SuaraJogja.id - Tanah desa di DIY pada masa Sultan Hamengku Buwono IX dinyatakan milik desa berdasarkan Perda DIY Nomor 5 Tahun 1954 tentang Hak Atas Tanah di DIY. Namun setelah UU Nomor 5 Tahun 1960 lahir ditindaklanjuti Perda DIY Nomor 3 Tahun 1984 tentang Pelaksanaan Berlaku Sepenuhnya UU Pokok Agraria (UU Nomor 5 Tahun 1960) di DIY, tanah desa dikuasai negara.
Namun pada masa Sultan Hamengku Buwono X, usai UU Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY lahir, tanah desa didata untuk disertifikatkan atas kepemilikan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat atau pun Kadipaten Puro Pakualam. Upaya tersebut didasarkan pada Perdais DIY Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Tanah Kasultanan dan Tanah Kadipaten dan Peraturan Gubernur DIY Nomor 34 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Tanah Desa. Klausul aturan itu mengingatkan pernyataan Gubernur DIY sekaligus Raja Yogyakarta Sultan HB X pada 2015, bahwa tak ada tanah negara di DIY.
Lantaran itu pula, upaya pemerintah desa di DIY untuk memperkuat status hak pakai tanah desa di atas tanah negara dengan mengajukan sertifikasi, terganjal sejak 2017. Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (Kanwil BPN) DIY ‘menghentikan’ sementara prosesnya sejak tahun itu.
Pemerintah Kalurahan Sinduadi, Kapanewon Mlati, Kabupaten Sleman termasuk yang kerap mengurus sertifikasi tanah desa ke BPN Sleman. Lebih kurang terdapat 110 hektare tanah desa yang terbagi untuk pengarem-arem (pensiuanan pamong desa), pelungguh (pendapatan perangkat desa) dan tanah kas desa di sana.
Baca Juga:LPSK Beri Jaminan, Saksi Kasus Bom Molotov di Kantor LBH Yogyakarta Jangan Takut Bicara
“Kami sudah tiga tahun ini menyertifikatkan, tapi tidak ada (sertifikat yang jadi). Belum ada kejelasan, ini nanti harusnya atas nama siapa. Masih tarik ulur antara pemda, BPN, dan kasultanan. Sejak 2017 sudah tidak boleh (menyertifikatkan),” kata Carik (Sekretaris Desa) Sinduadi, Sumarno saat ditemui tim kolaborasi liputan investigasi agraria yang terdiri dari Suara.com, Tirto.id, Jaring.id, Kompas.com, dan Project Multatuli, Senin (17/5/2021).
Berdasarkan Pasal 11 ayat 2 Pergub 34, bahwa sertifikasi atas nama pemerintah desa yang semula dengan hak pakai di atas tanah negara diubah menjadi hak pakai di atas tanah milik kasultanan atau kadipaten. Tanah desa yang dimaksud adalah yang berdasarkan Pasal 8 ayat 1 huruf a Perdais Pertanahan, yaitu tanah desa yang asal-usulnya dari hak anggaduh merupakan tanah kasultanan.
“Kami yang tergabung di asosiasi desa ya, pernah membicarakan itu bersama. Kami melihat tanah-tanah ini milik kasultanan yang diberikan kepada kami. Desa hanya boleh mengelolanya,” ujar dia.
Upaya Pemda DIY ‘mengembalikan’ tanah-tanah desa di Yogyakarta menjadi milik kasultanan atau kadipaten ditunjukkan dengan menarik sertifikat-sertifikat tanah desa. Kundha Niti Mandala sarta Tata Sasana atau Dinas Pertanahan dan Tata Ruang (Dispertaru) DIY mengakomodasi penarikan sertifikat dengan memberikan surat tembusan ke tiap kabupaten untuk segera mengumpulkan sertifikat yang masih disimpan di desa-desa.
Anggota Staf Seksi Pemerintahan Kalurahan Tamantirto, Kapanewon Kasihan, Bantul, Arya Panuntun pasrah dengan program tersebut. Ia mengungkapkan pada pekan keempat Maret 2021, pemerintah desa mendapatkan surat perihal pengumpulan sertifikat. Surat dari Dispertaru Bantul bertanggal 24 Maret 2021 itu meminta semua lurah se-Kabupaten Bantul menyerahkan sertifikat tanah desa yang masih disimpan di desa dengan batas waktu maksimal 31 Maret 2021.
Baca Juga:Top 5 SuaraJogja: Ganjar Terancam Sanksi PDIP, Khotbah Pendeta Soal Muhammadiyah
“Sesuai arahan dan petunjuk dispertaru, (sertifikat tanah desa) akan diganti (menjadi) hak milik kasultanan, sesuai UU Keistimewaan. Dampak pastinya setelah itu, kami cuma bisa ikut arahan dan peraturan saja,” jelas Arya ditemui tim kolaborasi di kantornya, Rabu (7/4/2021).
Pemerintah desa khawatir, jika sertifikat tanah desa ditarik dan diganti status kepemilikan atas nama kasultanan atau kadipaten, maka pedapatan asli desa (PADes) akan menurun. Padahal biaya pembangunan desa serta program pengembangan sumber daya manusia (SDM) dari hasil pemanfaatan tanah desa.
Kasi Pemerintah Desa Maguwoharjo, Kapanewon Depok, Kabupaten Sleman, Danang Wahyu menolak penarikan sertifikat tanah desa. Sikap itu menyusul kekhawatiran atas hilangnya hak pengelolaan tanah desa setelah menjadi milik kasultanan atau kadipaten akibat penyesuaian sertifikat.
Danang menegaskan, pemdes tak ingin kehilangan PADes. Apalagi pada 2020, PADes Maguwoharjo bisa mencapai Rp1 miliar. Apabila tanah desa menjadi milik kasultanan, pihaknya menduga akan ada intervensi dari lembaga atas setiap pemanfaatan tanah desa. Apalagi tanah desa di Maguwoharjo terletak di lokasi yang strategis untuk pengusaha berinvestasi.
“Kami tidak mau. Maguwoharjo tidak usah (sertifikat tanah desa diubah). Hal yang sudah direncanakan desa bisa kalah dengan kepentingan (kasultanan),” kata dia ditemui tim kolaborasi, di Kantor Kalurahan Maguwoharjo, Rabu (5/5/2021).
Dugaan semakin kuat menyusul larangan sertifikasi tanah desa yang dia ajukan lima tahun lalu. Danang mulai menyadari larangan itu muncul, karena BPN DIY sedang menyiapkan aturan baru tentang penyertifikatan tanah desa menjadi milik kasultanan atau kadipaten.
Juknis payung hukum sertifikasi
Keputusan penghentian sementara sertifikasi pada 2017, diakui Kabid Penetapan Hak dan Pendaftaran Kanwil BPN DIY, Anna Prihaniawati dilakukan Kanwil BPN DIY. Hal tersebut lantaran belum ada payung hukum dari Pemda DIY ataupun Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR/BPN) terkait penyesuaian sertifikasi tanah-tanah desa di DIY.
Anna menjelaskan, BPN tidak ingin melangkah ke arah yang salah dengan program yang mereka buat bersama Pemda DIY. Sehingga butuh dasar hukum yang lebih kuat agar sertifikasi tanah desa berjalan baik, tanpa ada kesalahan atau munculnya delik hukum.
“BPN belum ada payung hukumnya. Kami menunggu petunjuk teknis (juknis). Kalau desa mendaftarkan untuk sertifikat, sedangkan itu tanah kasultanan, nanti kami dimarahi Sultan. Sudah ada UU Keistimewaan dan Perdais Pertanahan, kok BPN mendaftarkan tanah desa,” kata Anna ditemui tim kolaborasi di kantornya, Kamis (17/6/2021).
Belum ada aturan detail cara penyertifikatan tersebut ditindaklanjuti BPN DIY dengan meminta arahan kepada Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/BPN Pusat. Anna tak menampik permintaan itu karena ada dorongan dari Pemda DIY untuk segera memperjelas status tanah kasultanan atau kadipaten yang diatur dalam sebuah kebijakan.
“Kami bareng-bareng minta petunjuk kepada Pak Menteri khusus pengaturan tanah di DIY. Pusat yang menentukan payung hukum itu. Berupa permen (peraturan menteri), SE (surat edaran), atau juknis (petunjuk teknis),” jelas Anna.
Upaya itu berbuah hasil. Menteri ATR/Kepala BPN Pusat, Sofyan A. Djalil membuat kebijakan dalam bentuk Juknis Nomor 4/Juknis-HK.02.01/X/2019 tentang Penatausahaan Tanah Kasultanan dan Tanah Kadipaten di Wilayah Provinsi DIY tertanggal 29 Oktober 2019. Sementara Pemda DIY menginginkan payung hukum berupa permen.
Alasan pihak kementerian, karena kebutuhan pengaturan tanah hanya untuk desa-desa di Provinsi DIY saja. Kementerian meyakini, dasar untuk penyertifikatan tanah desa melalui juknis sudah sangat kuat. Juknis inilah yang memudahkan BPN DIY kembali melanjutkan proses sertifikasi tanah desa menjadi milik kasultanan atau kadipaten sejak 2020.
Butuh dua tahun BPN DIY mendapat juknis tersebut setelah pengesahan Perdais Pertanahan. Anna menjelaskan, karena ada banyak pembahasan yang perlu dilakukan terlebih dahulu sampai pada akhirnya BPN DIY meminta petunjuk Menteri ATR.
Sebenarnya, menurut Anna, ada upaya lain yang bisa membantu penyertifikatan tanah desa tanpa harus menunggu turunnya juknis. Berupa pengajuan surat permohonan pengakuan hak atas tanah desa oleh keraton dan kadipaten kepada negara.
Mekanisme tersebut sudah diatur di dalam UUPA dan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan. Idealnya pemerintah desa melepaskan haknya dulu menjadi tanah negara. Setelah itu dimohonkan menjadi tanah kasultanan dan kadipaten.
“Tapi kasultanan dan kadipaten tidak mau memohon kepada negara, karena itu merupakan tanah mereka. Mekanisme ini memang butuh waktu agak lama,” jelas Anna.
Sementara mekanisme dalam juknis berbeda. Tanah desa yang asal-usulnya dari kasultanan dan kadipaten dengan hak anggaduh termasuk tanah bukan keprabon atau dede keprabon. Tanah desa yang belum terdaftar atau belum bersertifikat akan dilakukan pendaftaran tanah dan diterbitkan sertifikat hak milik atas nama kasultanan atau kadipaten. Syaratnya dengan melampirkan akta pemberian hak guna bangunan atau hak pakai di atas tanah hak milik atau serat kekancingan. Serat kekancingan adalah surat keputusan pemberian hak atas tanah dari kasultanan atau kadipaten kepada pihak ketiga yang diberikan dalam jangka waktu tertentu.
Sedangkan tanah desa yang telah terdaftar atau sudah bersertifikat akan diterapkan ketentuan yang berbeda. Untuk memperjelas kepemilikan tanah desa adalah milik kasultanan atau kadipaten, sertifikat tanah desa lama tidak akan diganti dengan sertifikat baru. Dalam buku tanah dan sertifikat lama hanya akan diberikan catatan pada kolom “sebab perubahan” berupa, “Hak Guna Bangunan/Hak Pakai Nomor xxxx Desa/Kalurahan (nama) berada di atas Tanah Milik Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat atau Kadipaten Pakualaman”.
“Catatan tersebut dapat menggunakan stempel, cap, atau tera dan ditandangani oleh Kepala BPN,” kata Anna.
Juknis sempat ditolak keraton
Terkait kekhawatiran pemerintah desa di DIY atas pensertifikatan tanah desa atas kepemilikan kasultanan, kuasa hukum keraton, Achiel Suyanto menyebutkan desa bukan sebagai sebuah entitas yang kuat. Desa merupakan bagian dari kasultanan, dimana raja pada waktu itu memberikan tanah desa untuk dikelola perangkatnya. Mulai dari pelungguh dan pengarem-arem yang menjadi gaji untuk sebagian perangkat desa.
Saat ini, sertifikasi tanah desa secara tegas adalah hak milik kasultanan. Kemudian diberikan kepada desa sebagai hak pakai, hak guna, dan sebagainya.
“Jadi jangan dicampuradukkan seolah-olah desa menjadi entitas sendiri, ya tidak. Wong nama desa itu juga dari jaman nagari juga ada kok,” terang Achiel, Rabu (1/9/2021).
Meskipun sertifikasi tanah desa berdasarkan Juknis Menteri ATR/Kepala BPN Pusat dianggap lemah sebagai dasar hukum, bagi Achiel hal itu merupakan bagian dari penataan. Namun apabila mengacu pada UU Keistimewaan yang diimplementasikan melalui Peraturan Gubernur (Pergub) DIY Nomor 33 Tahun 2017 tentang Tata Cara Pengelolaan dan Pemanfaatan Tanah Kasultanan dan Kadipaten serta Pergub Nomor 34 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Tanah Desa, dianggap sudah cukup kuat bagi pemda mengatur tanah desa di DIY.
“Makanya secara perlahan lahan kami sedang menata. Tidak bisa langsung selesai, butuh waktu,” jelas dia.
Bahkan Achiel sempat menentang adanya juknis tersebut. Menurut Achiel, juknis tidak diperlukan karena sudah ada pergub yang mengatur secara teknis pengelolaan tanah desa. Tidak ada dasar hukum yang jelas mengapa juknis itu diterbitkan dan UU Keistimewaan juga tidak mengatur.
“Ya itu perintah dari mana juknis? Kalau masalah internal di BPN, ya silakan. Tapi di UU Keistimewaan tidak ada perintah untuk bikin juknis, saya bilang. Kami menolak itu,” ujar dia.
Namun apabila harus dibuat juknis jangan sampai bertentangan dengan UU Keistimewaan. Ia memahami kondisi pengelolaan tanah di DIY cukup rumit. Bagi dia, jika para pihak mau melihat dan bersinergi dengan hal yang saat ini terjadi, maka persoalan itu bisa selesai.
Tanah desa jadi milik keraton
Kelahiran juknis, menurut penjelasan Dirjen Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah (PHPT) Kementerian ATR/BPN Suyus Windayana ditindaklanjuti dengan pembentukan tim juknis. Tim ini melihat hasil inventarisasi tanah desa yang dimiliki kasultanan dan kadipaten. Tim inventarisasi terdiri dari pemdes, pemda (Dispertaru DIY), Biro Hukum DIY, Kanwil BPN DIY, serta pihak kasultanan dan kadipaten.
“Kemunculan juknis untuk memperjelas administrasi pencatatan tanah desa yang dimiliki kasultanan,” kata Suyus.
Suyus menjelaskan, tanah kasultanan dan kadipaten yang tercatat saat ini ada 33 ribu hektare atau 11,2 persen dari total luas tanah di DIY yang mencapai sekitar 300 ribu hektare. Dan prosentase luas tanah itu sudah diberikan kepada lembaga, instansi pemerintahan, dan masyarakat.
“Kalau itu (11,2 persen) ngakunya ya. Padahal kalau diidentifikasi itu (tanah kasultanan) sampai Cilacap (Jawa Tengah). Ini kan yang diminta cuma 11,2 persen. Tidak terlalu banyak. Dan itu juga bukan hak perorangan,” terang Suyus diwawancara tim kolaborasi secara daring didampingi Direktur Pengaturan Pendaftaran Tanah dan Ruang, Dwi Purnama, dan Direktur Pengukuran dan Pemetaan Kadastral, Tri Wibisono, Senin (5/7/2021).
Langkah tersebut untuk mencari format yang baik agar administrasi pertanahan di Yogyakarta bisa lebih mudah. Menurut Suyus, kasultanan dan kadipaten hanya meminta tanahnya diakui kembali.
“Ini sifatnya pengakuan tanah saja. Ada kaitannya UU Keistimewaan. Ini hanya pencatatan saja, tidak ada maksud mengambil. Ini sebagai pencatatan, bahwa itu menjadi tanah kasultanan,” terang dia.
Dwi Purnama menambahkan penatausahaan tanah di DIY untuk mengamankan aset milik kasultanan perlu dilakukan. Jika tidak diberikan catatan milik kasultanan dan kadipaten dalam sebuah sertifikat tanah desa, maka bisa dimanfaatkan pihak desa dengan menyalahi aturan Perdais DIY Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Tanah Kasultanan dan Tanah Kadipaten.
“Jika tidak begitu (tanah milik kasultanan) nanti dianggap aset penuh pemerintah desa. Suatu saat bisa ditukar guling tanpa sesuai UU Keistimewaan hasil verifikasi,” kata Dwi.
Tri Wibisono yang juga mantan Kepala Kanwil BPN DIY menambahkan, sejak awal tanah desa itu sudah milik kasultanan. Berdasarkan hasil tim inventarisasi di lapangan, tanah desa yang sudah atau pun belum bersertifikat merupakan tanah kasultanan atau kadipaten yang diberikan kepada desa menjadi hak anggaduh.
Kemudian peraturan desa (perdes) tiap desa diperlukan untuk menjelaskan mana saja tanah kasultanan atau kadipaten dan mana tanah milik desa. Tri menganggap keberadaan perdes memperkuat status tanah desa yang saat ini digunakan oleh desa merupakan milik kasultanan atau kadipaten.
“Jadi tidak semua tanah desa (milik kasultanan). Khusus yang asal usulnya dari hak anggaduh. Kasultanan belum ada hak miliknya (ketika itu) karena belum diakui untuk mempunyai hak milik. Tapi masyarakat mengakui, itu semua tanahnya kasultanan,” terang Tri.
Pihaknya mengatakan juknis yang diterbitkan pada 2019 juga menegaskan kasultanan dan kadipaten sudah menjadi subjek hak milik. Sebagaimana pencantuman klausul dalam juknis, bahwa hak pakai ini berada di atas tanah milik Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Tri mengakui juknis untuk menyerderhanakan pendaftaran tanah desa yang akan dilakukan di desa lain. Ia mengklaim hal ini adalah terobosan yang tidak akan mengubah status tanah untuk tetap dikelola oleh desa, tetapi kepemilikan tanah adalah kasultanan dan kadipaten.
“Jika harus dilepaskan menjadi tanah negara dulu, lebih rumit dan memakan waktu,” kata Tri.
Sehingga sertifikat tanah desa yang baru masih sama dengan sertifikat lama. Namun hanya ditambah klausul “Pencatatan Berdasarkan Petunjuk Teknis nomor 4/Juknis-HK.02.01/X/2019” dimana sertifikat desa itu merupakan “Hak Pakai Berada di atas Tanah Milik Kasultanan/Kadipaten”. Pencatatan itu berada pada kolom Pendaftaran Peralihan Hak, Pembebasan dan Pencatatan Lainnya.
“Meski satu sertifikat, yang terpakai hanya yang dicantumkan klausul itu. Perubahan pencatatan di kolom perubahan sertifikat di halaman terakhir,” jelas Tri.
Sertifikasi selamatkan aset keraton
Program penyesuaian sertifikat tersebut juga bertujuan untuk mengetahui letak, luas dan objek tanah desa yang merupakan milik kasultanan dan kadipaten. Kepala BPN Sleman, Bintarwan Widiasto mengatakan, sertifikasi 2021 mulai dilanjutkan untuk tertib administrasi.
Bintarwan mengakui, banyak desa yang sudah menyertifikatkan tanah desanya ke BPN sebelum ada penghentian pada 2017. Sementara tujuan sertifikasi setelah 2017 adalah untuk taat administrasi dan mencatat aset-aset tanah kasultanan dan kadipaten.
“Ini untuk penyelamatan dan pengamanan aset yang dimiliki pihak keraton dan kadipaten. Karena UU menentukan, hanya badan hukum yang bisa mendaftarkan hak atas tanah. Selama ini aset-aset pihak keraton banyak yang belum terindentifikasi, terinventarisasi, dan terlegalisasi,” ujar Bintarwan ditemui di tempat kerjanya, Kamis (24/6/2021).
Sementara Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Puro Pakualam baru dinyatakan sebagai badan hukum yang memiliki hak milik atas tanah setelah UU Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY disahkan. Klausul tentang badan hukum itu terdapat dalam Pasal 32.
Hingga saat ini, BPN Sleman mencatat ada sekitar 19.498 bidang tanah desa di Bumi Sembada. Sedangkan yang suah bersertifikat sekitar 7.000 bidang tanah desa dan yang sudah terverifikasi milik kasultanan dan kadipaten sekitar 4.600 bidang tanah desa. Sisa tanah yang belum bersertifikat itu menjadi sasaran BPN untuk segera diterbitkan sertifikat.
“Tidak semua tanah desa yang bersertifikat itu milik keraton (dengan hak anggaduh). Ada juga tanah desa yang dibeli pihak desa dari tanah hak milik perorangan. Dan dibeli dengan kas desa,” kata Bintarwan.
Dalam proses verifikasi dan identifikasi tanah desa, lanjut Bintarwan, jika diketahui tanah-tanah desa suatu desa di DIY adalah milik kasultanan atau kadipaten, maka sertifikat tanah desanya akan ditulis atas nama milik kasultanan atau kadipaten.
“Ini belum selesai, masih jalan terus. Sertifikasi tanah desa jalan, verifikasinya jalan. Sampai kapan? Kami juga belum bisa memastikan karena memang butuh waktu juga,” ujar dia.
Sementara Staf Tepas Panitikismo Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Suryo Satriyanto tak menampik tanah desa di DIY akan disesuaikan menjadi milik kasultanan. Namun dia membantah momentum 2017 merupakan penghentian sertifikasi. Melainkan proses untuk membentuk kesepakatan bersama antara pemangku kebijakan.
Alasannya, sejarah sertifikasi tanah desa oleh BPN sebelum kelahiran UU Keistimewaan atau Perdais Pertanahan berupa sertifikasi atas nama pemerintah desa dengan hak pakai desa di atas tanah negara, dinilai tidak benar.
“Jadi mau disertifikatkan kembali. Nanti tanah-tanah desa yang sudah bersertifikat di atas tanah negara akan disesuaikan menjadi di atas tanah milik kasultanan. Berikutnya tanah-tanah yang belum bersertifikat akan diatasnamakan kasultanan,” kata Suryo ditemui tim kolaborasi saat peninjauan rencana pembangunan jembatan kawasan industri Piyungan (KIP) di Pasar Kebon Empring, Piyungan Bantul, Selasa (24/5/2021).
Pencoretan “Negara Bekas” sertifikat desa
Berdasarkan data Dispertaru DIY sudah ada 150 bidang tanah desa yang disertifikasi menyesuaikan dengan hak milik kasultanan pada awal 2020. Bidang-bidang tanah percontohan itu berada di Bantul, Sleman, dan Gunungkidul masing-masing 50 bidang. Salah satunya tanah desa di Kalurahan Sidoluhur, Kapanewon Godean, Kabupaten Sleman.
Kasi Pemerintahan Desa Sidoluhur, Adi Arya menjelaskan penunjukkan desanya sebagai percontohan karena dinilai tertib administrasi. Di sisi lain, tidak ada sengketa tanah desa serta sudah menerbitkan peraturan desa (perdes) tentang pemanfaatan tanah desa sebagai syarat penyesuaian sertifikat tanah desa.
“Kami hanya mengikuti apa yang menjadi arahan dari Dispertaru Sleman, mengikuti setiap aturannya,” kata Arya saat diwawancarai di ruang kerjanya, Selasa (25/5/2021).
Pasca-penerbitan sertifikat tanah desa yang telah disesuaikan, menurut Arya, tidak ada perubahan terkait mekanisme sewa-menyewa tanah desa. Perangkat desa juga masih memiliki hak atas tanah pelungguh dan pengarem-arem.
Namun, Pemdes Sidoluhur hingga akhir Mei 2021 tidak pernah melihat bentuk sertifikat tanah desa yang jadi percontohan itu. Pemdes hanya menyimpan fotokopi sertifikat tanah desa lama. Sedangkan sertifikat lama yang asli disimpan Disepertaru Sleman sejak diterbitkan pada 2003. Arya tidak mengetahui secara pasti alasannya.
“Jangan-jangan karena pemdes dianggap tidak sepenuhnya mengusai tanah desa, melainkan hanya memakainya,” kata dia.
Namun ada kejanggalan pada fotokopi sertifikat tanah desa Sidoluhur yang lama. Pada lembar berjudul “Pendaftaran-Pertama” yang menampilkan status tanah serta nama pemegang hak dan tanggal penerbitan setifikat, semula terdapat tulisan “xxx xxx Tanah Negara bekas hak adat persil xxx xxx tanggal 14-10-2003”. Kemudian pada kata “Negara bekas” dicoret dengan tinta hitam dan diberi paraf berbentuk huruf P. Tidak ada penjelasan atau catatan di bawah sertifikat yang diduga sengaja dicoret tersebut.
Arya sempat mempertanyakan, tetapi lambat laun tak lagi mempersoalkan. Ia berasumsi, dugaan pencoretan tersebut sudah dilakukan pada dokumen sertifikat asli yang diterbitkan sejak 2003 silam. Tim kolaborasi juga meminta konfirmasi Dispertaru Sleman yang menyimpan seluruh sertifikat asli tanah desa di Sleman.
Menurut Kasi Penatausahaan Pertanahan Dispertaru Sleman, Yuli Nastiti, pada sertifikat asli hak pakai Nomor 18 (Sidoluhur) yang disimpan juga terdapat coretan pada kata “Negara bekas”. Yuli tak bisa menjelaskan secara gamblang dugaan pencoretan itu atas dasar apa.
“Saya tidak tahu alasannya (dugaan pencoretan). Coba nanti kami konfirmasi ke BPN. Kami juga sudah ngomong-ngomong dengan provinsi. Sebaiknya tanya ke Dispetaru DIY, karena di luar kewenangan kabupaten,” kata Yuli diwawancarai tim kolaborasi di kantornya, Kamis (27/5/2021).
Kepala BPN Sleman Bintarwan Widiasto membantah instansinya melakukan pencoretan. Ia mengklaim, sejak awal tidak ada pencoretan pada sertifikat asli Sidoluhur.
“Itu saya tidak tahu siapa yang nyoret. Sertifikatnya di sana (Dispertaru Sleman) dicoret, saya tidak mengerti kenapa bisa demikian,” kata Bintarwan ditemui di tempat kerjanya, Kamis (24/6/2021).
Bintarwan juga memastikan pencoretan sertifikat tanah desa jarang terjadi, bahkan tidak ada. Namun pencoretan bisa dilakukan apabila ada kesalahan ketik. Selain itu, ketika ada transaksi jual beli tanah yang harus mengganti nama, BPN Sleman juga mencoret dan memberikan paraf.
“Pada sebab perubahannya nanti disebutkan, berdasarkan akta PPAT yang resmi yang dibeli oleh PPAT sekian beralih kepada orang ini,” ujar dia. Apabila sudah ada pencoretan yang dilakukan pada sebuah sertifikat, pemilik bisa mengajukan ke BPN untuk penggantian yang baru.
Sementara alasan penulisan “Tanah Negara bekas hak adat”, Bintarwan menjelaskan, saat desa berbondong-bondong mengajukan permohonan sertifikasi pada 2003, termasuk Sidoluhur, tanah bekas adat atau tanah desa harus berstatus tanah negara. Sehingga diberikan surat keputusan pemberian hak yang hanya bisa terbit apabila statusnya adalah di atas tanah negara.
“Maka namanya Tanah Negara bekas hak adat sekian nomor ini…ini…, saya berikan SK. Saya tetapkan ini diberikan kepada pemerintah desa sebagai hak pakai untuk selama dipergunakan. Sudah selesai sampai di situ,” jelasnya.
Seiring berjalan waktu, lahirlah UU Keistimewaan. Pihak keraton dan kadipaten ingin mengetahui aset tanah miliknya tersebar dimana saja. Menurut Bintarwan, aset tanah milik keraton kebanyakan tanah desa. Selanjutnya, BPN menginventarisasi tanah desa yang ada di DIY hingga saat ini untuk disertifikasi atas nama milik keraton.
Bintarwan juga meminta perangkat desa tak perlu khawatir karena tak ada niat tanahnya akan diambil sepenuhnya oleh kasultanan atau kadipaten. Pensertifikatan hanya untuk memastikan tanah desa adalah milik kasultanan dengan hak pengelolaan penuh kepada desa.
“Silahkan desa mau memanfaatkan tanah itu. Caranya ya ada izin gubernur kalau bekerja sama dengan pihak ketiga. Duwite mbok pek (duitnya kamu ambil) untuk kemaslahatan masyarakat desa, gitu lho,” ungkap dia.
Menanggapi dugaan pencoretan tersebut, Direktur Pengukuran dan Pemetaan Kadastral Kementerian ATR/BPN, Tri Wibisono menjelaskan jika asal-usul tanah tersebut merupakan milik kasultanan atau kadipaten, maka bisa jadi kata “Negara bekas” itu dicoret.
“Karena tidak ada tanah negara di DIY. Sedari awal asal usul pertanahan semua milik kasultanan dan kadipaten,” kata Tri.
Namun Tri tak menutup kemungkinan ada tanah negara di DIY. Misal, tanah milik kasultanan dan kadipaten yang diberikan khusus kepada warga, kemudian warga melepas menjadi tanah negara. Selain itu, jika kasultanan memberikan kepada badan hukum lain lalu dilepaskan untuk kepentingan umum, bisa juga menjadi tanah negara.
“Kami perlu identifikasi dulu kenapa tanah negara dicoret. Bisa jadi hasil tim inventarisasi, asal usulnya merupakan tanah kasultanan dan kadipaten, jadi dicoret dan disesuaikan. Itu mungkin bisa disampaikan agar jelas,” terang Tri diwawancarai secara daring bersama tim kolaborasi, Senin (5/7/2021).
Munculnya dugaan pencoretan kata “Negara bekas” pada sertifikat tanah desa Sidoluhur juga dipertanyakan Dosen Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) Yogyakarta, Ahmad Nashih Luthfi.
“Kalau dicoret dan masih dipertanahankan hak adatnya itu pengakuan. Tapi harus deklarasi publik (maksimal) tiga bulan. Apakah itu dilakukan atau tidak, saya juga tidak tahu,” ujar Luthfi.
Kasus dugaan pencoretan itu, lanjut Lutfhi tentu bisa dilakukan dalam kondisi tertentu. Salah satunya menaikkan status tanah kepada pengguna yang sama. Misal dari Hak Guna Bangunan (HGB) menjadi Hak Milik (HM). Dugaan pencoretan tersebut juga disinyalir bagian upaya sertifikasi tanah desa oleh Pemda DIY yang diakomodasi kasultanan.
Prosedur penyewaan tanah desa
Menurut Carik Sinduadi, Kapanewon Mlati, Kabupaten Sleman, Sumarno, mayoritas tanah desa di wilayahnya disewa oleh investor. Mulai dari Jogja City Mall, Liquid, Sindu Kusuma Edupark (SKE), Rumah Sakit Sakina Idaman, termasuk juga sekolah-sekolah. Tak hanya memerlukan izin gubernur, pemanfaatannya pun harus ada kesepakatan Badan Permusyawaratan Desa (BPDes) atau Badan Permusyawaratan Kalurahan (Bamuskal).
“Apabila tidak ada kesepakatan kalurahan dengan BPDes, ya tidak bisa jalan. BPDes juga wujud perwakilan warga dan ada sosialisasi ke warga bisa diterima atau tidak. Jika warga tidak mau, BPDes tidak bisa membuat persetujuan,” terang Sumarno pada tim kolaborasi, Senin (17/5/2021).
Sedangkan izin gubernur, menurut Sumarno, merupakan kepastian hukum bagi pihak ketiga untuk memanfaatkan tanah desa. Proses pengurusannya bisa memakan waktu tiga bulan hingga tahunan tergantung kelengkapan berkas persyaratannya. Pembayaran sewa, baik itu pajak bumi dan bangunan (PBB) diserahkan kepada penyewa.
Kabid Pemanfaatan, Penanganan, Permasalahan, dan Pengawasan Pertanahan Dispertaru DIY, Haris Suhartono menjelaskan, prosedur pertama menyewa tanah desa melalui perangkat desa. Setelah urusan di desa selesai, pemdes akan meminta rekomendasi kecamatan dan dibuatkan surat permohonan pemanfaatan tanah desa kepada gubernur melalui bupati.
Rekomendasi bupati akan disesuaikan dengan tata ruang. Jika dispertaru kabupaten menyetujui, maka proses dilanjutkan ke provinsi. Dispertaru DIY akan meminta persetujuan kasultanan atau kadipaten. Kemudian hasilnya dikirimkan kepada gubernur melalui biro hukum.
“Jika Gubernur sudah menyetujui akan dibuat izin gubernur untuk pemanfaatan tanah desa. Selanjutnya izin gubernur diberikan kepada penyewa. Dibuat rangkap dua untuk disimpan Dispertaru DIY,” kata Haris ditemui tim kolaborasi di kantornya, Senin (24/5/2021).
Menurut Haris, prosedur tersebut berbeda sebelum Pergub DIY Nomor 33/2017 tentang Tata Cara Pengelolaan dan Pemanfaatan Tanah Kasultanan dan Tanah Kadipaten lahir.
“Dulu tidak melalui kasultanan atau kadipaten. Tapi langsung meminta izin gubernur,” kata Haris.
Selain itu, pemdes harus memiliki perdes sebelum menyewakan kepada pihak ketiga, terutama yang berbadan hukum.
Kasie Administrasi Pemanfaatan Pertanahan Bidang Pemanfaatan, Penanganan, Permasalahan, dan Pengawasan Pertanahan Dispertaru DIY, Murgiyanto menjelaskan, prosedur baru itu kelanjutan penerapan penyesuaian penggunaan tanah desa di DIY. Gubernur akan memberikan izin. Sedangkan kasultanan memberikan rekomendasi penggunaan tanah desa.
“Izin ya, bukan kekancingan. Jadi gubernur itu memberi izin kepada pemdes untuk menyewakan tanah desanya kepada PT atau perorangan, dipakai untuk apa,” terang Murgiyanto ditemui tim kolaborasi di kantornya, Senin (24/5/2021).
Kasie Pengendalian Pertanahan Dispertaru DIY, Ajie Mardana menambahkan, selama ini, kekancingan hanya diberikan kepada perorangan yang menempati tanah Sultan Ground (SG) atau Pakulaman Ground (PAG). Pihaknya tidak pernah memberikan rekomendasi kekancingan kepada penyewa tanah desa.
Proses pengurusan kekancingan oleh perseorangan juga melalui pemerintah desa. Selanjutnya pengguna SG atau PAG mengajukan kekancingan kepada Dispertaru DIY untuk meminta rekomendasi dari kasultanan. Usai pengguna SG mendapatkan kekancingan, ada uang pisungsung atau semacam retribusi yang harus dibayar orang tersebut kepada keraton, dalam hal ini adalah Penghageng Tepas Panitikismo. Ajie mengaku tak tahu menahu besaran uang pisungsung yang harus dibayarkan karena sudah masuk ranah antara keraton dengan pengguna tanah.
“Enggak ada pagunya. Soal pisungsung saya tidak ikut campur. Karena setiap kali kami menanyakan, dianggap tabu oleh mereka. Kok ikut campur urusan keraton. Ya sudah, kami tak pernah menanyakan lagi,” ujar Ajie ditemui tim kolaborasi di ruang kerjanya, Jumat (28/5/2021).
Salah satu contoh dokumen kekancingan yang dilihat tim kolaborasi diterbitkan pada 21 Desember 2016. Kekancingaan berupa penggunaan tanah seluas lebih kurang 38,9 meter persegi di Kalurahan Pucung, Kapanewon Girisubo, Kabupaten Gunungkidul oleh perseorangan. Kekancingan berlaku untuk jangka waktu 10 tahun hingga 2026. Sementara kolom jumlah uang pisungsung yang harus dibayarkan pertahun dikosongkan. Total nominal selama sewa 10 tahun juga tidak dicantumkan.
“Saya enggak paham hitungannya berapa. Enggak ngerti,” kata dia.
Tidak hanya perseorangan, Dispertaru DIY juga bisa membantu merekomendasikan kekancingan tanah SG yang digunakan oleh pemda. Sebelumnya akan dipastikan keuntungan yang diterima dari penggunaan SG itu.
“Misalnya untuk dinas pasar. Itu kan ada profit. Mungkin pisungsungnya agak tinggi. Tapi kalau non profit, misalnya Dinas Pendidikan, sepertinya enggak ada. Tapi penentuan (nilai kekancingan) tetap dari keraton,” ujar dia.
Usai menggunakan lahan SG selama 10 tahun, penyewa bisa memperpanjang kembali dengan mengurus ke Tepas Panitikismo. Kepemilikan kekancingan dirasa Ajie cukup penting di DIY. Selain untuk menghindari konflik, juga untuk mendapatkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
“Yang pasti data ya. Di daerah mana, sudah ada kekancingan. Untuk mengurangi konflik, enggak tumpang tindih. Jangan ada yang satu sudah minta, lalu ada orang lain minta juga. Kalau dinas misalnya, untuk menaikkan akreditasinya. Butuh dokumen kekancingan. Kan alas hak atas tanah. Kalau dari swasta, IMB juga butuh kekancingan. Kalau enggak ada bukti kekancingan atau alas hak, enggak bisa urus IMB,” ujar dia.
Menurut Staf Tepas Panitikismo Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Suryo Satriyanto tanah desa tidak pernah mendapat kekancingan. Melainkan izin gubernur yang menjadi dasar hukum penggunaan tanah tersebut. Lantaran sebelumnya kasultanan sudah memberikan hak anggaduh kepada desa berdasarkan Rijksblad Kasultanan Nomor 16 Tahun 1918.
“Tidak (ada kekancingan). Tanah desa dengan izin gubernur. Jadi pegangan penyewa adalah izin gubernur. Untuk keluar izin gubernur perlu rekomendasi dari kasultanan,” ungkap Suryo.
Saat ini, keraton tengah memperbarui surat kekancingan yang baru. Sebelumnya hanya berbentuk lembar form kertas biasa. Pada 2021, kekancingan dibuat dalam bentuk seperti sertifikat tanah. Suryo menyebut nantinya bersampul warna merah dan berlambang Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Sudah ada tiga kekancingan yang dibuat ketika almarhum Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Hadiwinoto masih menjabat sebagai Penghageng Tepas Panitikismo.
“Tiga (kekancingan) pertama yang kami layani itu, lokasinya saya tidak hafal. Itu waktu Gusti Hadi masih menjabat,” terang Suryo.
Permaisuri Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas pun menjelaskan, perlu adanya penataan dan perbaikan tanah-tanah keraton di seluruh wilayah DIY, termasuk tanah desa.
“Kalau berkaitan dengan tanah (di dalam UUK), saya kira memang kami harapkan penggunaan tanah di DIY itu betul-betul tidak untuk bisnis semata, tetapi untuk kepentingan yang lain. Penataan tanah keraton itu butuh perbaikan,” ujar Hemas saat ditemui tim kolaborasi usai vaksinasi massal oleh Gerakan Kemanusiaan Republik (GKR) Indonesia di Rumah Makan Bale Raos, Magangan, Kraton, Kota Jogja, Jumat (27/8/2021).
Disinggung terkait dugaan keraton menguasai tanah-tanah desa untuk kepentingan pribadi dan bisnis dengan program sertifikasi tanah, Hemas membantah keluarga keraton melakukan hal tersebut. Namun sertifikasi dilakukan hanya untuk penataan tanah semata.
“Tidak seperti itu pengertiannya ya, kami ini tidak mengambil kembali, bukan mensertifikatkan juga. Kami menata lagi, selama ini (tanah desa) kan belum terverifikasi, tidak ada maksud tujuan apa-apa hanya mendata saja,” kata dia.
Untuk diketahui berita ini merupakan bagian kedua dari tiga bagian mengenai liputan investigasi bertema agraria yang dikerjakan secara kolaborasi terdiri dari Suara.com, Kompas.com, Jaring.id, Tirto.id serta Project Multatuli.