SuaraJogja.id - Penarikan sertifikat tanah desa yang diakomodasi Pemda DIY sejak Maret 2021 membuat perangkat-perangkat desa di DIY khawatir. Mengingat inventarisasi dan penyesuaian sertifikat tanah desa dengan status hak milik Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat tidak menjamin desa dapat memanfaatkan tanah desanya ke depan. Jayabaya Maguwoharjo (Kasi Pemerintahan), Kapanewon Depok, Kabupaten Sleman, Danang Wahyu menilai ada potensi kehilangan tanah desa dengan kebijakan itu.
“Iya betul. Kalau ada kepentingan pembangunan (bisa jadi) kami digusur, harus dilepas, harus cari lahan. Padahal penerima pengganti kan bukan desa,” kata Danang ditemui Tim Kolaborasi Liputan Investigasi Agraria Suara.com, Kompas.com, Jaring.id, Tirto.id dan Haluan pada Rabu (5/5/2021).
Upaya penyelamatan pun dilakukan. Desa Maguwoharjo sendiri memanfaatkan seluruh tanah kosong untuk kepentingan warga ketimbang investor. Jika tanah desa yang berada di pinggir jalan tidak ditanami atau dimanfaatkan, maka menjadi sasaran investor.
Cara itu juga dilakukan di salah satu desa di Kabupaten Bantul. Perangkat desa di sana beralasan desa perlu terus berkembang. Salah satunya penyelenggaran pemerintah desa.
Baca Juga:Diiming-imingi Kerja, Dara 16 Tahun Malah Diminta Layani Pria Hidung Belang di Jogja
“Perwujudannya banyak untuk bisa menopang penyelenggaraan pemdes. Baik itu untuk kantor desa untuk macam-macam,” kata sumber salah satu perangkat desa di Bantul ketika ditemui tim kolaborasi, Jumat (15/1/2021).
Tidak hanya pemenuhan penyelenggaran pemdes, baginya, ruang publik harus digunakan untuk mensejahterakan warga. Mengingat desa tempatnya bernaung memiliki karakteristik sosial masyarakat perkotaan. Pendapatan warga tak banyak yang ditopang dari hasil pertanian, melainkan sektor jasa dan perdagangan.
Dirinya ikut mendorong penuh kepada warga yang ingin memanfaatkan tanah desa untuk kepentingan mereka atau banyak orang. Artinya, tanah tersebut digunakan untuk memberdayakan warga dan pembinaan masyarakat.
Beberapa tanah desa digunakan untuk kegiatan pendidikan, seperti PAUD dan TK. Termasuk untuk menunjang kesehatan, seperti posyandu dan pengelolaan sampah di atas tanah desa. Juga dimanfaatkan untuk rumah sehat sederhana untuk memenuhi pemenuhan hak masyarakat agar mendapat hunian yang layak. Serta pemanfaatan tanah desa untuk memperluas kesempatan kerja bagi warga desa melalui BUMDes.
“Jika belum punya lapangan ajukan lapangan, yang belum punya masjid, ajukan masjid. Itu dalam rangka membagi dan memanfaatkan tanah desa. Jadi tidak mungkin sudah ada masjid yang berdiri di atasnya terus diambil kan?” ujar dia.
Baca Juga:Cara Download Sertifikat Vaksin di PeduliLindungi
Lain halnya dengan Desa Srimulyo, Kapanewon Piyungan yang tak berkutik karena tak bisa memaksimalkan peruntukkan tanah desa untuk warganya. Lantaran sebagian besar tanah desa Srimulyo ditetapkan menjadi kawasan industri Piyungan (KIP) oleh Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X berdasar Surat Izin Gubernur Nomor 143/3440 tertanggal 8 Desember 2000 tentang Izin Penggunaan Tanah Kas Desa Desa Sitimulyo dan Srimulyo Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul.
Lurah Srimulyo, Wajiran menduga Pemda DIY kesulitan mencari tanah luas di wilayah DIY untuk kawasan industri. Ia juga sempat mendengar, wilayah di Kapanewon Sentolo, Kabupaten Kulon Progo juga menjadi opsi. Rupanya, Piyungan lebih menarik bagi Sultan untuk dijadikan tempat pengembangan industri. Bahkan luasan tanah kasultanan (Sultan Ground/SG) yang ada di Piyungan mencapai 250 hektare.
“Mungkin salah satu pertimbangan (Sultan), karena dua jenis tanah itu (tanah desa dan SG) kan langsung jadi otoritas Gubernur. Lebih gampang tanpa pembebasan, dan sebagainya. Kira-kira seperti itu,” kata Wajiran menduga saat ditemui tim kolaborasi, Rabu (21/4/2021).
Kawasan itu menarik pengusaha dan investor untuk mengembangkan industri. Penetapan KIP membuyarkan rencana Lurah Srimulyo, Wajiran.
Sejak awal menjabat sebagai lurah, Wajiran memiliki pandangan berbeda dengan Sultan untuk mengembangkan Srimulyo. Visinya adalah mewujudkan masyarakat yang sejahtera, berbasis budaya Nusantara. Sektor perekonomian yang dinilai cocok adalah pengembangan pertanian, peternakan, dan wisata.
“Saya yakini betul sektor-sektor itu bisa mengantarkan kesejahteraan bagi warga melihat dari karakteristik sosial di sini,” terang Wajiran.