“Kami waktu itu menilai cacat hukum dari draf perdais karena aturan ini memperluas kualifikasi tanah SG dan PAG. Padahal dalam UU Keistimewaan, limitasinya tak terlalu luas,” kata dia saat ditemui tim kolaborasi, Senin (5/4/2021).
Nazarudin juga menegaskan UU Keistimewaan dan Perdais Pertanahan yang disusun tidak sesuai dengan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). UUPA menjelaskan, tanah-tanah bekas swapraja atau tanah milik kerajaan sepenuhnya menjadi tanah negara dan dikelola oleh pemerintah serta masyarakat.
![grafis penguasaan tanah desa. [tim suara.com]](https://media.suara.com/pictures/original/2021/09/20/96213-grafis-penguasaan-tanah-desa.jpg)
![grafis penguasaan tanah desa. [tim suara.com]](https://media.suara.com/pictures/original/2021/09/20/13161-grafis-penguasaan-tanah-desa.jpg)
”Sinkronisasi antara dua UU ini seperti apa? Saling bertentangan. Seolah-seolah ini kerajaan dalam negara,” terang dia.
Sementara kebijakan Sultan HB X yang memberikan izin kepada kerabat keraton untuk memanfaatkan tanah desa, dinilai Nazaruddin bertentangan dengan semangat Pasal 16 UU Keistimewaan. Aturan itu berbunyi Gubernur dan Wakil Gubernur DIY dilarang membuat keputusan secara khusus memberi keuntungan untuk diri sendiri, keluarga, mitra atau kolega, yang nantinya merugikan bahkan mendiskriminasi negara dan masyarakat tertentu.
Baca Juga:Dua Pekan Beroperasi di Balai Kota Yogyakarta, Mobil Vaksin Imunisasi 50 Orang Per Hari
“Sesuai UU Keistimewaan, tanah-tanah (yang disertifikasi menjadi milik keraton) kan tidak boleh untuk komersil. Tapi (tanah) itu sekarang untuk komersiil,” ucap dia.
Wakil Ketua DPRD DIY, Suharwanta menambahkan, jauh sebelum Perdais Pertanahan lahir, lebih dulu berlaku Perda Nomor 4 Nomor 1954 tentang Tanah atas Tanah di DIY. Perda yang ditandatangani Sultan HB IX itu menyebutkan tanah-tanah desa sudah menjadi milik desa.
“Itu bisa digunakan untuk pengarem-arem, pelungguh, kas desa maupun yang lain. Jadi sudah ada perda yang mengesahkan tanah desa itu menjadi milik desa. Memang asal muasalnya hak anggaduh, tapi ketika sudah ada perda yang mengatur itu, kami dari Fraksi PAN memandang itu sudah jadi milik desa,” terang Suharwanta ditemui tim kolaborasi di Kantor DPRD DIY, Rabu (15/3/2021).
UU Nomor 6/2014 tentang Desa pun kian menguatkan. Ia menilai tanah-tanah desa di DIY tidak boleh dianggap menjadi milik kasultanan atau kadipaten, melainkan hak penuh adalah milik desa. Berdasar UU Keistimewaan, pemanfaatan tanah desa harus memenuhi tiga hal, yaitu hanya boleh digunakan untuk pengembangan kebudayaan, kesejahteraan masyarakat, dan kepentingan sosial.
“Saat pembahasan rapat pembuatan Raperda Keistimewan, kami punya sikap yang berbeda. Tapi, karena sekarang sudah (disahkan) menjadi perda, kami memang harus mengakui. Ini bagian dari cara pengambilan keputusan,” ujar dia.
Baca Juga:Wamenkumham Berharap Tahun Ini Kantor Imigrasi Yogyakarta Dapat WBBM
Berbeda dengan Nazarudin, kepemilikan tanah oleh kasultanan dan kadipaten diklaim Suharwanta berdasarkan Pasal 2 pada ayat 1 UUPA. Bahwa disebutkan bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya pada tingkatan tertinggi dikuasai negara untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ia berpendapat lahirnya UU Keistimewaan harus memiliki semangat yang sama untuk kemakmuran rakyat.