk nipis.
Usai dijamas, keempat pusaka tersebut dibawa kembali ke Rumah Budaya, tempatnya bersemayam selama ini. Pusaka-pusaka tersebut kembali disemayamkan di tempat yang sudah disediakan sebelumnya. Di sela upacara jamasan pusaka, warga juga menggelar acara santunan anak yatim
Baca Juga:Selamat Tahun Baru Islam, Berikut Link Twibbon Tahun Baru Islam Lengkap Dengan Cara Pasang
Rangkaian prosesi dilanjutkan dengan menguras gentong Kyai Sobo yang berada di halaman Rumah Budaya Pengkol. Para abdi dalem dari Kasultanan Kraton Ngayogyakarta mendekati Gentong Kyai Sobo. Ki Joko Narendro pun memulai prosesi nguras Gentong Kyai Sobo.
Usai memanjatkan doa, air dari gayung pertama digunakan untuk membasuh tangan dan muka Ki Joko Narendro. Kemudian air dari gayung kedua dipakai membasuh tangan para abdi dalem lainnya. Diikuti masyarakat sekitar yang bermaksud ingin mengalap berkah dari air yang berada di dalam gentong.
Namun untuk menghindari kerumunan, pengambilan air dapat dilaksanakan warga di kemudian hari. Setelah semua masyarakat mendapat air dari gentong tersebut, sedikit demi sedikit gentong kembali diisi air dari tujuh curug, dan tujuh tempur sungai yang ada di Jawa Timur, Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Ngadiman, salah seorang tetua adat Pedukuhan Pengkol, air tersebut sebenarnya tidak ada kesaktian apapun. Hanya saja, sebagian masyarakat masih menganggapnya sebagai sesuatu yang sakral dan suci sehingga memiliki khasiat menyembuhkan penyakit atau khasiat lainnya juga sebagai sarana bagi yang percaya dapat dikabulkan cita-citanya.
"Air ini hanyalah sugesti atau perantara saja. Sejatinya yang mengabulkan harapan seseorang adalah Tuhan Yang Maha Esa. Tetapi masih ada masyarakat yang masih percaya dengan hal ini. Air dalam gentong tersebut berisi air dari lokasi yang memiliki keistimewaan," terangnya.
Air tersebut diambil dari 7 sumber dari petilasan walisongo. Air-air tersebut diambil dalam satu waktu yang kemudian diawetkan. Ditambah dengan berbagai air suci dari berbagai sumber mata air di Gunungkidul yang tak pernah kering meskipun musim kemarau.
Menurutnya selain makna religius, kirab pusaka dan kuras gentong juga terselip tujuan luhur. Adapun tujuannya salah satunya untuk menjalin hubungan yang baik antara sesama manusia melalui sikap kekeluargaan dan kegotong royongan dalam karya bersama.
Ki Joko Narendro menambahkan, karena di masa pandemi Covid-19, maka gelaran kali ini hanya diselenggarakan lebih sederhana. Jika setiap tahun diselenggarakan selama sehari semalam karena juga diisi dengan berbagai pertunjukkan seni, kali ini berbagai pertunjukan seni ditiadakan dan diganti dengan santunan kepada anak yatim piatu dan dhuafa.
Menurut Joko, kegiatan ini hanyalah sebuah event budaya dalam rangka melestarikan tradisi masyarakat yang berkembang selama ini, sehingga kombinasi antara ajaran Agama Islam dengan tradisi budaya Jawa nampak dalam ritual malam 1 Suro ini.
Terkait dengan pusaka, empat jenis pusaka tersebut menunjukkan khasanah kekayaan budaya Jawa. Masing-masing pusaka memiliki simbol dan makna yang berbeda, begitu juga dengan riwayat dan tujuan pembuatannya.
"Seperti payung ya, warna dan unsurnya perbedaan jabatan. Kalau dari sisi spiritual memiliki makna Mengayomi," terangnya.
Kontributor : Julianto