SuaraJogja.id - Pembebasan lahan warga untuk proyek pembangunan jalan tol tidak selalu seindah yang terlihat. Tidak semata-mata warga mendapat uang ganti rugi miliaran rupiah, tapi di balik itu ada mental yang harus disiapkan.
Hal serupa dialami salah satu warga Padukuhan Pundong III, Tirtoadi, Mlati, Sleman, Tri Baningsih, yang juga terdampak proyek pembangunan tol. Bberapa tahun sebelum proyek jalan tol mulai bergulir, ia sudah membicarakan hal itu dengan keluarganya.
Perempuan yang akrab disapa Ning ini menyebut, bukan hal yang mudah hingga akhirnya mencapai momen melepas tanah dan rumah yang ia tempati selama ini untuk pembangunan tol. Pasalnya tanah dan rumah itu juga merupakan warisan dari orang tuanya dulu.
"Berat sekali melepas, saya menyiapkan psikis anak-anak itu sekitar 3 tahun," kata Ning saat dihubungi awak media, Selasa (7/9/2021).
Baca Juga:Top 5 SuaraJogja: Karyawan Alfamart dan Indomaret Kompak, Miliarder Dadakan Beli Vila
Ning menceritakan awal mula rencana tol itu sudah dibicarakan dengan keluarganya sejak drone yang melintas di atas rumahnya. Saat itu ia hanya diberitahu bahwa drone yang bahkan sempat jatuh di halaman belakang rumahnya itu digunakan untuk pemetaan tanah.
"Tapi saat itu kita sudah menduga (akan ada jalan tol) karena rencana akan ada dua proyek besar yaitu kereta api dan tol. Lalu saya berandai-andai dan mengumpulkan dua orang anak saya," tuturnya.
Ning sendiri beruntung masih mempunyai beberapa bidang tanah warisan dari orang tua dan kakek neneknya dulu. Berlandaskan dugaan awalnya itu, ia lantas minta anaknya untuk memilih tanah warisan miliknya itu dan disisakan untuknya sendiri.
"Anak-anak saya persilakan untuk memilih tanah warisan saya. Lalu saya minta untuk menyisihkan satu atau dua untuk ibu (pribadi). Anak saya menunjuk yang paling luas 2000 meter itu untuk saya. Ya udah dititik itu saya putuskan untuk buat dua rumah karena belum tahu besarannya berapa," tuturnya.
Ia menilai pemberian tanahnya itu kepada anak-anaknya merupakan suatu yang tepat. Sebab tanah itu juga dulu merupakan tanah warisan yang sekarang akan kembali diwariskan.
Baca Juga:Muncul Banyak Miliarder Baru di Sleman, Sri Sultan Beri Pesan Ini
"Iya karena itu kan warisan dari orang tua saya kalau bisa saya wariskan ke anak saya," ucapnya.
Sebenarnya meski telah menduga sebelumnya akan ada proyek tol yang bakal digarap. Tetapi ia tetap merasa kaget dan yidak percaya ternyata pihaknya juga ikut terdampak.
Sebab dulu rencana awal proyek tol itu tidak akan memakan rumahnya saat ini. Walaupun tetap akan mengenai sejumlah bidang tanah warisannya tapi tidak disangka akan terdampak sebesar sekarang.
"Iya (kaget) tapi ya kalau misalkan lewat sana (rencana awal tol) ya tetap ada tanah saya yang kena juga cuma tidak seluas yang kena sekarang ini," paparnya.
Guru SMAN Seyegan itu sendiri saat ini telah menerima kompensasi atau ganti rugi pembayaran jalan tol hingga mencapai Rp 10 miliar. Hasil itu didapat dari ganti rugi bidang tanah miliknya pribadi dan sang suami.
"Jadi yang 2.400 meter persegi itu Rp 9 miliar lebih, dan lahan 500 meter persegi itu Rp 1,05 miliar itu milik suami," ungkapnya.
Ia menyatakan bakal memanfaatkan uang ganti rugi itu untuk mencukupi kebutuhan keluarganya dulu. Selain rumah pengganti, alokasi biaya pendidikan untuk anak dan investasi di masa mendatang yang paling utama saat ini.
"Kalau mindset saya dan anak-anak itu alokasi dana untuk hal penting dan krusial contohnya tadi rumah yang hilang harus punya pengganti rumah. Kemudian kan kita ngga ngerti kapan digusur. Intinya apa yang paling pokok dibutuhkan itu yang kita kejar dulu," tegasnya.
Sementara itu Jogoboyo (Kasi Pemerintahan) Kalurahan Tirtoadi Heky Prihantoro mengatakan pembebasan lahan warga untuk proyek pembangunan jalan tol jangan hanya dipandang sebagai suatu yang menguntungkan saja. Tetapi ada sisi lain yang juga dirasakan warga.
"Warga ini juga sudah susah. Jangan hanya memandang warga terima uang miliaran," kata Heky.
Menurutnya jika diberi pilihan warga juga bakal memilih untuk tidak terdampak tol. Sehingga mereka tidak perlu pindah dari tanah dan rumah yang mereka tempati lebih dari puluhan tahun.
"Kalau warga itu bisa menghindari atau mengelak pasti mereka tidak mau pindah. Jangan hanya memandang warga terima uang miliaran bisa untuk beli ini beli itu. Jangan seperti itu. Justru ke psikisnya warga. Berat, pindah rumah itu berat apalagi di situ sudah tinggal hampir 50 tahun," tandasnya.