SuaraJogja.id - Lurah Srimulyo, Wajiran sibuk menjawab panggilan telepon seluler yang tiada henti berdering sejak Rabu (21/4/2021) pagi itu. Sesekali dia memberi arahan kepada warga serta para dukuh yang sedang memperbaiki saluran air di dekat pabrik PT IGP (Indonesia Green Packaging) International. Pabrik yang memproduksi kerajinan, mebel, dan pengemasan kelas ekspor ini dikelola PT Yogyakarta Isti Parama (YIP). Keduanya dipimpin direktur yang sama, Eddy Margo Ghozali.
Sudah sejak lama, tujuh rumah warga yang berseberangan dengan pabrik di Padukuhan Cikal, Kalurahan Srimulyo, Kapanewon Piyungan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), sering kebanjiran. Drainase di sekitar pabrik diketahui telah usang dan perlu perbaikan. Ketika hujan, luapan air langsung membanjiri rumah warga. Pihak RT hingga dukuh berkali-kali menyurati pengelola pabrik, tetapi tidak ada iktikad baik untuk memperbaiki.
Rabu pagi itu, bongkahan batu dan gundukan pasir diletakkan tepat di akses jalan ke lokasi pabrik. Hanya motor dan sepeda kayuh yang bisa melintas. Tentu saja truk yang biasa menjemput dan mengantar hasil produksi kerajinan tertahan di jalan besar sehingga terpaksa menunggu. Proses distribusi produksi YIP ikut terhambat.
Sebenarnya penutupan jalan dengan material adalah bentuk protes warga kepada YIP yang sering mengabaikan keluhan masyarakat. Tak hanya itu, YIP juga mempunyai persoalan dengan Pemerintah Kalurahan Srimulyo yang urung rampung hampir tiga tahun lamanya.
Baca Juga:Dua Pekan Beroperasi di Balai Kota Yogyakarta, Mobil Vaksin Imunisasi 50 Orang Per Hari
“Yang bermasalah pembayaran sewa lahan desa yang disewa YIP. Tiga tahun pertama (2015-2017) lancar, berikutnya tidak dibayar,” ujar Wajiran saat ditemui tim kolaborasi liputan investigasi agraria yang terdiri dari Suara.com, Kompas.com, Jaring.id, Tirto.id dan Project Multatuli di Kantor Kalurahan Srimulyo, Rabu, (22/4/2021). Tim kolaborasi juga bertemu sejumlah dukuh saat penutupan jalan sekaligus perbaikan saluran itu.
Alasan YIP menunggak pembayaran, menurut Wajiran, karena infrastruktur jalan, air, dan listrik belum disediakan. Fasilitas itu merupakan tanggungjawab Pemkab Bantul. Penutupan jalan itu juga dimaksudkan untuk mendesak YIP melunasi sewa lahan tanah desa Srimulyo dan pajak bumi bangunan (PBB) yang menunggak sebesar Rp8 miliar terhitung sejak 2018-2020.
Di sela penutupan jalan dan perbaikan saluran, Wajiran bertemu dengan Eddy di ruang rapat Sekretaris Daerah (Bantul) pada hari yang sama. Hadir pula Sekda Bantul Helmi Jamharis, Wakil Bupati Bantul Joko Purnomo serta sejumlah perangkat Kapanewon Piyungan. Dalam pertemuan yang meminta YIP segera melunasi tunggakan itu, Pemkab Bantul menjadi penengah agar persoalan antara desa dan YIP bisa selesai.
Pertemuan berjalan cukup alot. YIP masih meminta fasilitas infrastruktur yang dijanjikan Pemkab Bantul segera dipenuhi. YIP juga meminta addendum (perubahan ketentuan) perjanjian terkait kesepakatan pembayaran dengan pemerintah desa. Meski begitu, akhirnya YIP menyanggupi pembayaran senilai Rp2,9 miliar pada sore hari.
Padahal berdasarkan surat perjanjian sewa-menyewa penggunaan tanah desa Srimulyo tertanggal 3 Februari 2015, YIP seharusnya membayar tunggakan sewa dan PBB total senilai Rp8 miliar. Jumlah tersebut terhitung sejak periode tunggakan 2018-2020. Namun berdasarkan penghitungan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Inspektorat DIY pada 26 Oktober 2020, YIP memiliki kewajiban melunasi sewa hanya sebesar Rp2,9 miliar.
Baca Juga:Wamenkumham Berharap Tahun Ini Kantor Imigrasi Yogyakarta Dapat WBBM
Proses pembayaran yang disanggupi YIP juga menuai proses alot. Awalnya, menurut Kepala Bidang Tata Usaha Kalurahan Srimulyo, Sugeng Widoyo, YIP sudah mengirimkan sejumlah uang tunggakan sewa yang disepakati. Namun nilai nominal uang tersebut tak kunjung bertambah di rekening BPD DIY milik pemerintah kalurahan.
Muncul dugaan ada upaya YIP untuk mengelabui pembayaran agar terlihat lunas. Namun menurut Panewu (Camat) Piyungan, Roy Robert Edison Bonai, ketika itu terjadi kesalahpahaman. Roy yang mengaku diberi tugas mengecek rekening untuk memastikan uang transferan dari YIP benar-benar terkirim dan sampai, menjelaskan pihak YIP ketika itu hanya mencantumkan nama YIP pada form nama pengirim. Bukan disebutkan lengkap, Yogyakarta Isti Parama.
“Mungkin dari singkatan itu, pihak bank tidak mau mengambil risiko (kiriman tertahan untuk memastikan YIP adalah pengirim yang dimaksud). Terlepas ada unsur (dugaan mengelabui) itu, saya tidak tahu. Sekitar 40 menitan baru ada uang masuk ke rekening desa,” ungkap Roy saat bertemu Tim Kolaborasi di kantor kalurahan Srimulyo, Kamis (27/5/2021).
Beberapa dukuh yang sibuk memperbaiki drainase juga memantau hasil pertemuan melalui gawai. Usai Wajiran mengabarkan YIP telah mentransfer uang pembayaran Rp2,9 miliar ke rekening Srimulyo, para dukuh kembali membuka akses jalan.
Namun kesepakatan antara dua belah pihak desa dan YIP masih terus dibahas, meskipun sudah ada pembayaran. Rencananya ada pembahasan addendum (perubahan) perjanjian luas tanah desa yang disewa oleh YIP yang semula 105 hektare menjadi 85 hektare.
Menunggak sewa berdasar SK Gubernur
Direktur YIP Eddy Margo Ghozali menyewa 105 hektare tanah desa Srimulyo sejak 2015. Lahan itu menjadi kawasan industri Piyungan (KIP) yang ditetapkan Gubernur DIY, Sultan Hamengku Buwono X dengan Surat Izin Gubernur Nomor 143/3440 tanggal 8 Desember 2000 tentang Izin Penggunaan Tanah Kas Desa Desa Sitimulyo dan Srimulyo Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul.
Sejak pertama kali YIP beroperasi pada 2015, pabrik kerajinan tersebut membayar sewa lahan dengan lancar kepada Srimulyo pada 2015-2017. YIP membayar kesepakatan harga tanah sebesar Rp24 juta per meter dengan kenaikan harga lima persen per tahun.
Lurah Srimulyo Wajiran tak menampik, pembayaran uang sewa tanah desa dari YIP pada tiga tahun pertama (2015-2017) turut serta melancarkan pembangunan desa, termasuk hak yang diterima tiap perangkat kalurahan dan para dukuh. Mengingat 105 hektare lahan (pembulatan dari 105,1299 hektare) yang digunakan KIP tak hanya terdiri dari tanah kas desa 23,9529 hektare. Ada juga tanah pelungguh (tanah dikelola pamong desa) 70,775 hektare dan tanah pangarem-arem (tanah yang dikelola mantan pamong desa) 10,402 hektare.
Namun selama 2018-2020, pembayaran terhitung Rp8 miliar itu macet hingga menjadi persoalan panjang. Desa merugi karena banyak perencanaan pembangunan desa yang tersendat. Wajiran mengungkapkan, realisasi APBDes selama 2019-2020 hanya 58 persen. Sisa 42 persen untuk kegiatan pemerintahan kalurahan, termasuk pengembangan ekonomi dan SDM, terhenti.
“Jika berdasarkan perjanjian ya angkanya Rp8 miliar. Kami sudah sering mengirim undangan dan surat penagihan. Namun tetap saja tidak mau melunasi. Alasannya YIP menuntut pemda membangun fasilitas semuanya. Selain itu minta perubahan harga, harga sewa diturunkan. Padahal harga tanah itu naik terus,” jelas dia. Tiga surat peringatan (SP) dilayangkan kepada YIP.
Sultan yang mengetahui persoalan tersebut, kemudian memanggil kedua belah pihak sekitar Desember 2020 lalu. Konflik tersebut menjadi perhatian Sultan yang tak ingin ada persoalan panjang. Apalagi YIP berencana membawa masalah ini ke meja hijau.
Menurut Sekretaris Kalurahan Srimulyo, Nurjayanto, pertemuan pertama penyelesaian masalah itu dihadiri Sultan dan Pemkab Bantul. Anak kedua Sultan, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Condrokirono juga hadir dalam satu ruangan. Rapat dibuka Sultan dengan pernyataan, bahwa dia tak ingin kasus ini berpindah meja. Artinya, tak perlu sampai masuk ke ranah hukum, meski YIP bersikukuh ingin menyelesaikan di meja hijau. Sultan juga menyatakan masalah ini tak ada keterkaitan dengan keraton dan keluarganya.
“Saya awalnya sempat bingung mengapa pernyataan itu muncul pertama kali. Karena fokus kami persoalan sewa, kami tak begitu menggubris pernyataan tersebut. Intinya Gubernur waktu itu ingin persoalannya bisa selesai di sini,” terang Nurjayanto kepada tim kolaborasi di ruang kerjanya, Senin (10/5/2021).
Gubernur juga mengambil kebijakan agar dilakukan penghitungan tunggakan pembayaran sewa tiga tahun lebih itu. Inspektorat DIY diterjunkan untuk menghitung luas tanah desa Srimulyo yang secara faktual digunakan oleh YIP. Hasilnya, YIP hanya perlu membayar senilai Rp2,9 miliar dari yang seharusnya berdasarkan perjanjian 2015, yaitu Rp8 miliar. Keputusan Sultan tak bisa ditolak pihak kalurahan.
“Ya, akhirnya kami menerima saja dengan jumlah itu, daripada tidak ada yang kami terima. Sebenarnya cukup disayangkan,” ujar Nurjayanto.
Berdasarkan salinan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) oleh Inspektorat DIY Nomor X.700/49/PM/2020 yang terbit pada 26 Oktober 2020 yang dimiliki Srimulyo, Direktur PT Yogyakarta Isti Parama (YIP), Eddy Margo Ghozali tak bersedia membayar sewa lahan karena ada perbedaan penggunaan lahan yang telah disepakati. Dia mengharapkan adanya addendum atau perubahan perjanjian sewa atas dasar tiga Surat Keputusan (SK) Gubernur DIY.
Pertama, SK Gubernur DIY Nomor 69/KEP/2018 tentang Perubahan atas Surat Izin Gubernur DIY No. 143/3440 tanggal 8 Desember 2020 tentang Penggunaan Tanah Kas Desa seluas 56,3642 hektare. Ini dianggap ada perbedaan penggunaan lahan.
Kedua, SK Gubernur DIY Nomor 25/IZ/2018 tentang Perubahan atas SK Gubernur DIY Nomor 84/IZ/2015, 29 Desember 2015 tentang pemberian izin ke Pemdes Srimulyo dalam menyewakan Tanah Kas Desa ke PT YIP. SK itu membuat lahan yang sebelumnya dipakai industri di Srimulyo berubah dari 49,2262 hektare menjadi 37,9867 hektare.
Ketiga, Gubernur DIY yang memberikan izin ke PT YIP mengelola tanah untuk kawasan wisata. Berdasar SK Gubernur DIY Nomor 26/IZ/2018 tertanggal 27 Februari 2018, PT YIP mengelola tanah seluas 10,5943 hektare.
Dalam laporan itu, PT YIP enggan melakukan pembayaran sejak Februari 2018. Sehingga PT YIP hanya melanjutkan pemanfaatan tanah seluas 6,1344 hektare. Dengan demikian pihaknya akan membayar sewa usai addendum itu diterbitkan.
Menunggak Rp8 M, Bayar Rp2,9 M
Kepala Inspektorat DIY, Wiyos Santoso menyatakan penunjukkan Sultan kepada instansinya tercantum dalam Surat Perintah Gubernur DIY No. 700/9368 tanggal 23 Juni 2020. Surat itu memerintahkan inspektorat memeriksa secara khusus penggunaan lahan pengembangan kawasan industri di Kalurahan Srimulyo. Surat tersebut ditindaklanjuti dengan Surat Perintah Tugas Inspektur DIY Nomor PM/47/K/INSP/2020 tanggal 25 Juni 2020. Lalu dilanjutkan dengan Surat Perintah Tugas Inspektur DIY Nomor PM/47/K/INSP/2020 tertanggal 30 Juli 2020.
Wiyos mengatakan, pihaknya hanya menengahi permasalahan yang terjadi antara dua belah pihak yang ditengarai ada mis-komunikasi. YIP merasa sudah menyewa 105 hektare tanah desa, meskipun yang terpakai baru 6,5 hektare. Keberatan YIP adalah pihak desa masih memanfaatkan sisa tanah sekitar 98,5 hektare untuk menanam dan mendirikan kandang ternak. Sementara pihak desa menganggap sisa lahan yang tidak digunakan YIP itu dapat dimanfaatkan terlebih dahulu. Bagi YIP, seharusnya lahan dikosongkan terlebih dahulu.
“Kami terjunkan tim untuk mempelajari kondisinya seperti apa. Ternyata ada saling klaim, saling tidak mau. Misalnya, karena masih ada kebun, kandang, sehingga mereka belum mau bayar,” kata Wiyos saat ditemui tim kolaborasi di kantornya, Senin (26/4/2021).
Butuh sekitar enam bulan bagi inspektorat untuk melakukan pemeriksaan dan merampungkan laporannya sejak Sultan membuat surat perintah penugasan. Kedua pihak yang bersengketa dipanggil dan ditanya perihal sepakat atau tidak atas perhitungan sewa tanahnya.
Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Nomor X.700/49/PM/2020, YIP secara rutin melunasi sewa tanah mulai 2015-2017. Perjanjian 2015 misalnya, dengan nominal sewa Rp24 juta per tahun dibayar lunas sebesar Rp2,5 miliar. Namun dalam kesepakatan perhitungan bersama, sebanyak 48 hektare dari 105 hektare belum dikosongkan oleh pemerintah desa. Kemudian YIP hanya membayar sekitar Rp1,3 miliar. Sisanya menjadi kompensasi YIP untuk dibayarkan pada tahun 2018-2020.
Penghitungan seperti itu diterapkan pada 2016 dan 2017 dengan nominal sewa bertambah lima persen pertahun. Inspektorat menilai YIP kelebihan bayar karena ada beberapa lahan yang belum dikosongkan dan masih digunakan oleh perangkat desa.
“Jadi, dulu ada kelebihan bayar, ya kami kompensasi supaya dibayar di belakang. Yang setelah 2018, itu kami perhitungkan. Kemarin tiga tahun berarti ada kelebihan kan, kekurangannya itu Rp2,9 miliar,” ujar Wiyos.
Persoalan yang terjadi di Srimulyo, lanjut Wiyos seharusnya bisa selesai melalui kesepakatan dalam perjanjian dua pihak. Inspektorat Bantul yang disebut Wiyos sempat juga menangani, ternyata tidak menemukan titik terang penyelesaian. Perintah dari Sultan kepada Inspektorat DIY pun tidak bisa ditolak.
“Kalau tidak dapat perintah dari gubernur, kami tidak akan ikut campur tangan di situ. Karena itu kan ranahnya perjanjian kedua pihak. Apabila tidak terjadi kesepakatan, ke jalur hukum. Itu ada di perjanjian. Karena hukum tertinggi itu di perjanjian mereka sendiri sebetulnya,” terang Wiyos.
Pengauditan dilakukan tim Inspektorat DIY di bawah koordinasi Inspektur Bidang Pemerintahan sejak Juni 2020 hingga Oktober 2020 dalam bentuk LHP. Salah satu kendalanya, dua pihak cukup sulit dipertemukan saat dilakukan pemanggilan. Wiyos mengklaim proses audit dilakukan secara obyektif, tidak berpihak antara YIP atau pemerintah desa, dan tanpa tekanan para pihak.
“Oh tidak, kalau kami ada tekanan ya tidak akan selesai-selesai. Dan pasti ada satu pihak yang merasa keberatan. Kalau kami ada yang menekan, malah kami laporkan kepada Pak Gubernur. Wong kami diperintah langsung,” terang dia.
Usai Rp2,9 miliar lunas dibayarkan, rencananya akan dibuat addendum perjanjian sewa lahan KIP pada 2021. Sekretaris Desa Srimulyo, Nurjayanto mengatakan sampai saat ini belum ada pembahasan lebih lanjut. Addendum dibuat untuk menjaga dan menyepakati luas lahan mana saja yang disewa YIP dan harus dibayarkan kepada pemdes, termasuk manfaat yang didapat untuk warga.
“Kami tak berdiri sendiri. Ada pemda dan masih dalam pengawasan mereka. Untuk addendum itu, kami hadir dalam rapat, desa maunya apa saja dan jadi syarat. Seperti mengutamakan warga setempat (untuk dipekerjakan). Termasuk menghadirkan YIP,” kata Nurjayanto ditemui di kantornya, Senin (10/5/2021).
Addendum juga untuk memastikan perjanjian 2021 dan tahun-tahun selanjutnya harus ada kejelasan. Sedikit atau banyak hasil dari sewa yang didapat, menurut Nurjayanto tak menjadi masalah. Asalkan ada perjanjian yang jelas apabila sewa lahan dilanjutkan.
“Mintanya kami tuh begini. YIP ketika ingin lanjut oke, lanjut dengan gentle maksudnya. Dan jika situasi tak menguntungkan bagi dia, ya oke. Pokoknya jangan digantung (pemdes). Kami sih sesimpel itu,” ujar dia.
Terkait tanah desa yang masih digunakan perangkat atau warga desa untuk menanam tumbuhan hingga mendirikan kandang ternak, Nurjayanto menjelaskan, pengosongan lahan tersebut juga membutuhkan waktu. Proses serta pengadaan dana juga tidak sedikit.
Namun hal itu dianggap Inspektorat DIY wanprestasi, karena pengosongan belum dilakukan. YIP dinilai inspektorat tak perlu membayar sewa lahan yang belum dikosongkan. Padahal sejak awal ada kesepakatan, meskipun secara lisan, bukan hitam di atas putih atau kesepakatan tertulis. Pemdes pun harus mengalah.
“Kayak dulu awal kejadian posisi tanaman tebu itu masih ada dan tinggal panen saja. Jika dulu kan memang tidak ada perjanjian di atas kertas, ya sudah ditunggu hingga panen,” terang dia.
Tim kolaborasi juga sudah menemui Eddy Margo Ghozali saat membahas kelanjutan sewa lahan untuk 2021 bersama Pemdes Srimulyo dan Pemkab Bantul di ruang Bupati Bantul pada Jumat (21/5/2021). Namun Eddy enggan menanggapi dan menyebut pertemuan itu hanya halal bi halal.
“Saya sudah koordinasi, kebetulan ada undangan dari pejabat (Pemkab Bantul). Kami baru saja halal bi halal. Kami sih berharap bisa lancar (kelanjutan sewa YIP), saya butuh doanya. Memang butuh proses sih,” kata Eddy.
Perintah Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X agar Inspektorat DIY turun tangan menghitung tunggakan sewa disinyalir sejumlah pihak merupakan intervensi. Lantaran Inspektorat DIY jarang mengurus persoalan di level desa atau kalurahan.
Terpisah, Sultan menyatakan memfasilitasi penyelesaian persoalan sewa tanah desa di Srimulyo. Sultan menyebut YIP dan desa memiliki masalah yang berlarut dan tidak selesai meski sudah ditangani Pemkab Bantul.
“Hanya masalahnya, mereka yang mendapatkan izin itu (YIP) sama kalurahan belum bisa menyelesaikan sewa tanah. Sehingga saya fasilitasi. Ya sudah, sing disewa piro (yang disewa berapa)? Nek ora semua yo piro (kalau tidak semua ya berapa)? Yo wes bayar kuwi wae (ya sudah itu saja yang dibayar). Dan itu sudah dilakukan, berarti kan sudah selesai ya,” kata Sultan saat ditemui tim kolaborari usai pemberian bantuan kepada para lurah dan koperasi di halaman Kantor Gubernur DIY di Komplek Kepatihan Yogyakarta, Rabu (4/8/2021).
Ada keluarga keraton di Piyungan
Sebelum YIP terpilih sebagai pengelola kawasan industri Piyungan (KIP), ada satu perusahaan telekomunikasi yang berencana menggunakan tanah desa Srimulyo, yaitu Foxconn Technology. Lurah Srimulyo, Wajiran mengungkapkan Foxconn Technology yang berminat untuk berinvestasi di sana batal karena Pemda DIY tidak bisa memberi kepastian waktu penyelesaian Bandara Yogyakarta International Airport (YIA) di Kulon Progo. Sementara bahan baku pabrik tersebut hanya bisa didatangkan dengan pesawat.
“Malah waktu itu saya pikir (Foxconn Technology) lebih menjanjikan. Tapi investor itu bertanya ke Gubernur kapan Bandara YIA di Kulonprogo selesai. Gubernur tidak bisa menjawab, akhirnya Foxconn tidak jadi masuk,” ujarnya.
Empat tahun berjalan, pada 2014, Kalurahan Srimulyo didatangi oleh perusahaan bernama YIP untuk menyewa tanah desa seluas 105 hektare. Sumber tim kolaborasi di Pemkab Bantul mengungkapkan, sebelum YIP menyewa tanah desa di sana dilakukan pertemuan yang dihadiri perwakilan Pemkab Bantul, Pemda DIY, dan keluarga keraton di Yogyakarta.
“YIP masuk mungkin memang ada arahan dari keraton. Tapi kalau sampai berkomunikasi dengan Sultan langsung, tidak ya. Mungkin menantu-menantunya,” kata sumber itu.
Kabar yang sempat santer beredar kala itu, menantu Sultan, Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Wironegoro menjadi orang yang disebut ikut membantu investor memanfaatkan tanah desa di Srimulyo. Wironegoro tak menampik ikut terjun dalam pengembangan KIP dan memilih YIP sebagai perusahaan yang mengelolanya. Sejak 2006, suami anak sulung Sultan, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Mangkubumi ini ikut memberikan konsep pengembangan kawasan industri di bagian selatan itu. Wironegoro juga memiliki keinginan menjadikan KIP sebagai kawasan industri kreatif seni serta budaya.
“Jadi 15 tahun lalu saya punya gagasan itu, lalu berbicara dengan dua teman lama yang sudah saya kenal selama 30 tahun. Kenalnya sejak SMA. Ada satu orang yang saya percaya dan saya minta tolong pilihkan satu pengusaha yang bisa memahami dan mewujudkan ide gagasan saya di DIY,” kata dia saat diwawancara secara daring pada Jumat (2/7/2021).
Pengembangan KIP diharapkan dapat menciptakan lapangan pekerjaan bagi 70 ribu warga Yogyakarta atau pun luar Yogyakarta. Pihaknya ikut menentukan perusahaan yang dinilai layak bergabung karena dianggap dapat mengembangkan DIY serta tak mengizinkan perusahaan yang berpotensi menyebabkan polusi.
“Iya, tapi dipilih-pilih. Kalau misalnya dia industri pembawa limbah yang mencemari sungai, udara, saya katakan tidak,” ujar dia.
Wironegoro menyatakan, meski punya andil mendatangkan YIP, tetapi tidak mengambil keuntungan apapun dari bisnis itu.
“Saya tidak mempunyai saham satu persen pun di perusahan itu. Saya dengan sukarela, dengan keterpanggilan saya membawa sesuatu yang baik-baik dan hebat dari Yogyakarta. Saya hanya ingin menjaga, bukan hanya di kawasan industri, juga kepada teman-teman yang sedang membantu kami,” klaim dia.
Pihak keraton, lanjut Wironegoro juga ikut dalam pengembangan KIP. Namun hanya berupa pendampingan kultural agar berjalan sesuai kaidah, menciptakan harmoni, kesuksesan, serta kesejahteraan di masyarakat.
“Kami inilah pihak keraton itu yang bahu-membahu agar proyek besar ini tidak hanya sukses secara ekslusif, tapi bermanfaat yang saya sebutkan berkali-kali (secara luas). Kami memang memantau,” ujar dia.
Sementara itu, hingga berita ini diterbitkan, Eddy belum bersedia diwawancara untuk dikonfirmasi lebih lanjut. Eddy sempat menyatakan belum bisa memberikan informasi karena koordinasi pembahasan persoalan dengan Srimulyo masih berproses di Pemda Bantul, jelasnya melalui pesan singkat WhatsApp (WA) (5/6/2021).
Selain melalui WA, tim kolaborasi juga menghubungi melalui surat pada 18 Agustus 2021. Surat kedua diberikan pada 4 September 2021, tetapi ditolak pihak YIP karena belum bisa memberi kepastian waktu wawancara.
“Nanti saya sampaikan dulu kepada timnya Pak Eddy,” kata Koordinator Lapangan YIP, Widodo.
Keluarga keraton di mal dan wisata air
Pemanfaatan tanah desa oleh pihak Keraton Yogyakarta tak hanya di Srimulyo. Pusat perbelanjaan terbesar di Padukuhan Kutu Patran, Kalurahan Sinduadi, Kapanewon Mlati, Kabupaten Sleman, yaitu Jogja City Mall (JCM) juga menggunakan sebagian tanah desa. Pendirian JCM yang saat ini dipimpin pengusaha ternama, Soekeno, diduga tak lepas dari campur tangan keraton.
Izin pertama terbit berdasar Surat Izin Gubernur DIY Nomor 35/IZ/2013 tentang Pemanfaatan Tanah Kas Desa Sinduadi oleh PT Garuda Mitra Sejati (GMS). Isinya, tanah kas desa seluas 845 meter persegi disewa untuk membangun pusat perbelanjaan yang saat ini bernama Jogja City Mall (JCM).
Izin gubernur ini diduga memudahkan GMS mendirikan JCM. Berdasarkan dokumen Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum dan HAM yang diakses tim kolaborasi per per 21 Maret 2021, adik Sultan, almarhum Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Hadiwinoto menjadi Komisaris Utama di GMS dengan kepemilikan saham sebesar Rp32 miliar.
Hadiwinoto ketika itu juga menjabat sebagai Penghageng Panitikismo, yaitu lembaga Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang mengurus soal pertanahan. Anak-anaknya, Raden Ajeng (R.Aj) Lupitasari serta Raden Mas (RM) Bambang Prastari juga memiliki saham masing-masing Rp11,6 miliar tanpa memegang jabatan apapun.
Menurut Dukuh Kutu Patran, Sarmiyono, lahan tempat lokasi JCM merupakan tanah pribadi yang dibeli GMS. Almarhum Hadiwinoto sempat menemui Sarmiyono sebelum dan setelah pembangunan JCM.
“Tidak sering, hanya awal pembangunan itu dia datang ke sini hanya berbincang soal rencana membangun JCM. Saat itu, saya ikut mendukung karena bisa membantu ekonomi warga sekitar juga. Setelah dibangun masih sempat bertemu, tapi sangat jarang,” kata Sarmiyono, Mei 2021.
Sementara menurut Lurah Sinduadi, Senen Haryanto, selain membeli tanah milik pribadi, juga ada tanah desa seluas 300 meter persegi yang digunakan untuk lahan parkir JCM berdasarkan Izin Gubernur Nomor 40/IZ/2017. Tim kolaborasi kesulitan menemukan lokasi lahan parkir yang menggunakan 300 meter persegi tanah desa yang dimaksud. Sedangkan lahan parkir yang biasa digunakan pengunjung terdapat bangunan bertingkat permanen di atasnya.
Saat dikonfirmasi, Public Relations JCM, Febrianita Chandra Rini menyebut penggunaan tanah desa tak lagi untuk tempat parkir, melainkan untuk resapan air terbuka. Chandra menolak menjelaskan bagian bangunan JCM yang mana yang menggunakan lahan desa Sinduadi.
“Pemanfaatannya bukan untuk lahan parkir. Tapi kalau untuk lokasi lebih lanjutnya, mohon maaf belum bisa kami jelaskan, karena sudah menjadi kebijakan dari perusahaan,” terang Candra dihubungi melalui pesan singkat Senin (2/8/2021).
Direktur Utama PT GMS Soekeno tidak merespons ketika dihubungi sejak 15 Juli 2021 untuk diminta konfirmasi hingga tulisan diterbitkan. Permintaan wawancara melalui pesan WA, telepon, dan surat tertanggal 18 Agustus 2021 dan 4 September 2021 juga sudah disampaikan.
Sementara usai dihubungi lewat akun media sosial maupun surat pada 11 September 2021, baik Bambang Prastari dan Lupitasari juga tidak merespons.
Selain JCM, dugaan pemanfaatan tanah desa lainnya oleh keluarga Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat berada di wahana rekreasi Jogja Bay yang terletak di Kalurahan Maguwoharjo, Kapanewon Depok, Kabupaten Sleman. Wisata air yang dinaungi oleh PT Taman Wisata Jogja itu mendapat izin gubernur pada 5 September 2014 untuk menggunakan tanah desa seluas 77.900 meter persegi selama 10 tahun.
Berdasarkan dokumen AHU Kementerian Hukum dan HAM yang diakses per 16 Maret 2021, nama putri kedua Sultan HB X, GKR Condrokirono masuk dalam kepengurusan Taman Wisata Jogja sebagai komisaris.
Tim kolaborasi mengkonfirmasi Condrokirono melalui pesan singkat dan surat. Kendati demikian, dia menolak diwawancara saat dihubungi melalui pesan singkat Kamis (2/9/2021). Dia menyerahkan langsung kepada Direktur Operasional Jogja Bay, Cahyo Indarto untuk menjawab.
“Sama direkturnya saja. Saya sudah bilang kok ke beliaunya,” balas Condro.
Sementara Cahyo Indarto saat diwawancarai secara daring Jumat (3/9/2021) menjelaskan bahwa kedudukan Condrokirono di Jogja Bay sebagai komisaris utama. Kehadiran adik GKR Mangkubumi itu diakui Cahyo kerap mengarahkan dan memberi ide-ide untuk keberlangsungan Jogja Bay.
“Ya tentu saja ada. Kalau (menurut) saya, Mbak Condrokirono ini kan sudah banyak pegang perusahaan. Jadi ketika beliau jadi komisaris, saya juga merasakan bahwa arahan-arahan beliau ini sangat bagus,” ujar Cahyo.
Ia mengatakan, Condrokirono tidak mau diistimewakan meski statusnya sebagai keluarga keraton. Condrokirono juga meminta jajaran manajemen Jogja Bay untuk mematuhi prosedur yang selama ini ada.
Cahyo tak begitu paham keuntungan jabatan seorang komisaris di jajaran manajemen perusahaan yang dipimpinnya. Dia beralasan, semua sudah diatur dan yang lebih mengetahui adalah orang yang menjabat di posisi tersebut.
Disinggung awal pemanfaatan tanah desa Maguwoharjo hingga berdirinya wahana Jogja Bay, diakui Cahyo, Condrokirono tak begitu aktif. Dian mulai memberikan ide-idenya saat operasional Jogja Bay berjalan.
Pemilihan lahan desa seluas 77.900 meter persegi itu dia yakini cukup strategis untuk industri wisata. Wilayah yang sebelumnya merupakan lahan kosong ini, tidak dimanfaat secara optimal. Sehingga Cahyo bersama rekan-rekannya yang menjabat posisi tinggi di Jogja Bay memilih tanah desa tersebut.
“Ya kalau kami, pada intinya, izin prosedural saja yang benar, jadi tidak ada yang dilompati. TIdak ada yang dilangkahi dan mengikuti saja semua prosedur,” ujar dia.
Meski begitu, pemilihan tanah desa dirasa lebih mudah dibanding tanah pribadi di sekitar Desa Maguwoharjo. Cahyo tak menampik harganya jauh lebih murah dan tidak sulit dicari. Pihaknya sudah mengincar sedari awal tanah desa tersebut untuk wisata.
Selain itu, adanya Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 11 Tahun 2012 tentang Pedoman Pengelolan Pemanfaatan Tanah Kas Desa menjadi panduan Cahyo menyewa dan memanfaatkan tanah desa untuk keperluan bisnisnya.
Berkaitan harga sewa dan pembayaran tanah desa itu, Cahyo tak bisa membeberkan besarannya. Namun selama pandemi Covid-19 ini, pihaknya berupaya melunasi pembayaran sewa tanah tersebut.
“Tidak hafal (nominalnya). Yang pasti kami membayar sewa itu, meski rasanya pontang-panting. Ini sudah satu tahun tidak bergerak,” ujar dia.
Menurut Kasi Pemerintahan Kalurahan Maguwoharjo Danang Wahyu, sebelum Jogja Bay berdiri, tanah desa itu merupakan lahan kosong yang biasa digunakan untuk kegiatan masyarakat. Lantaran kosong, investor tertarik memanfaatkan untuk berinvestasi.
“Sekarang Pak Lurah dipesankan untuk jaga tanah desa oleh Ngarso Ndalem,” ungkap Danang saat ditemui di ruang kerjanya, Jumat (7/5/2021).
Dugaan keterlibatan keluarga keraton juga terlihat ketika menantu Sultan HB X, KPH Purbodiningrat mengurus izin lingkungan ke Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Sleman.
Dokumen yang tertulis Nomor 000/631 itu memberikan izin tekait Penerbitan Izin Lingkungan PT Taman Wisata Jogja untuk Kegiatan Taman Wisata Air Jogja Bay Waterpark. Berdasarkan dokumen yang dipublikasikan itu, Purbodiningrat diketahui mulai mengurus izin lingkungan pada 8 Juni 2015. Hanya berselang empat hari, DLH Sleman sudah mengeluarkan izin lingkungan pada 12 Juni 2015.
Terkait penerbitan izin lingkungan yang cepat itu, Cahyo mengaku tak begitu paham bagaimana prosesnya. Menurutnya, sudah ada rekannya yang mengurus sendiri izin tersebut.
“Soalnya izin yang ngurus teman-teman sendiri,” ujar dia.
Kepala Bidang Tata Lingkungan Hidup, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Sleman, Sugeng Riyanto membeberkan dalam proses penerbitan izin lingkungan, pengusaha atau pemrakarsa harus memulai dari izin pendahulu seperti kesesuaian tata ruang.
“Di Sleman ini dikenal dengan Izin Penggunaan Pemanfaatan Tanah (IPPT). Setelah IPPT didapat baru mendapat izin lingkungan. Sebenarnya diperuntukkan bagi rencana usaha yang skalanya besar atau ada Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL),” terang Sugeng dihubungi tim kolaborasi, Selasa (3/8/2021).
Dalam proses tersebut, DLH Sleman akan memberi kesempatan pada masyarakat yang akan terdampak kegiatan usaha tersebut untuk menyampaikan aspirasi. Untuk mendapatkan masukan publik, DLH yang sebelumnya bernama Badan Lingkungan Hidup itu membuat pengumuman pembangunan yang dipublikasikan untuk umum.
“Jadi warga mempunyai hak menyampaikan saran, pendapat atau masukannya terhadap rencana kegiatan itu,” terang dia.
Warga diberikan waktu lebih kurang 10 hari untuk menyampaikan aspirasinya. Setelah warga menyetujui kehadiran usaha itu, masih ada tahapan lain dan memang panjang. Seperti konsultasi publik yang melibatkan warga terdampak dan juga pelaku usaha.
Kemudian DLH juga akan mengakomodir untuk membahas kerangka acuan. Jika kerangka acuan untuk penyusunan AMDAL itu disetujui, pelaku usaha baru bisa melanjutkan untuk mengajukan permohonan izin lingkungan.
Sementara setiap usaha yang menggunakan lahan dan masuk dalam kategori AMDAL memiliki jenis dokumen yang berbeda-beda. Mulai dari tipe A, B dan juga C.
Tiap tipe memiliki durasi penerbitan izin lingkungan yang cukup lama. Untuk AMDAL tipe A, sekurang-kurangnya butuh waktu 160 hari sejak pengajuan yang dilakukan pengusaha atau pemrakarsa. Lalu AMDAL tipe B memakan waktu 90/120 hari dan tipe C sekitar 60 hari.
“Keluarnya izin lingkungan memiliki durasi paling minimal 60 hari setelah pengajuan,” ungkap Sugeng.
Wajar apabila mengurus sebuah perusahaan yang masuk kategori AMDAL akan memakan waktu yang cukup lama hingga 100 hari lebih.
Berkaitan dengan proses penerbitan izin lingkungan untuk PT Taman Wisata Jogja yang sangat singkat, Sugeng mengaku tak mengikuti prosesnya. Pihaknya belum melakukan pengawasan intensif karena taman wisata air itu tidak beroperasi selama Pandemi Covid-19.
“Kami tidak sanggup melakukan pengawasan secara periodik untuk seluruh usaha yang masuk kategori AMDAL,” kata Sugeng.
Pihaknya hanya mengawasi kegiatan atau operasional sebuah usaha yang berpotensi terjadi masalah atau dampak di lingkungan sekitarnya.
Tim kolaborasi juga berusaha menghubungi Purbodiningrat melalui pesan singkat pada Kamis (9/9/2021). Namun tidak ada tanggapan. Saat dihubungi kembali pada Senin (13/9/2021), dia mengatakan tengah berada di bandara dan baru kembali ke Yogyakarta sore harinya. Ketika dihubungi kembali, tidak ada tanggapan hingga sekarang.
Tanah desa untuk bisnis keraton: boleh atau tidak?
Mantan Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai Amanat Nasional (PAN) DIY, Nazarudin ikut mengkritisi pembahasan draf rancangan Perdais DIY Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Tanah Kasultanan & Tanah Kadipaten. Kelahiran Perdais Pertanahan yang digunakan untuk mengatur kepemilikan dan penggunaan tanah di Yogyakarta, termasuk tanah desa dikhawatirkan menjadi “alat” keraton dalam menguasai tanah untuk kepentingan sendiri dan bisnis. Aturan ini sudah mendapat lampu merah dari Fraksi PAN DPRD DIY yang menduga akan berpotensi menghilangkan hak tanah yang dimiliki kalurahan.
Nazaruddin menilai aturan tersebut cacat hukum. Menurutnya, klaim tanah desa menjadi milik kasultanan atau kadipaten tidak pernah diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY. Produk UU itu membatasi sertifikasi hanya berlaku untuk tanah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat (sultan ground) atau Kadipaten Puro Pakualaman (pakualaman ground) saja. Sementara dalam Pasal 8 ayat 1 huruf a Perdais Pertanahan disebutkan, tanah desa yang asal-usulnya dari kasultanan dan kadipaten dengan hak anggaduh merupakan tanah dede keprabon atau bukan keprabon. Sedangkan Pasal 6 disebutkan tanah kasultanan dan kadipaten terdiri dari tanah keprabon dan dede keprabon.
“Kami waktu itu menilai cacat hukum dari draf perdais karena aturan ini memperluas kualifikasi tanah SG dan PAG. Padahal dalam UU Keistimewaan, limitasinya tak terlalu luas,” kata dia saat ditemui tim kolaborasi, Senin (5/4/2021).
Nazarudin juga menegaskan UU Keistimewaan dan Perdais Pertanahan yang disusun tidak sesuai dengan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). UUPA menjelaskan, tanah-tanah bekas swapraja atau tanah milik kerajaan sepenuhnya menjadi tanah negara dan dikelola oleh pemerintah serta masyarakat.
”Sinkronisasi antara dua UU ini seperti apa? Saling bertentangan. Seolah-seolah ini kerajaan dalam negara,” terang dia.
Sementara kebijakan Sultan HB X yang memberikan izin kepada kerabat keraton untuk memanfaatkan tanah desa, dinilai Nazaruddin bertentangan dengan semangat Pasal 16 UU Keistimewaan. Aturan itu berbunyi Gubernur dan Wakil Gubernur DIY dilarang membuat keputusan secara khusus memberi keuntungan untuk diri sendiri, keluarga, mitra atau kolega, yang nantinya merugikan bahkan mendiskriminasi negara dan masyarakat tertentu.
“Sesuai UU Keistimewaan, tanah-tanah (yang disertifikasi menjadi milik keraton) kan tidak boleh untuk komersil. Tapi (tanah) itu sekarang untuk komersiil,” ucap dia.
Wakil Ketua DPRD DIY, Suharwanta menambahkan, jauh sebelum Perdais Pertanahan lahir, lebih dulu berlaku Perda Nomor 4 Nomor 1954 tentang Tanah atas Tanah di DIY. Perda yang ditandatangani Sultan HB IX itu menyebutkan tanah-tanah desa sudah menjadi milik desa.
“Itu bisa digunakan untuk pengarem-arem, pelungguh, kas desa maupun yang lain. Jadi sudah ada perda yang mengesahkan tanah desa itu menjadi milik desa. Memang asal muasalnya hak anggaduh, tapi ketika sudah ada perda yang mengatur itu, kami dari Fraksi PAN memandang itu sudah jadi milik desa,” terang Suharwanta ditemui tim kolaborasi di Kantor DPRD DIY, Rabu (15/3/2021).
UU Nomor 6/2014 tentang Desa pun kian menguatkan. Ia menilai tanah-tanah desa di DIY tidak boleh dianggap menjadi milik kasultanan atau kadipaten, melainkan hak penuh adalah milik desa. Berdasar UU Keistimewaan, pemanfaatan tanah desa harus memenuhi tiga hal, yaitu hanya boleh digunakan untuk pengembangan kebudayaan, kesejahteraan masyarakat, dan kepentingan sosial.
“Saat pembahasan rapat pembuatan Raperda Keistimewan, kami punya sikap yang berbeda. Tapi, karena sekarang sudah (disahkan) menjadi perda, kami memang harus mengakui. Ini bagian dari cara pengambilan keputusan,” ujar dia.
Berbeda dengan Nazarudin, kepemilikan tanah oleh kasultanan dan kadipaten diklaim Suharwanta berdasarkan Pasal 2 pada ayat 1 UUPA. Bahwa disebutkan bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya pada tingkatan tertinggi dikuasai negara untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ia berpendapat lahirnya UU Keistimewaan harus memiliki semangat yang sama untuk kemakmuran rakyat.
“UU Keistimewaan itu berbasis ke situ. Negara memberi hak kasultanan dan kadipaten untuk punya tanah. Apa wujud pemberian hak itu? UU Keistimewaan,” ujar dia.
Ia berharap kelahiran UU Keistimewaan ini menjadi mandat untuk benar-benar bisa memakmurkan rakyat. Dengan demikian, harus ada komitmen baik dari kasultanan, kadipaten, pemerintah, DPRD dan masyarakat.
Dugaan penguasaan tanah-tanah desa oleh famili Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat untuk kepentingan pribadi dan bisnis disangkal oleh Achiel Suyanto sebagai kuasa hukum keraton. Menurutnya, kabar burung yang muncul itu belum bisa dibuktikan.
“Kelurga keraton berbisnis seperti itu enggak ada, setahu saya lho. Karena kami mengerti semua itu tujuannya untuk kesejahteraan masyarakat. Jadi tidak mungkin mengambil tanah rakyat kemudian dibuat hotel. Untuk apa?” ujar dia, Rabu (1/9/2021).
Jika pun ada, keraton pasti membeli tanah tersebut, kemudian dibangun hotel. Menurutnya, famili keraton juga butuh hidup, sehingga wajar berbisnis. Hanya saja perlu diteliti tanah yang dimanfaatkan itu seperti apa.
Achiel meminta jika informasi itu benar, maka bisa disampaikan kepada dirinya sebagai kuasa hukum. Mengingat Sri Sultan HB X memberikan pesan untuk menertibkan keluarganya yang diduga menyalahi kewenangannya.
“Kalau memang ada, sampaikan kepada saya, nanti akan kami sampaikan (kepada Sultan). Biar kami tahu, siapa pun keluarga keraton yang misalnya menyalahkan (kewenangan), ya kami akan tertibkan juga. Itu perintah Ngarso Dalem,” ujar dia.
Sementara saat ditemui usai pemberian bantuan kepada para lurah dan koperasi di halaman Kepatihan kompleks Kantor Gubernur DIY, Rabu (4/8/2021), Sultan membantah tudingan keluarga keraton memanfaatkan tanah desa untuk kepentingan pribadi.
“Yo ora mungkin (ya tidak mungkin), anak-anakku gitu to? Ya tidak ada, itu nyatut berarti. Tidak ada itu,” ujar Sultan.
Dirinya juga menegaskan tidak ada keterlibatan bisnis yang dilakukan pihak keraton terhadap mitra atau pengusaha yang menggunakan tanah desa.
“Saya ini bukan pengusaha. Tidak akan pernah ada anak-anak saya maupun saya itu punya share (keterlibatan) dengan orang lain (pengusaha),” bantahnya.
Sementara tim kolaborasi juga berusaha menghubungi Penghageng Tepas Panitikismo GKR Mangkubumi untuk mengkonfirmasi terkait pemanfaatan tanah-tanah desa oleh keluarga keraton melalui telepon dan pesan pendek WA sejak Kamis (2/9/2021). Namun putri sulung Sultan tersebut tidak direspons juga.
Untuk diketahui berita ini merupakan bagian pertama dari tiga bagian mengenai liputan investigasi bertema agraria yang dikerjakan secara kolaborasi terdiri dari Suara.com, Kompas.com, Jaring.id, Tirto.id serta Project Multatuli.